Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Foto dari Tragedi 98 Ingatkan Kita akan Bahaya Isu SARA

9 Maret 2018   17:14 Diperbarui: 10 Maret 2018   12:13 3349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada sebuah foto tumpukan jenazah korban Tragedi Mei 1998 yang dibawa ke kamar mayat RSCM Jakarta, yang diunggah Fajroel Rahman ke Twitter, Kamis kemarin. Ini foto asli yang dibenarkan oleh fotografer profesional Arbain Rambey. Jenazah dalam foto yang memilukan itu adalah korban dari Jogja Plaza atau Mall Klender, Jakarta Timur.

Banyak korban lain di beberapa wilayah di Jakarta, yang diperkirakan mencapai seribu orang lebih. Itulah sebuah sisi kelam republik ini yang masih meninggalkan luka mendalam pada keluarga yang menjadi korban. Namun, siapa yang bertanggung jawab atas tragedi ini, hingga kini belum tersentuh hukum.

Foto itu disertai kalimat "Untuk anda yg senang menebar kebencian SARA, bayangkan anda atau keluarga anda menjadi tumpukan korban seperti #TragediMei98 ini (foto kiriman teman menurut dia ini korban #TragediMei98 di RSCM) #MenolakLupa". Sebuah peringatan yang tepat di tengah situasi saat ini, yang diwarnai banjir berita hoax, ujaran kebencian SARA, dan adu domba.

Saya sengaja tak mengunggah foto memilukan itu. Sungguh sebuah foto yang mengingatkan sebuah kekejian dan kengerian yang amat sangat ketika para korban itu tewas terbakar di dalam mal karena tidak bisa keluar. Sebuah kebakaran yang disengaja yang diawali aksi perusakan dan penjarahan. 

Negeri tetangga kita Sri Lanka, selama beberapa hari ini dilanda kerusuhan yang melibatkan bentrok antarwarga beragama Buddha dan Islam. Penyebabnya ternyata kabar hoaks tentang penggunaan pil mandul yang dilakukan warga Muslim terhadap warga Buddha. Isu pil mandul telah beredar di medsos negara itu yang disebut untuk menghentikan bertambahnya jumlah warga Buddha yang merupakan warga mayoritas di negara itu. [1]

Memang sebelum ada kerusuhan yang memaksa negara itu memberlakukan situasi darurat militer sejak Selasa lalu, ada problem sosial ekonomi antara warga mayoritas yang beragama Buddha dengan warga minoritas baik yang beragama Islam maupun Nasrani sejak 2012 lalu. Konflik diperparah penganut agama Buddha garis keras, yang kemudian diwarnai penyerangan terhadap minoritas pemeluk agama lain.

Namun, isu soal pil pembuat mandul ini menjadi isu utama yang disebarkan di masyarakat dan medsos. Isu inilah yang membuat masyarakat semakin saling curiga. Kerusuhan yang terjadi sejak dua pekan lalu itu juga akibat isu pil mandul ini yang dituduhkan penggunaannya ke pemilik restoran yang beragama Islam. Saat itu ada seorang penganut Buddha makan di situ dan katanya menemukan benda kecil aneh di makanan yang disajikan dan lantas memanggil 40 temannya.

Kebencian atas nama SARA memang bisa tumbuh subur akibat kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat. Jika kelompok minoritas secara sosial ekonomi lebih baik dan mapan maka kelompok mayoritas bisa terjangkit rasa iri yang pada akhirnya akan menimbulkan rasa benci dan permusuhan. Sebuah isu atau berita hoaks yang dihembuskan secara terus-menerus, akan membuat rasa benci meledak jadi kerusuhan.

Soal Tragedi Mei '98, saya tidak sependapat soal adanya kebencian SARA sebagai pemicunya. Banyak kesaksian yang menyebut adanya keterlibatan "kelompok terlatih" yang malah ada yang berseragam SMA meski sudah tua-tua, dalam kerusuhan itu. Ada upaya untuk mengaburkan tragedi Mei 98 sebagai kerusuhan SARA dengan menjadikan etnis Cina sebagai sasaran pemerkosaan dan pembunuhan saat itu.

Hasil TGPF Tragedi Mei 98 menyebut adanya unsur-unsur provokasi, rekayasa, dan pembiaran, walaupun belum ditemukan bukti tindakan pemerkosaan saat itu sebagai tindakan yang telah direncanakan. Dengan begitu, terjadinya Tragedi Mei 98 tidak bisa disebut sebagai kerusuhan bermotif SARA tetapi lebih menjurus ke penciptaan kekacauan untuk tujuan politik kekuasaan.

