Dengan pandangan keadilan itu tidak memihak, SBY tentu juga tentu telah terbuka hatinya jikalau nanti hukum memutuskan bahwa proses mencari kebenaran di persidangan yang diwujudkan dalam tanya jawab, yang dipandu hakim adalah sah dan tidak bisa dipidana.
Sulit dibayangkan memang, jika setiap tanya jawab di persidangan karena dinilai merugikan satu pihak lantas dipidanakan. Saksi pastilah ketakutan, demikian pula pengacara akan bekerja cari selamat saja dan mengabaikan pencarian kebenaran hukum.
Dengan prasangka baik bahwa SBY tentu sangat paham bahwa tindakannya itu bisa mempengaruhi proses persidangan kasus korupsi E-KTP, wajar jika timbul pertanyaan, sebenarnya apa yang jadi tujuan SBY. Karena hingga saat ini belum ada sebuah pernyataan bahwa SBY terlibat langsung dalam kasus korupsi E-KTP.Â
Yang terungkap di persidangan, Mirwan menyebut pernah meminta SBY menghentikan proyek E-KTP karena dinilai bermasalah dan SBY menolak permintaan itu karena proyek E-KTP terkait pelaksanaan pilkada. Sebaliknya SBY menilai Firman Wijaya telah bersekongkol dengan Mirwan Amir sehingga muncul dialog di persidangan yang menyebut nama SBY.
Tulisan tak hendak mencampuri materi "perang" SBY dan Firman itu. Hanya saja, disebutnya nama SBY di dalam persidangan kasus korupsi tidak serta merta menjadikan dia sebagai tersangka kasus korupsi. Apalagi dia itu jenderal dan mantan presiden, sebuah status yang "dilindungi". Pada kasus lain, ada juga kan nama yang disebut di persidangan tetapi tetap baik-baik saja.
Karena itu, wajar juga jika ada penilaian bahwa pernyataan dan tindakan SBY itu lebih bernuansa politis sekaligus protektif terhadap keluarganya agar tidak diusik oleh kasus korupsi itu. Bukankah jika isu di persidangan terus bergulir akan sangat merugikan citra keluarga dan partainya? Terlebih lagi putra sulungnya Agus telah menetapkan pilihan untuk jadi jagonya di dunia politik dan mundur dari kemiliteran.Â
Perkembangan pengusutan kasus ini yang telah berhasil menjadikan Setya Novanto sebagai tersangka, memang membuka peluang adanya tersangka baru yang cukup berkelas juga. Dan Setya Novanto seolah membuka peluang itu dengan terbacanya nama Ibas di catatan buku hitamnya.
Sebuah upaya tawar-menawar yang cukup cerdik dari Setya Novanto agar dirinya bisa jadi justice collaborator. Jauh sebelum SBY bereaksi dengan "this is my war", langkah Setya Novanto yang mengajukan diri sebagai justice collaborator sudah dinilai sebagai sinyal makin banyaknya pihak yang akan terseret kasus ini.
Edi Baskoro Yudhoyono atau Ibas sendiri juga sudah pernah jadi sorotan terkait keterlibatannya dalam kasus korupsi yang melibatkan Nazarudin mantan bendahara Partai Demokrat. Yulianis  mantan wakil direktur keuangan Grup Permai anak buah Nazarudin misalnya, pernah menyebut namanya sebagai penerima dana 200.000 USD, terkait pelaksanaan Kongres Partai Demokrat. [1]
Perkembangan pengusutan kasus korupsi E-KTP itu tentu akan sangat merugikan kredibilitas SBY yang secara langsung akan berimbas terhadap Partai Demokrat dan kader-kadernya. Rakyat yang kritis bisa terpengaruh dan menjauhi partai itu. Ini jelas pula akan jadi pukulan yang sangat berat di tahun politik ini, setelah sebelumnya partai ini dengan susah payah memulihkan citra partai paska diterpa badai Bukit Hambalang.
Dengan dasar pemikiran itulah, langkah SBY menggelar jumpa pers, melaporkan Firman Wijaya ke polisi, juga lahirnya kalimat "this is my war" dan "air susu dibalas air tuba", sangat kental nuansa politisnya. Langkahnya yang diikuti dukungan para kadernya yang juga tercermin di media sosial, tentu diharapkan bisa memproteksi dan meningkatkan citra SBY dan Partai Demokrat. Citra adalah faktor sangat penting dalam kehidupan politik.