Momen itu diabadikan dalam sebuah foto yang memperlihatkan Presiden Soeharto menandatangani perjanjian, sementara boss besar IMF Michael Camdessus menyaksikannya sambil bersedekap tangan di dada dengan angkuhnya. Sebuah foto yang mengundang kemarahan dari banyak pihak, termasuk dari lawan politik Presiden Soeharto.
Dengan dasar pemikiran semacam itu, saya bisa memahami kecaman warganet terhadap Anies Baswedan yang berkacak pinggang di samping presiden. Seharusnya sebagai orang Indonesia, terlebih pribumi yang pernah memakai blangkon, dia paham benar itu sikap yang tidak patut.
Alasan adanya rivalitas antara dirinya dengan seorang Jokowi atau perasaan sakit hati karena diberhentikan dari jabatan menteri pendidikan, tidak bisa jadi alasan pembenar. Bagaimana pun dia saat ini adalah seorang gubernur. Dalam ketatanegaraan kita, jabatan gubernur itu di bawah jabatan presiden. Sudah seharus seorang gubernur tidak bersikap seperti bos di hadapan presiden.
Karena ini tahun politik, sikap Anies Baswedan itu bisa dinilai sengaja untuk pencitraan bahwa dia dan presiden itu tidak ada relasi atasan dan bawahan. Ini tentu bisa mengundang simpati dan dukungan dari lawan politik Jokowi dan kelompok yang selama ini memusuhi dan bahkan memfitnah macam-macam.
Sah-sah saja dia terus bermanuver dan bersikap menarik simpati massa pendukungnya. Namun persoalan etika pergaulan resmi janganlah diabaikan. Memang politik itu seringkali kotor, dan mengabaikan tatakrama dan kemanusiaan. Misalnya, dulu ada larangan menyolati jenazah pendukung Ahok. Tetapi, itu jelas sangat buruk dan karenanya janganlah menambah keburukan dengan mengabaikan tatakrama bahasa tubuh dalam pergaulan resmi.
Urusan Anies ingin jadi presiden, boleh saja itu hak setiap warga negara. Kalau dia ingin berpasangan dengan  Riziek atau Ahok atau Fadli Zon juga tidak ada yang melarang. Hanya saja, dia juga harus sadar bahwa sekarang ini dia menjabat gubernur DKI Jakarta bukan gubernur Indonesia yang tak ada dalam struktur jabatan di ketatanegaraan kita. Jadi bersikaplah sebagai gubernur yang baik, santun, taat hukum, dan tahu tatakrama.
Akhirnya, tidak ada gading yang tak retak, Â manusia memang tempatnya salah. Tetapi, manusia adalah makhluq yang bisa belajar. Untuk urusan etiket dan bahasa tubuh, Sandiaga Uno tahu tempat yang pas untuk belajar.
Salam salaman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H