Ada  perbincangan  menarik di sebuah  grup FB paska permintaan maaf Jawa Pos terkait berita hoax tentang Muslim Cyber Army yang salah satu tersangkanya disebut Ahokers. Bagaimana bisa, media besar sekelas Jawa Pos sampai memuat berita semacam itu. Benarkah ini sebuah kesalahan yang tak disengaja akibat proses keredaksian yang tidak cermat?
Fakta jejak digital yang termuat di chirpstory dan juga menyebar di grup FB ternyata menunjukkan adanya faktor selain kelalaian. Editor  yang bertanggung jawab atas berita itu, jejak digitalnya memperlihatkan telah melahirkan banyak berita yang dari judulnya terlihat jelas berseberangan dengan Jokowi dan Ahok.
Oleh karena itu, wajar jika editor itu dinilai terpengaruh oleh pandangan subjektifnya terhadap sosok yang secara politis berseberangan dengan pilihan politiknya. Akibatnya berita yang dihasilkan juga bisa disebut tendensius dan menghakimi.
Nama editor itu tak perlu disebut di sini karena ini bukan artikel penghakiman. Biar Dewan Pers yang menelaahnya secara khusus karena sebelumnya antara Ketua PWI Margiono dan Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo ada perbedaan pandangan soal pandangan politik wartawan dan endorse mengendorse ini. Dan, Jawa Pos adalah almamater Margiono.
Yang jadi catatan di sini adalah pandangan politik seorang wartawan ternyata sudah tidak tabu lagi diekspresikan dalam sebuah berita tanpa memandang lagi persoalan independensi yang seharusnya jadi pegangan. Si redaktur ini hanyalah contoh kecil yang kebetulan jadi bahasan karena berita hoax yang ditulisnya bermasalah. Banyak contoh yang lebih besar dari dia.
Kepemilikan media oleh pebisnis dan politisi sudah lama menunjukkan hal itu sehingga kata independensi wartawan itu hanya selorohan pahit di tengah ketidakberdayaan perut dan gaya hidup yang harus dipenuhi dengan fulus dan fulus. Jadi bicara independensi saat ini sudah seperti bayangan imajinatif seorang wanita molek yang tak tergapai.
Karena itu, masalah itu disinggung sekilas saja biar kita ingat bahwa suatu masa kita pernah juga merengkuh kata independensi itu. Yang lebih utama saat ini adalah kerja jurnalistik seharusnya tetaplah kerja profesional yang berangkat dari fakta yang ada dan bukan membuat fakta demi sebuah berita yang memenuhi selera politik wartawan penulisnya.
Silakan saja wartawan berpandangan politik, jadi makelar politik, jadi centeng politisi. Tetapi, perlakukan fakta dan data yang jadi dasar penulisan sebuah berita secara terhormat. Jangan sekali-kali diubah atau dibelokkan untuk keperluan politik. Sekali fakta dan data itu diubah dan dibelokkan, ia menjadi data dan fakta yang salah yang melahirkan berita yang salah pula yang disebut berita hoax itu.
Jadi berita hoax itu bukan hanya terkait dengan berita sampah isu dari sumber tak jelas seiring makin eksisnya kehidupan bermedsos saat ini. Wartawan atau media massa pun bisa melahirkan berita hoax jika fakta dan data diperlakukan tidak dengan hormat alias direkayasa.
Ini berbeda dengan berita negatif atau minor yang memang didukung fakta dan data, yang sering dipakai media milik pebisnis dan politisi untuk "menyerang" lawan politiknya. Media elektronik televisi milik mereka secara kasat mata sering mempertontonkan hal itu, demikian pula media cetak mereka. Memang masih jadi perdebatan soal boleh atau tidak hal ini dilakukan mengingat prinsip independensi tadi.
Jika berita negatif itu memang didukung fakta dan data, tidak bisa disebut berita hoax. Juga, tidak bisa disebut menyalahi prinsip dasar pembuatan berita dalam dunia jurnalistik. Soal jumlah berita negatif yang ditayangkan atau dimuat media itu mencapai 100 persen untuk menyerang lawan politiknya, misalnya, itu akan kembali ke penikmat media itu. Kalau senang mereka akan bertahan menjadi konsumennya atau jika sebaliknya mereka tinggalkan karena dinilai tidak menyajikan berita yang berimbang.Â