"This is my war, perang untuk keadilan". Sebuah diksi yang bagus, yang bisa membangkitkan semangat dan membuat gentar lawan yang diajak perang. Â Kalimat itu bukan diucapkan pejuang Palestina, bukan pula pihak yang berperang di Suriah, Yaman, Afghanistan, atau orang Rohingya yang teraniaya. Kalimat itu terucap dari seorang jenderal tua, seorang mantan presiden yang kini jadi ketua umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono.
Lho, memangnya keadaan di tanah air begitu genting sehingga seorang SBY harus mendeklarasikan perang? Kalau yang mengucapkan kalimat itu orang biasa atau orang yang sedikit tidak biasa sih masih bisa dipahami sebagai hal yang tidak luar biasa. Ini SBY, lho, seorang jenderal dan mantan presiden, mendeklarasikan perang. Itu jelas sangat luar biasa.
Namun, entah mengapa ketika tahu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berucap "this is may war" saya kok langsung yakin bahwa SBY tidak ingin perang. Saya tahu dia itu jenderal purnawirawan, mantan presiden, dan punya pengikut banyak. Apalagi dia itu ketua umum Partai Demokrat dengan banyak anggota yang bisa saja sangat loyal ketika Pak Jenderal SBY ngajak perang.Â
Saya yakin sekali SBY tidak ingin perang walaupun dia berucap "this is my war". Bukankah ada kalimat lanjutannya yaitu perang untuk keadilan. Ya, mungkin dia mengucapkan kalimat itu karena dia merasa didzolimi, dituduh, difitnah sebagai orang yang berada di balik kasus korupsi E-KTP. Jadi mungkin karena SBY ini seorang jenderal yang terbiasa dengan perang, yang muncul ya kalimat "this is my war".
Ingat SBY ini lulusan terbaik pendidikan kemiliteran di dalam dan luar negeri, lho. Makanya yang diucapkan itu bahasa Inggris, bahasa internasional, bukan bahasa Indonesia. Nah, nalurinya sebagai militer itu yang membuatnya berucap seperti itu. Tetapi saya sangat yakin SBY tidak ingin perang.
Ingat, ketika menjabat presiden, SBY aktif menciptakan perdamaian dunia. Pasukan militer kita cukup disegani dan dihormati di luar negeri. Bahkan sempat muncul rumor SBY akan menjabat di PBB. Itu menunjukkan SBY cinta perdamaian dan tentu saja tidak suka perang. Apalagi perang  di dalam negeri, melawan pengacara pula. Tidak mungkin itu. Tidak nalar.
Oleh karena itulah, ada kemungkinan SBY terlalu tegang, terlalu emosi, terlalu panik, terlalu sensitif karena namanya disebut di persidangan kasus korupsi E-KTP. Yang menyebut Mirwan Amir mantan kader Partai Demokrat  pula, yang menanyainya Firman Wijaya pengacara yang dulu membela mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum pula. Jadi mereka ini kan mantan anak buah. Lha kok berani-beraninya menyebut namanya.
Tak hanya itu, Setya Novanto kok ya ikut "memperlihatkan" nama Ibas putra SBY dalam buku hitamnya. Itu tindakan yang tak elok, tak tahu balas budi. Setnov dinilainya telah berlaku "air susu dibalas air tuba". Â Â
Itulah mungkin yang membuat SBY mengeluarkan kalimat keramat "this is my war". Saya nilai kalimat ini keramat karena yang mengucapkan seorang jenderal, mantan presiden, ketua umum partai yang tentu bisa berdampak luas. Tetapi kekeramatan kalimat itu mungkin pula telah mengalami desakralisasi karena SBY telah beberapa kali curhat dengan nuansa dan isi curhat yang hampir senada.
Jadi masih perlukah kita menyoroti kalimat "this is my war" yang diucapkan SBY? Dan apakah SBY perlu meralat kalimatnya itu misalnya dengan kalimat "ini upaya saya menegakkan keadilan di republik ini"? Ah...jawabannya jelas tak perlu, itu lebay. Biar saja semua itu terjadi, saya kira rakyat sudah paham kok, SBY tidak ingin perang.
Yang justru menarik adalah niat SBY untuk menegakkan keadilan dengan melaporkan Firman Wijaya, pengacara Mirwan Amir, ke polisi karena dinilainya telah memfitnah dan mencemarkan nama baiknya. Niat menegakkan keadilan ini sangat menarik dibicarakan karena SBY hendak berkontribusi dalam penegakan keadilan. Tentu saja, SBY pasti telah ikhlas berlaku adil agar proses hukum penegakan keadilan berjalan fair.
Dengan pandangan keadilan itu tidak memihak, SBY tentu juga tentu telah terbuka hatinya jikalau nanti hukum memutuskan bahwa proses mencari kebenaran di persidangan yang diwujudkan dalam tanya jawab, yang dipandu hakim adalah sah dan tidak bisa dipidana.
