Apa yang terjadi di Sri Lanka itu, mungkin hanya sepersekian potensi kerusuhan SARA di Indonesia, yang memiliki lebih banyak suku, etnis, dan beragam agama dan kepercayaan. Bisa dibayangkan jika potensi rusuh akibat beragam perbedaan suku, etnis, dan agama serta kepercayaan di Indonesia terus dipupuk dengan informasi hoax.Â
Kita patut bersyukur memiliki Pancasila sebagai dasar negara yang mempersatukan negeri ini dalam politik kebangsaan. Sebuah dasar yang diwariskan para pendiri negeri ini dengan melihat realitas masyarakat Indonesia. Namun, sungguh memprihatinkan jika kini malah ada kelompok politikus yang secara terang-terangan menyokong politik identitas yang jelas berpotensi merusak ikatan kebangsaan itu.
Foto korban Tragedi Mei 98 yang diunggah Fajroel Rahman itu sungguh bisa berarti banyak. Foto tumpukan jenazah di kamar mayat RSCM itu tak hanya meninggalkan kepiluan yang amat sangat, namun sebuah bukti bangsa ini masih harus terus mengasah nuraninya dari masa ke masa.
Tragedi 65, Tragedi Mei 98, Ambon, Poso, dan yang lain jadi bukti masih ada sekelompok manusia Indonesia yang lebih memilih jalan kekerasan untuk meraih tujuan politiknya. Tak peduli korban berjatuhan di kalangan rakyat, sekelompok manusia itu yang sudah terobsesi akan kekuasaan punya kecenderungan kuat untuk mengulang peristiwa kejam dan keji itu.
Entah bagaimana perasaan mereka yang punya beban sejarah dan batin setelah melihat kembali foto tumpukan jenazah korban Tragedi Mei 98 yang diambil di kamar mayat RSCM itu. Sebuah pemandangan yang sangat memilukan bagi yang nuraninya masih terbuka. Sebuah bukti kekejian yang belum berbalas hukum hingga kini.
Bagi generasi yang lahir setelah 98, bisa jadi foto itu memberikan informasi yang pasti bahwa suatu masa di negeri ini kekejian pernah terjadi, setelah tragedi 65 yang hanya mereka ketahui dari buku sejarah dan film yang itu-itu saja. Mungkin mereka bisa mengambil pelajaran dari kejadian mengerikan itu. Dan pada kejadian-kejadian itu selalu diwarnai dengan beredarnya informasi hoaks yang membakar kemarahan massa.
Sudah seharusnya bangsa yang besar ini belajar dari peristiwa memilukan itu. Namun realitas justru menunjukkan adanya kesengajaan untuk memakai cara-cara yang hampir sama untuk meraih kekuasaan. Risiko terjadinya perpecahan di negeri ini seolah sama sekali tidak menyentuh hati mereka. Lihat saja situasi politik sejak era reformasi hingga kini yang seharusnya lebih baik dari era Soeharto.
Seharusnya, peristiwa demi peristiwa kelam semacam itu dijadikan pelajaran kebangsaan kita. Apa yang terjadi di negara lain juga harus jadi pelajaran, seperti yang terjadi di negara Timur Tengah, seperti Iraq, Sudan, Libya, Suriah, Yaman, Mesir. Kasus di Sri Lanka itu juga jangan dilupakan, hoaks itu api ganas yang bisa membakar semak-semak kebencian SARA.
Kita yang masih berpikiran waras tentu tidak akan pernah mau meniru atau mengimpor keadaan itu ke Indonesia. Mudah-mudahan, warga negeriku Indonesia waras semua. Bagi yang belum waras semoga cepat waras. Tetapi kalau tidak waras tetapi ngeyel merasa waras, ya memang harus diterapi biar waras dalam arti yang sebenar-benarnya.
Salam salaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H