Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jawa Pos Minta Maaf, Fahri Hamzah Kapan?

5 Maret 2018   11:21 Diperbarui: 5 Maret 2018   11:41 2361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya, saya sedang menunggu berita lanjutan soal M. Nazaruddin yang menyatakan segera menyerahkan bukti yang bisa menjadikan Fahri Hamzah yan mulia wakil ketua DPR, sebagai tersangka korupsi. Itu berita pastilah menarik, bagaimana seorang Fahri Hamzah bisa menjadi tersangka korupsi. Apa kata dunia?

Bukankah Fahri Hamzah sudah menyebut M. Nazaruddin tengah memainkan jurus mabuk dan dia siap melayaninya dengan jurus tapak suci. Itu jelas partai "duel" yang amat menarik, dan sebuah ring tinju layak dipersiapkan untuk mereka berdua. Tapi apa boleh buat, jadwal duel di ranah peradilan korupsi Indonesia itu ternyata tak juga ada titik terang.

Lah...yang muncul malah cuitan Fahri di Twitter mengomentari Presiden Jokowi yang sedang berlatih tinju. "Bagaimana kalau kita adu sama mantan DANJEN kopassus itu ya? 2019... Kira-kira siapa yang babak belur ya". Rupanya Fahri ini memang senang lihat orang duel. Kira-kira dia lupa tidak dengan adu jurusnya dengan M. Nazaruddin itu?

Namun, ternyata ada berita yang lebih menarik dibanding cuitan Fahri Hamzah itu. Redaksi Jawa Pos lewat pemimpin redaksinya, Dhimas Ginanjar telah meminta maaf Minggu malam kemarin terkait pemberitaan yang menyebut M. Luthfi admin Family Muslim Cyber Army yang ditangkap polisi itu adalah pendukung Ahok. Berita tentang hal itu disebut lahir dari proses jurnalistik yang tidak sesuai standar Jawa Pos.

Sebelumnya M. Luthfi admin Family Muslim Cyber Army yang ditangkap polisi itu disamakan dengan akun @Cak_Luth oleh portal tak jelas, Tribun Islam dan Humas Polresta Surakarta yang disebar banyak akun lain, dengan berita M. Luthfi admin Family Muslim Cyber Army yang ditangkap polisi itu adalah relawan Jokowi. Entah bagaimana ceritanya, berita ini ternyata juga muncul Jawa Pos, dengan judul "Nah, Tersangka  Muslim Cyber Army Ternyata Ahokers". (Penelusuran soal ini bisa dilihat di cuitan PS@PartaiSocmed di Twitter.)

Ternyata berita itu tidak benar. Kepolisian telah mengeluarkan pernyataan bahwa dari sekian akun milik M. Luthfi admin Family Muslim Cyber Army, yang dipakai untuk menyebarkan berita hoax, tidak ada akun @Cak_Luth. Akun @Cak_Luth sendiri sudah memberikan klarifikasi terkait hal itu, yang dipertegas dengan penelusuran dan klarifikasi PS@PartaiSocmed.

Screenshot dari web jawa pos
Screenshot dari web jawa pos
Masalahnya, Fahri Hamzah mencuitkan hal serupa dengan merujuk berita Jawa Pos itu. Dia menulis, "Dari web resmi @jawapos menemukan bahwa ketua MCA adalah Ahoker. Jadi maling teriak maling dan ngaku Muslim segala. Ayok @DivHumas_Polri selesaikan barang ini. Jangan mau merusak nama Polri dengan menyerang identitas agama."

Kalau redaksi Jawa Pos lewat pemimpin redaksinya telah meminta maaf dan menghapus berita itu, Fahri Hamzah seharusnya melakukan hal serupa. Ini soal etika seseorang dalam bermedsos jika tahu yang dilakukannya itu salah. Saya yakin Fahri Hamzah sudah tahu soal permintaan maaf Jawa Pos karena pemberitaan soal MCA dan Ahokers itu.

Cuitan Fahri Hamzah itu sebenarnya bisa dinilai sebagai gambaran kegalauan hatinya atas penangkapan pentolan grup produsen dan penyebar sampah hoax yang bernama Muslim Cyber Army oleh pihak kepolisian. Awalnya dia keberatan dengan penyebutan nama muslim. Lantas dia menemukan pembenaran atas kegalauan itu dengan munculnya berita di Jawa Pos itu. Sehingga pas ketika dia menyebut "Jangan mau merusak nama Polri dengan menyerang identitas agama."

Tetapi kemudian jelas terbukti bahwa penilaian Fahri Hamzah itu salah. Pertama, nama muslim itu memang sudah melekat lama pada kelompok itu. Kedua, berita bahwa admin Family Muslim Cyber Army yang ditangkap itu bukan Ahokers dan Jawa Pos telah menghapus berita itu dan minta maaf. Jadi sudah tidak ada alasan bagi Fahri Hamzah untuk tetap ngeyel merasa benar sendiri.