Meski demikian, peringatan Fajroel Rahman perlu kita renungkan dengan hati bersih. Sebuah kerusuhan akibat gesekan bernuansa SARA bisa terjadi jika berita hoaks yang mengadu domba, fitnah, menebar kebencian SARA, secara terus menerus disebarkan. Ini jelas akan berakibat fatal. Bisa jadi, korban bisa berjatuhan seperti Tragedi Mei 98 yang diakibatkan gesekan politik kekuasaan itu.

Apa yang terjadi di Sri Lanka itu, mungkin hanya sepersekian potensi kerusuhan SARA di Indonesia, yang memiliki lebih banyak suku, etnis, dan beragam agama dan kepercayaan. Bisa dibayangkan jika potensi rusuh akibat beragam perbedaan suku, etnis, dan agama serta kepercayaan di Indonesia terus dipupuk dengan informasi hoax. 

Kita patut bersyukur memiliki Pancasila sebagai dasar negara yang mempersatukan negeri ini dalam politik kebangsaan. Sebuah dasar yang diwariskan para pendiri negeri ini dengan melihat realitas masyarakat Indonesia. Namun, sungguh memprihatinkan jika kini malah ada kelompok politikus yang secara terang-terangan menyokong politik identitas yang jelas berpotensi merusak ikatan kebangsaan itu.

Foto korban Tragedi Mei 98 yang diunggah Fajroel Rahman itu sungguh bisa berarti banyak. Foto tumpukan jenazah di kamar mayat RSCM itu tak hanya meninggalkan kepiluan yang amat sangat, namun sebuah bukti bangsa ini masih harus terus mengasah nuraninya dari masa ke masa.

Tragedi 65, Tragedi Mei 98, Ambon, Poso, dan yang lain jadi bukti masih ada sekelompok manusia Indonesia yang lebih memilih jalan kekerasan untuk meraih tujuan politiknya. Tak peduli korban berjatuhan di kalangan rakyat, sekelompok manusia itu yang sudah terobsesi akan kekuasaan punya kecenderungan kuat untuk mengulang peristiwa kejam dan keji itu.

Entah bagaimana perasaan mereka yang punya beban sejarah dan batin setelah melihat kembali foto tumpukan jenazah korban Tragedi Mei 98 yang diambil di kamar mayat RSCM itu. Sebuah pemandangan yang sangat memilukan bagi yang nuraninya masih terbuka. Sebuah bukti kekejian yang belum berbalas hukum hingga kini.

Bagi generasi yang lahir setelah 98, bisa jadi foto itu memberikan informasi yang pasti bahwa suatu masa di negeri ini kekejian pernah terjadi, setelah tragedi 65 yang hanya mereka ketahui dari buku sejarah dan film yang itu-itu saja. Mungkin mereka bisa mengambil pelajaran dari kejadian mengerikan itu. Dan pada kejadian-kejadian itu selalu diwarnai dengan beredarnya informasi hoaks yang membakar kemarahan massa.

Sudah seharusnya bangsa yang besar ini belajar dari peristiwa memilukan itu. Namun realitas justru menunjukkan adanya kesengajaan untuk memakai cara-cara yang hampir sama untuk meraih kekuasaan. Risiko terjadinya perpecahan di negeri ini seolah sama sekali tidak menyentuh hati mereka. Lihat saja situasi politik sejak era reformasi hingga kini yang seharusnya lebih baik dari era Soeharto.

Seharusnya, peristiwa demi peristiwa kelam semacam itu dijadikan pelajaran kebangsaan kita. Apa yang terjadi di negara lain juga harus jadi pelajaran, seperti yang terjadi di negara Timur Tengah, seperti Iraq, Sudan, Libya, Suriah, Yaman, Mesir. Kasus di Sri Lanka itu juga jangan dilupakan, hoaks itu api ganas yang bisa membakar semak-semak kebencian SARA.

Kita yang masih berpikiran waras tentu tidak akan pernah mau meniru atau mengimpor keadaan itu ke Indonesia. Mudah-mudahan, warga negeriku Indonesia waras semua. Bagi yang belum waras semoga cepat waras. Tetapi kalau tidak waras tetapi ngeyel merasa waras, ya memang harus diterapi biar waras dalam arti yang sebenar-benarnya.

Salam salaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun