Rasanya, ngeyel mempertahankan jabatan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) bagi Arief Hidayat jauh dari sikap bijak dan negarawan. Terlalu besar keburukan yang akan ditanggung MK jika gaduh persoalan ini tak kunjung selesai. Sebaiknya, Arief Hidayat secepatnya mundur dari jabatannya sebagai ketua MK.
Pilihan mundur ini bukannya tidak berdasar. Ada persoalan etika yang sangat serius yang seharusnya sudah menggerakkan hati seorang Arief Hidayat untuk melepas jabatan. Dua kali pelanggaran, mengirim surat katabelece ke Kejaksaan terkait kerabatnya dan mengadakan pertemuan dengan anggota DPR yang disebut terkait perpanjangan masa jabatannya di MK.
Terakhir, dia kembali diadukan ke Dewan Etik Mahkamah Konstitusi, terkait tindakannya mengomentari putusan MK yang dibuat hakim lain, dalam perbincangan di grup Whatsapp. Sebuah tindakan yang sangat tidak etis dilakukan seorang ketua MK. Jangankan mengomentari putusan hakim lain, mengomentari putusan sendiri juga tidak etis dan keluar dari kepatutan.
Dengan ketiga persoalan ini, sangat layak bagi Arief Hidayat untuk mundur. Jika dia mengambil keputusan untuk mundur, masyarakat masih bisa menilai dia masih punya nurani dan rasa malu. Sebaliknya jika tidak, tetap ngotot dan bersikukuh memegang jabatan ketua MK, maka tidak salah jika masyarakat menilai dia sudah tak bernurani dan tak bermalu.
Sebenarnya, saat 54 guru besar dan profesor dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia memintanya mundur agar marwah MK terjaga, Arief sudah bisa bersikap bijak dengan mundur dari jabatannya. Namun, dia malah menuduh langkah 54 guru besar dan profesor itu sebagai rekayasa. Dia bersikukuh dengan kebenarannya sendiri.
Padahal, jika dikaji dengan hati dan pikiran yang jernih, permintaan para guru besar dan profesor agar dia mundur, cukup logis dan wajar dengan mendasarkannya kepada sikap etis yang harus jadi pegangan seorang hakim MK. Lembaga terhormat ini harus diisi oleh para hakim yang memahami hakikat kejujuran, kebenaran, dan keadilan.
Seorang hakim MK yang terbukti melanggar etik, dinilai sudah tidak punya kualitas sebagai negarawan. Sementara negarawan sejati tidak akan mempertahankan posisinya sebagai hakim konstitusi setelah dijatuhi sanksi pelanggaran etika. [1] Padahal, Arief Hidayat sudah kali terbukti melakukan pelanggaran. Sebuah sikap yang jauh dari sikap seorang negarawan.
Tak hanya itu, lahirnya keputusan kontroversial terkait panitia angket KPK dan kedudukan KPK dalam struktur tata negara, telah menimbulkan kecurigaan tentang adanya kesepakan antara Arief Hidayat dan beberapa pimpinan DPR. Anggota DPR Desmon secara terbuka berani menyebut ada lobi Arief Hidayat ke DPR agar dia bisa menjabat lagi.
Desmon menyebut, Arief sempat berucap kalau dia tidak terpilih jadi anggota MK lagi, maka Saldi Isra yang akan menggatikannya di MK. [2] Sementara Saldi Isra dikenal sebagai sosok yang pro KPK. Ini tentu akan merugikan DPR yang membentuk panitia angket KPK. Memang pernyataan Desmon ini dibantah anggota DPR lain yang pro panitia angket, tetapi bantahan itu terasa aneh.
Keputusan MK itu memang sangat kontroversial. Ada lima keputusan MK sebelumnya yang menegaskan bahwa KPK masuk lembaga yudikatif yang independen dan bukan bagian dari eksekutif yang tak bisa jadi objek hak angket DPR. Namun, MK di bawah kepemimpinan Arief Hidayat mengabaikan keputusan itu, dan menyatakan KPK sebagai bagian dari eksekutif dan bisa jadi objek angket DPR. Sebuah keputusan yang tak bulat karena hanya lima hakim yang mendukung sementara empat hakim lain berbeda pendapat.
Keputusan ini mengingatkan kita akan keputusan MK yang menyatakan bukti rekaman yang dibuat tidak atas permintaan petugas hukum, tidak bisa dijadikan alat bukti di persidangan. Dengan keputusan ini, bukti rekaman dalam skandal Papa Minta Saham, terkait Freeport, tak punya kekuatan hukum. Setya Novanto pun saat itu lolos dan kembali bisa menjabat ketua DPR.