Sulit dibayangkan memang, jika setiap tanya jawab di persidangan karena dinilai merugikan satu pihak lantas dipidanakan. Saksi pastilah ketakutan, demikian pula pengacara akan bekerja cari selamat saja dan mengabaikan pencarian kebenaran hukum.
Dengan prasangka baik bahwa SBY tentu sangat paham bahwa tindakannya itu bisa mempengaruhi proses persidangan kasus korupsi E-KTP, wajar jika timbul pertanyaan, sebenarnya apa yang jadi tujuan SBY. Karena hingga saat ini belum ada sebuah pernyataan bahwa SBY terlibat langsung dalam kasus korupsi E-KTP.Â
Yang terungkap di persidangan, Mirwan menyebut pernah meminta SBY menghentikan proyek E-KTP karena dinilai bermasalah dan SBY menolak permintaan itu karena proyek E-KTP terkait pelaksanaan pilkada. Sebaliknya SBY menilai Firman Wijaya telah bersekongkol dengan Mirwan Amir sehingga muncul dialog di persidangan yang menyebut nama SBY.
Tulisan tak hendak mencampuri materi "perang" SBY dan Firman itu. Hanya saja, disebutnya nama SBY di dalam persidangan kasus korupsi tidak serta merta menjadikan dia sebagai tersangka kasus korupsi. Apalagi dia itu jenderal dan mantan presiden, sebuah status yang "dilindungi". Pada kasus lain, ada juga kan nama yang disebut di persidangan tetapi tetap baik-baik saja.
Karena itu, wajar juga jika ada penilaian bahwa pernyataan dan tindakan SBY itu lebih bernuansa politis sekaligus protektif terhadap keluarganya agar tidak diusik oleh kasus korupsi itu. Bukankah jika isu di persidangan terus bergulir akan sangat merugikan citra keluarga dan partainya? Terlebih lagi putra sulungnya Agus telah menetapkan pilihan untuk jadi jagonya di dunia politik dan mundur dari kemiliteran.Â
Perkembangan pengusutan kasus ini yang telah berhasil menjadikan Setya Novanto sebagai tersangka, memang membuka peluang adanya tersangka baru yang cukup berkelas juga. Dan Setya Novanto seolah membuka peluang itu dengan terbacanya nama Ibas di catatan buku hitamnya.
Sebuah upaya tawar-menawar yang cukup cerdik dari Setya Novanto agar dirinya bisa jadi justice collaborator. Jauh sebelum SBY bereaksi dengan "this is my war", langkah Setya Novanto yang mengajukan diri sebagai justice collaborator sudah dinilai sebagai sinyal makin banyaknya pihak yang akan terseret kasus ini.
Edi Baskoro Yudhoyono atau Ibas sendiri juga sudah pernah jadi sorotan terkait keterlibatannya dalam kasus korupsi yang melibatkan Nazarudin mantan bendahara Partai Demokrat. Yulianis  mantan wakil direktur keuangan Grup Permai anak buah Nazarudin misalnya, pernah menyebut namanya sebagai penerima dana 200.000 USD, terkait pelaksanaan Kongres Partai Demokrat. [1]
Perkembangan pengusutan kasus korupsi E-KTP itu tentu akan sangat merugikan kredibilitas SBY yang secara langsung akan berimbas terhadap Partai Demokrat dan kader-kadernya. Rakyat yang kritis bisa terpengaruh dan menjauhi partai itu. Ini jelas pula akan jadi pukulan yang sangat berat di tahun politik ini, setelah sebelumnya partai ini dengan susah payah memulihkan citra partai paska diterpa badai Bukit Hambalang.
Dengan dasar pemikiran itulah, langkah SBY menggelar jumpa pers, melaporkan Firman Wijaya ke polisi, juga lahirnya kalimat "this is my war" dan "air susu dibalas air tuba", sangat kental nuansa politisnya. Langkahnya yang diikuti dukungan para kadernya yang juga tercermin di media sosial, tentu diharapkan bisa memproteksi dan meningkatkan citra SBY dan Partai Demokrat. Citra adalah faktor sangat penting dalam kehidupan politik.
Masalahnya adalah apakah langkah SBY ini cukup efektif, walau media mengekposnya dengan porsi cukup "besar". Apakah langkah ini bisa mempengaruhi kesaksian di persidangan kasus korupsi E-KTP agar tidak mengkaitkan nama SBY dalam kasus itu? Bagaimana pula dengan Ibas yang namanya juga sudah muncul dalam buku hitam Setya Novanto itu?
Tentu waktulah yang akan menjawab pertanyaan itu. Setya Novanto sendiri terkait nama Ibas sudah menyatakan menunggu perkembangan penanganan kasus yang membelitnya itu. Sebuah ketidakpastian yang menggoda.
Akhirnya,this is my war bukan kalimat ajakan perang. Itu mungkin hanya diksi yang mempesona dari langkah politik SBY. Indonesia baik-baik saja, kok, dan masih aktif ikut menciptakan perdamaian dunia seperti yang diamanatkan konstitusi kita.
Â
Salam-salaman
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI