Awalnya ada rasa penasaran mendapati beberapa politikus cukup terkenal karena "kenyinyiran" dan sikap soknya: sok benar, sok pintar, dan sok kuasa. Namun, perilaku itu ternyata tergolong gangguan kejiwaan yang disebut snob. Apakah para politikus itu sadar kalau sedang mengalami gangguan jiwa?
Jujur, soal snob ini baru saya pahami sedikit lebih baik karena rasa penasaran tadi. Mereka sering mengeluarkan pernyataan yang cenderung meremehkan atau bahkan merendahkan dan tidak menghargai pemerintah atau yang dipandang sebagai lawan politiknya. Perilaku mereka sempat saya nilai hanya model teknik beroposisi. Namun, lama-kelamaan kok terasa ada yang tidak pas.
Akhirnya hasil googling "merasa paling pintar, sebuah gangguan kejiwaan" menemukan satu kata: snob. Ini bukan sekadar kata yang menggambarkan gaya hidup tetapi sebuah perilaku yang mengindikasikan sebuah gangguan kejiwaan. Meski begitu, saya belum sampai pada kesimpulan bahwa para politikus itu mengalami gangguan jiwa.
Supaya lebih jelas, makna snob di kbbi.web.id. tertulis 1. Orang yang senang meniru gaya hidup atau selera orang lain yang lebih daripadanya tanpa perasaan malu, 2 orang yang suka menghina dan meremehkan orang lain yang dianggap lebih rendah daripadanya; orang yang merasa dirinya lebih pintar daripada orang lain.
Sebuah artikel di Intisari online mengulas secara ringan tentang snob yang selama ini tidak banyak dipahami sebagai sebuah perilaku gangguan kejiwaan. "Snob adalah gangguan kejiwaan saat seseorang merasa dirinya lebih dari kenyataan sebenarnya. Misalnya sok tahu, sok kaya, sok gengsi, sok pintar, sok kuasa, sok suci, dan sok-sok lainnya."[1]
Lantas apa pengaruh perilaku snob terhadap negara ini. Jika perilaku ini sekadar sebuah gaya hidup dan pencitraan bak seorang selebritis, mungkin tidak begitu bermasalah. Tetapi jika perilaku itu berupa sikap sok benar, sok pintar, sok kuasa, sok mau menang sendiri, tentu berpengaruh buruk terhadap situasi sosial politik. Tak hanya itu, snob juga bisa menimbulkan perilaku koruptif pula. Memang, masih perlu sebuah kajian khusus untuk masalah ini.
Sebenarnya urusan gangguan kejiwaan di dunia politik bukan perkara baru. Hanya saja, belum ada sebuah tes yang lebih komprehensif untuk menangkal para politikus yang punya kecenderungan terganggu jiwanya setelah lolos pemilu. Padahal jika dikaji secara serius, bisa jadi gangguan kejiwaan yang muncul bukan hanya snob.Â
Selama beberapa tahun ini, menjelang atau usai Pemilu biasanya akan muncul berita tentang kesiapan rumah sakit jiwa menampung para calon legislatif yang gagal memperoleh kursi dewan. Biaya yang mereka keluarkan habis-habisan, yang berakibat utang menumpuk dan membuat sebagian calon yang gagal itu stres dan harus dirawat untuk memulihkan kejiwaannya.
Sebuah kegagalan akibat proses politik yang menguras banyak tenaga, pikiran, dan dana memang bisa berakibat banyak, mulai depresi, perceraian, ngomel sendiri, hingga masuk rumah sakit jiwa. Yang terakhir ini, pilihan terburuk bagi politikus gagal yang tak berdaya lagi baik lahir maupun batin.
Yang lolos pun bukan berarti sama sekali bebas dari kemungkinan gangguan kejiwaan. Inilah yang mungkin kurang diperhatikan oleh publik. Jangan pernah beranggapan semua akan sama setelah seseorang mengalami kegagalan atau keberhasilan dalam sebuah even pemilu baik Pilkada, Pilgub, Pilpres, maupun Pileg. Sebuah proses politik yang begitu mahal dan sarat perilaku koruptif yang disembunyikan atau secara terang-terangan namun berlindung di balik aturan legal, tentu akan punya dampak lanjutan.Â
Sedikit banyak pastilah ada guncangan dalam jiwa politikus itu yang akan berpengaruh terhadap perilaku politiknya. Jika ia adalah figur sentral dalam sebuah kelompok politik, tentu wajar jika kelompoknya ikut terpengaruh. Baik yang berhasil lolos maupun yang gagal, jika proses politiknya seperti itu, pasti akan terpengaruh.