Persoalan sampah berita hoax ini memang sudah sangat mengganggu dan meresahkan. Diberangusnya pentolan Muslim Cyber Army tidak serta merta menghentikan peredaran sampah berita hoax ini. Di tahun politik yang penuh tekanan politik dan banyak isu ini, sampah berita hoax menemukan iklim yang tepat untuk berkembang biak. Terlebih lagi jika ada kelompok yang sengaja memanfaatkan kelompok produsen berita hoax itu, entah dengan alasan ekonomi atau ideologi, agama, dan sejenisnya.

Oleh karena itu, seharusnya kita tidak bisa mengandalkan peran kepolisian dan yang berwenang untuk memberantas peredaran berita hoax dan para produsennya. Sudah banyak memang kelompok antihoax yang terlibat saat ini. Namun, seharusnya hal ini juga diimbangi sikap positif dari yang mulia anggota DPR dan para petingginya semacam Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Jangan sampai mereka justru jadi pembela para produsen sampah berita hoax ini.

Screenshot
Screenshot
Media massa seharusnya juga terlibat aktif dalam persoalan serius ini. Memperlakukan standar yang ketat dalam membuat berita, yang antara lain kejelasan sumber, cek dan ricek, pemilihan diksi yang tepat seharusnya sudah otomatis berjalan. Ini tidak hanya media arus utama, tetapi juga media arus samping yang jumlahnya begitu banyak itu baik di pusat maupun di daerah. Ini bukan persoalan rumit, hanya soal mau atau tidak (terkecuali jika kemampuan SDM media itu sangat tidak layak).

Kasus yang terjadi di Jawa Pos terkait pemberitaan Muslim Cyber Army dan Ahokers yang salah itu memang memprihatinkan. Media yang usianya sudah puluhan tahun itu ternyata sampai kecolongan membuat berita yang tidak benar. Bisa jadi tekanan kejar tayang yang begitu berat sehingga prosedur standar pembuatan diabaikan. 

Tetapi, yang merisaukan adalah jika lahirnya berita semacam itu juga karena pengaruh pilihan politik si pembuat berita. Ini artinya ada hubungan emosional yang kuat antara berita yang dibuat dan dimuat dengan sikap politik wartawannya. Artinya, wartawannya tidak lagi bersikap netral sehingga tidak bisa lagi membedakan mana sebuah produk jurnalistik yang baik dan yang buruk.

Kekhawatiran ini bukannya tidak beralasan. Beberapa waktu lalu Ketua PWI Margiono yang kini maju dalam pilbup Tulungagung, Jatim itu, mengeluarkan pernyataan bahwa boleh saja seorang wartawan mengendorse seorang calon dalam sebuah even pemilihan, yang didasari penilaian pribadi. Pernyataan Margiono ini seolah menegaskan wartawan tidak lagi perlu lagi bersikap netral dalam urusan politik.

Nah, yang mengkhawatirkan dari pendapat Margiono itu adalah batasan antara pandangan pribadi dan fakta objektif sebuah berita menjadi kabur. Jika ini yang terjadi, sebuah berita akan diwarnai pandangan subjektif wartawan. Pada akhirnya, dorongan untuk membuat berita yang objektif menjadi lemah. Kasus yang terjadi di Jawa Pos, media almamater Margiono itu sangat mungkin karena faktor itu. Tentu saja ini pendapat saya pribadi yang bisa saja salah.

Kembali ke persoalan Fahri Hamzah yang telah merujuk berita hoax di Jawa Pos itu. Seharusnya, setelah mengetahui persoalan ini secara jelas, dia secara kesatria harus mencuit ulang yang menyatakan dia telah berbuat salah dengan mengutip berita yang salah. Sebagai gentleman seharusnya tidak ada halangan bagi Fahri Hamzah untuk melakukan itu.

Jangan lupa juga. Fahri harusnya juga meminta maaf kepada institusi polri yang telah dinilainya merusak identitas agama. Ingat penyebutan nama muslim itu karena kelompok itu memang bernama Muslim Cyber Army. Nama ini sudah lama ada sejak masa Pilkada DKI Jakarta tahun kemarin, yang dengan gigih membela Riziek dan ikut memburu akun yang dinilai menyerang Riziek, yang dalam beberapa kasus berakhir dengan tindakan persekusi.

Berita hoax sebagai senjata politik untuk menggiring opini dan menggalang dukungan memang sangat menggoda politisi yang menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan politik. Bisa jadi kesuksesan penyebaran berita hoax dalam Pilpres Amerika yang melahirkan kemenangan Donald Trump, tetap sangat menggoda. Namun, kita masih bisa berharap kesuksesan yang diraih Perancis dalam mengamankan pilpres nya dari serbuan hoax. 

Namun yang juga perlu diingat, berita hoax juga terbukti sukses meruntuhkan Iraq, Libya, dan mencerai-beraikan Suriah hingga kini. Apakah ini yang kita kehendaki?

Salam-salaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun