Beberapa waktu lalu, banyak orang mengaku keturunan Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan berbangga diri dengan gelar habib. Kini, adalagi yang mengaku keturunan raja Majapahit saat bersafari politik. Pohon keluarga memang sudah lama dijadikan legitimasi diri untuk mendongkrak kredibilitas seseorang untuk meraih rasa hormat dan dukungan.
Adalah Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) mantan presiden Republik Indonesia yang menyatakan dia adalah keturunan Majapahit. Dan, dua putranya adalah keturunan ke-14 dari pendiri Kerajaan Majapahit Raden Wijaya. Dalam silsilah yang diunggah di Twitter, Â oleh Andi Arief, mantan staf kepresidenan era SBY, disebutkan SBY juga masih punya ikatan darah dengan raja Mataram.
Saya tak hendak membahas benar tidaknya klaim keturunan yang dilontarkan oleh SBY itu. Itu jadi urusan para ahli nasab raja-raja Jawa. Biar mereka membuka primbon silsilah raja Majapahit dan Mataram. Itu juga kalau ada.Â
Kalau ada buku primbon silsilah raja Majapahit atau Mataram sampai jaman sekarang, itu jelas menarik dan patut dicetak ulang untuk umum. Saya juga ingin mengecek apakah ada silsilah raja yang nyamper ke keluarga saya. Siapa tahu saya keturunan Raja Hayam Wuruk.
Eh...kok ngelantur. Kembali ke soal garis keturunan Kanjeng Nabi dan raja-raja Jawa. Sah saja, ada orang mengungkap atau membuat silsilah keluarga sampai ke canggah, gentong, siwor, dan seterusnya yang saya tidak hafal sebutannya dalam bahasa Jawa. Itu namanya sebuah upaya merawat pohon keluarga.Â
Umumnya, tujuan membuat silsilah keluarga itu baik yaitu menyambung tali silaturahmi yang putus atau bahasa Jawanya kepaten obor. Dengan upaya itu, keluarga jauh yang sebelumnya tidak atau kurang dikenal jadi bisa dikenal. Itu yang bersifat kekinian karena biasanya hanya sampai 3 sampai 4 generasi di atasnya atau sampai canggah yaitu orang tua dari buyut.
Namun, memang pada beberapa keluarga "priyayi atau mriyayi", pembuatan silsilah bisa sampai beberapa generasi lagi. Ibararat air Bengawan Solo yang bermuara di Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur, disusuri sampai Lamongan, Tuban, Bojonegoro, Cepu, Sragen, Solo, sampai ke mata airnya. (Film Avatar itu menggambarkan pohon kehidupan ini secara bagus, tapi sayangnya bukan di bumi.)
Jadi, membuat silsilah keluarga untuk merawat pohon kehidupan di keluarga itu wajar, lumrah, dan tidak perlu dipermasalahkan. Namun, memang upaya ini seringkali tidak melulu karena ingin merawat pohon kehidupan keluarga. Banyak yang kemudian mencantolkanya ke garis ningrat seperti pangeran atau raja untuk mendongkrak citra keluarga, dan mengumumkannya ke khalayak ramai.
Ketika ramai-ramai orang membahas silsilah Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang keturunannya diberi gelar habib, ada perasaan rindu dan hormat kepada Kanjeng Nabi dan tentu hormat kepada keturunannya. Seperti ada hukum tak tertulis di kalangan masyarakat muslim Indonesia bahwa para habib wajib dihormati.
Orang yang bergelar habib, selain wajib dihormati, dia juga tak boleh dicela meski melakukan kesalahan. Dan karenanya, ada pula orang yang memberi nama anaknya atau menambah sendiri namanya dengan nama habib agar ikut mendapat kemuliaan itu.
Dalam konteks masyarakat kita yang sekarang ini cukup banyak berkiblat ke Kanjeng Nabi Muhammad dan penerusnya, wajar jika banyak yang memanfaatkannya untuk meraih dukungan politik. Ini sudah terbukti dengan aksi demo berjilid-jilid itu yang terkait dengan seorang yang menyebut dirinya habib dan hingga kini buron ke negara Arab sono. Artinya, klaim sebagai habib masih punya efek lumayan saat ini.