Keputusan MK terkait status KPK itu memang tidak berdampak langsung yang menguntungkan Setya Novanto karena sudah berhasil ditangkap KPK dan ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi E-KTP. Tetapi sulit menafikkan pengaruh lobi kelompok Setnov atas lahirnya keputusan itu. Pernyataan Desmon bisa dianggap sebagai penguat kecurigaan itu.
Melihat vitalnya peran MK, sungguh sangat tidak elok jika marwah lembaga ini digerogoti kepentingan politik sektarian semacam itu. Keraguan masyarakat membawa masalah UU MD3 ke MK karena meragukan keadilan lembaga sangat terhormat itu, seharusnya jadi bahan introspeksi kalangan internal MK. Artinya, bersih-bersih diri di MK tidak bisa ditunda lagi.
Inilah realitas MK saat ini yang seharusnya jadi acuan Arief Hidayat untuk mundur secara terhormat demi menyelamatkan marwah MK. Arief Hidayat harus mendengarkan suara hati nuraninya, bahwa dia sudah tidak layak lagi menjabat di MK. Itulah yang kini ditunggu masyarakat banyak, kebesaran dan keberanian seorang Arief untuk mengakui bahwa dia memang pantas lengser dari MK.
Sikap ngeyel jelas bukan pilihan yang tepat saat ini. Sikap ini selain bisa dinilai pantulan pribadi tak berhati nurani dan picik, juga tidak membawa manfaat secara pribadi. Apakah setelah pengaduan terkait tindakannya di grup Whatsapp itu diproses di Dewan Etik MK, dia masih begitu yakin tidak bersalah dan merasa layak tetap menjabat ketua MK?
Etika seharusnya menjadi pegangan dalam banyak persoalan di negeri ini. Banyak orang cakap, cerdik, pandai memegang jabatan strategis atau duduk dalam jajaran elit masyarakat. Tetapi kenyataan menunjukkan bagaimana perilaku mereka kurang beretika, kurang bermalu, adu kuasa, adu pasal undang-undang, lupa kepada jati diri dan kewajibannya.
Kasus ketua MK Arief Hidayat ini hanya salah satu kasus yang pernah melanda MK. Ada noda hitam kasus suap Akil Mochtar, ada juga kasus suap Patrialis Akbar. Keduanya jelas melanggar etika agung seorang hakim MK, negarawan yang keputusannya final dan mengikat. Bisa dibayangkan jika orang-orang seperti mereka tetap menjabat di MK.Â
Kasus Arief Hidayat memang berbeda dengan kasus Akil Mochtar dan Patrialis Akbar. Namun, esensinya pelanggaran etika yang dilakukannya tidak bisa disebut biasa-biasa saja karena juga bisa mempengaruhi kredibilitas MK. Akibat buruk lain adalah keputusan yang diambil lembaga sangat terhormat ini bisa terpolusi pula, seperti kasus putusan terkait KPK dan hak angket DPR itu.
Kini persoalan ini memang bergantung kepada Arief Hidayat. Namun Dewan Etik MK seharusnya bersikap proaktif terkait pengaduan soal tindakan ketua MK itu di grup Whatsapp. Memang keputusan Dewan Etik pada dua kasus pelanggaran yang dilakukan Arief Hidayat terhitung tidak tegas karena hanya memutus sebagai pelanggaran ringan, padahal ini menyangkut katabelece dan "lobi-lobi".
Kalau Arief tetap pada sikapnya dan tidak ada kesadaran untuk mundur dari MK, harapan masyarakat tentunya digantungkan ke Dewan Etik MK. Pertanyaannya, apakah Dewan Etik mau mrmbuka mata hatinya, mendengarkan nuraninya, bahwa MK perlu diselamatkan dari perilaku tercela? Tentu kita masih harus menunggu dengan kepala dingin, walau mungkin aksi demo dipandang perlu agar para beliau itu tergugah kesadarannya.
Akhirnya, alangkah elok jika Arief Hidayat mau mundur dengan sukarela. Ingatlah ucapan ketua MK ini saat Patrialis Akbar ditangkap KPK Januari 2017 lalu, "Ya Allah, saya mohon ampun. Saya tidak bisa menjaga MK dengan sebaik-baiknya."
Salam salaman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H