Hal itu secara sederhana bisa dilihat dari jawaban atas pertanyaan ini:Â
Adakah pejabat yang sukarela mundur karena merasa gagal mengemban amanat?
Adakah pejabat yang sukarela mundur karena disebut terlibat korupsi?
Adakah pejabat yang sukarela mundur karena disebut terlibat perselingkuhan?
Adakah pejabat yang sukarela mundur karena disebut punya hubungan dengan pelaku korupsi?
Masih banyak pertanyaan yang bisa diajukan sebenarnya, namun empat pertanyaan itu cukup untuk memberi gambaran atas persoalan ini. Saya tidak menyebut tindak bunuh diri karena dalam masyarakat kita tindak bunuh diri adalah berdosa. Dan yang pasti, keempat pertanyaan bisa berlaku bagi pejabat negara atau di luar itu.
Jawaban atas keempat pertanyaan itu membuktikan sebuah paradoks atas status sebagai bangsa yang santun, bertenggang rasa, berbudaya halus, dan punya rasa malu. Belum ditemukan kasus yang menjawab pertanyaan itu. Yang terjadi justru sebaliknya, jangankan mundur dari jabatannya, para pejabat itu justru berusaha sekuat tenaga, dengan dibantu para kroninya, mempertahankan jabatannya.Â
Dua kasus yang paling aktual adalah kasus E-KTP yang menyasar banyak pejabat itu, juga kasus ketua MK Arief Hidayat yang sudah dua kali terkena sanksi karena melanggar kode etik. Dari dua kasus itu kita bisa melihat dan menilai berapa tinggi derajat rasa malu dalam demokrasi kita. Demokrasi tidak bisa dimaknai sekedar sistem namun juga termasuk perilaku masyarakat yang terlibat di dalamnya.
Tak hanya soal mundur dan tidak mundur, kemaluan demokrasi kita begitu menyedihkan. Dalam praktek yang lain juga sama-sama menyedihkan. Hiruk pikuk atas nama demokrasi yang dipertontonkan selama beberapa tahun ini juga sangat memprihatinkan. Alih-alih memperkokoh demokrasi, yang terjadi justru negeri ini justru terancam perpecahan.
Demokrasi dipertontonkan seolah hanya sebuah aksi perebutan kekuasaan semata. Semua cara dijalankan mulai dari arogansi kelompok, fitnah, desakralisasi lembaga negara dan pemerintahan, kritik yang asal bunyi dan asal menyerang lawan politik, dan pelanggaran undang-undang secara terang-terangan untuk mempertontonkan kekuatan dan kekuasaan. Apakah ini masih bisa disebut demokrasi yang berkemaluan? Entahlah.
Mari bicara demokrasi tak berkemaluan ini barang sejenak karena inilah demokrasi yang jadi tontonan akbar beberapa tahun ini. Entah sudah berapa juta jiwa penduduk negeri ini mengacungkan ke-anu-annya dengan bangga sambil berteriak "bunuh, kafir, diktator, penjajah, asiing, aseng, asung, rezim represif, antek, toghut, dan sejenisnya" atas nama demokrasi.