Dukungan politik itu jelas yang diharapkan SBY ketika mengutarakan silsilah keluarganya. Angka 14 yang disebutnya sebagai urutan keturunan dari Raden Wijaya ke anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono dan Edi Baskoro Yudhoyono, juga masa kejayaan Majapahit pada abad ke-14 sesuai dengan nomor urut Partai Demokrat.Â
Jadi jelas, pernyataan SBY soal garis keturunan itu memang punya tujuan meraih dukungan politik masyarakat. Lebih spesifik lagi, karena hal itu diutarakan di Tulung Agung, di hadapan kader Partai Demokrat se-Jatim, tentu dukungan itu diharapkan dari masyarakat Jatim di mana Kerajaan Majapahit berdiri. Kalau di Jateng mungkin akan lebih pas jika disebut keturunan Kerajaan Mataram.
Persoalannya, masa kejayaan raja-raja di tanah Jawa ini sudah lewat (kecuali Jogja dan Solo). Jadi apa yang bisa diharapkan dari penyebutan keturunan ke-14 dari Raden Wijaya itu? Saya sebagai orang Jatim kok sudah tidak begitu memperhatikan soal nasab raja itu. Keturunan Bung Karno malah lebih dihormati oleh sebagian besar masyarakat Jatim.Â
Bukannya tidak ada rasa hormat lagi kepada figur Raden Wijaya, Hayam Wuruk, atau bahkan Gajah Mada sang Mahapatih. Jarak masa yang berabad-abad dan telah lewatnya masa kerajaan, menjadikan masyarakat tak punya ikatan emosional lagi. Generasi jaman now mungkin lebih akrab dengan Thor dari kerajaan antah berantah itu.
Penyebutan keturunan ke-14 ini menurut saya kok malah kontraproduktif. Ini malah seolah membenarkan penilaian selama ini bahwa SBY terlalu sibuk dengan urusan kehormatan dan kepentingan keluarganya. Masyarakat sekarang makin kritis dan dengan kemajuan teknologi informasi, lewat hape dan gadget lain, informasi apa pun yang berkembang soal Partai Demokrat, SBY, dan keluarganya bisa mereka akses.
Memang benar penilaian, sebagian masyarakat kita mudah melupakan suatu perkara yang tertutup perkara baru susul menyusul. Tapi itu dulu. Kemajuan teknologi membuat memori penyimpanan masyarakat juga menjadi baik. Karenanya, tentu mereka akan bisa mengingat kembali apa yang telah diperbuat Partai Demokrat, kadernya, Â SBY, dan keluarganya.
Kalau memang rekam jejak Partai Demokrat Cs baik, tentu masyarakat akan terus mendukung. Sebaliknya jika rekam jejaknya kurang baik macam banyak kasus korupsi dan proyek Hambalang yang mangkrak itu, tentu akan berpengaruh pula.Â
Jadi kalau ingin meraih dukungan, sebaiknya melakukan banyak kebaikan yang bisa mengurangi dampak buruk kasus-kasus korupsi dan semacamnya itu. Klaim keturunan raja, saya pikir bukan salah satu kebaikan yang tepat. Ini justru lebih berkesan terlalu berbangga diri.
Akhirnya, soal SBY menyebut keturunan raja Majapahit itu memang hak dia dalam rangka menegakkan silsilah atau pohon kehidupan keluarganya. Soal benar tidaknya silsilah itu biarlah para ahli silsilah yang menelaahnya. Hanya saja, jika tujuannya untuk meraih dukungan politik, tampaknya tidak akan efektif.
Silsilah keluarga yang bermuara pada pohon keluarga, memang baik untuk ditelaah dan ditelusuri, untuk menyambung tali silaturahmi dan memupuk kebaikan. Jika para pendahulu kita orang baik-baik maka jagalah diri dan keluarga untuk jadi orang baik-baik. Jangan pula terlalu bangga dengan garis keturunan. Karena bisa saja mengaku keturunan orang mulia tetapi berperilaku tercela dan akhirnya malah jadi buronan.
Salam salaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H