Oleh karena itu, seharusnya kita tidak bisa mengandalkan peran kepolisian dan yang berwenang untuk memberantas peredaran berita hoax dan para produsennya. Sudah banyak memang kelompok antihoax yang terlibat saat ini. Namun, seharusnya hal ini juga diimbangi sikap positif dari yang mulia anggota DPR dan para petingginya semacam Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Jangan sampai mereka justru jadi pembela para produsen sampah berita hoax ini.
Kasus yang terjadi di Jawa Pos terkait pemberitaan Muslim Cyber Army dan Ahokers yang salah itu memang memprihatinkan. Media yang usianya sudah puluhan tahun itu ternyata sampai kecolongan membuat berita yang tidak benar. Bisa jadi tekanan kejar tayang yang begitu berat sehingga prosedur standar pembuatan diabaikan.Â
Tetapi, yang merisaukan adalah jika lahirnya berita semacam itu juga karena pengaruh pilihan politik si pembuat berita. Ini artinya ada hubungan emosional yang kuat antara berita yang dibuat dan dimuat dengan sikap politik wartawannya. Artinya, wartawannya tidak lagi bersikap netral sehingga tidak bisa lagi membedakan mana sebuah produk jurnalistik yang baik dan yang buruk.
Kekhawatiran ini bukannya tidak beralasan. Beberapa waktu lalu Ketua PWI Margiono yang kini maju dalam pilbup Tulungagung, Jatim itu, mengeluarkan pernyataan bahwa boleh saja seorang wartawan mengendorse seorang calon dalam sebuah even pemilihan, yang didasari penilaian pribadi. Pernyataan Margiono ini seolah menegaskan wartawan tidak lagi perlu lagi bersikap netral dalam urusan politik.
Nah, yang mengkhawatirkan dari pendapat Margiono itu adalah batasan antara pandangan pribadi dan fakta objektif sebuah berita menjadi kabur. Jika ini yang terjadi, sebuah berita akan diwarnai pandangan subjektif wartawan. Pada akhirnya, dorongan untuk membuat berita yang objektif menjadi lemah. Kasus yang terjadi di Jawa Pos, media almamater Margiono itu sangat mungkin karena faktor itu. Tentu saja ini pendapat saya pribadi yang bisa saja salah.
Kembali ke persoalan Fahri Hamzah yang telah merujuk berita hoax di Jawa Pos itu. Seharusnya, setelah mengetahui persoalan ini secara jelas, dia secara kesatria harus mencuit ulang yang menyatakan dia telah berbuat salah dengan mengutip berita yang salah. Sebagai gentleman seharusnya tidak ada halangan bagi Fahri Hamzah untuk melakukan itu.
Jangan lupa juga. Fahri harusnya juga meminta maaf kepada institusi polri yang telah dinilainya merusak identitas agama. Ingat penyebutan nama muslim itu karena kelompok itu memang bernama Muslim Cyber Army. Nama ini sudah lama ada sejak masa Pilkada DKI Jakarta tahun kemarin, yang dengan gigih membela Riziek dan ikut memburu akun yang dinilai menyerang Riziek, yang dalam beberapa kasus berakhir dengan tindakan persekusi.
Berita hoax sebagai senjata politik untuk menggiring opini dan menggalang dukungan memang sangat menggoda politisi yang menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan politik. Bisa jadi kesuksesan penyebaran berita hoax dalam Pilpres Amerika yang melahirkan kemenangan Donald Trump, tetap sangat menggoda. Namun, kita masih bisa berharap kesuksesan yang diraih Perancis dalam mengamankan pilpres nya dari serbuan hoax.Â
Namun yang juga perlu diingat, berita hoax juga terbukti sukses meruntuhkan Iraq, Libya, dan mencerai-beraikan Suriah hingga kini. Apakah ini yang kita kehendaki?
Salam-salaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H