Kepulangannya dari rumah sakit yang terkesan diam-diam, masuk ke gedung DPR lewat pintu belakang, dan terakhir tidak memberika sambutan pada sidang paripurna DPRD, adalah bukti Novanto telah kalah. Dia tidak bebas lagi secara psikologis. Beban berat ini tentu juga telah dirasakan keluarganya, yang setidaknya merasakan dampaknya secara sosial. Entah, kalau yang terjadi adalah sebaliknya karena keluarga Setnov begitu baiknya sehingga simpati mengalir dari mana-mana.
Secara sederhana, muskil kiranya orang yang tak dalam posisi semacam itu akan menempuh jalan "senyap" dalam kehadirannya di ruang publik. Kalau memang tidak salah, mengapa pula sembunyi-sembunyi dan tidak hadir sebagai saksi perkara korupsi E-KTP di pengadilan? Ini pertanyaan yang mudah dijawab, ada sesuatu pada diri Setya Novanto.
Oleh karena itu, wajar jika ada pengurus Partai Golkar yang jadi risih, malu, takut, dan sangat khawatir keadaan yang dialami Setya Novanto itu akan menjatuhkan martabat partai. Pilkada serentak akan digelar, pemilu tinggal dua tahun lagi, itu membutuhkan persiapan matang termasuk mengerek citra partai, terlebih banyak kader yang tersangkut korupsi pula sama seperti Setya Novanto.
Namun, Partai Golkar justru membuat pilihan yang lain. Para senior partai justru menilai "membuang" Setya Novanto lebih merusak partai dibanding melindungi dan mengukuhkan kedudukannya. Mereka yang risih, malu, takut, dan khawatir atas pengaruh buruk Setya Novanto pun digeser habis. Setya Novanto tetap perkasa di Partai Golkar.
Apa yang dipilih Partai Golkar itu sebenarnya bukan hal yang aneh, jika dilihat dari sepak terjang partai itu selama ini. Mereka tentu juga melihat apa yang dialami parpol lain, yang juga tak bebas dari kasus korupsi kadernya. Korupsi dianggap bukanlah masalah serius yang bisa merusak Partai Golkar. Buktinya mereka tetap eksis meski perolehan suara di pemilu terus menurun.
Tetapi benarkah demikian? Bisa jadi itulah kesalahan serius yang dilakukan Partai Golkar dengan keputusan melindungi dan mengukuhkan kedudukan Setya Novanto. Situasi sudah jauh berbeda. Masyarakat kini sudah bisa mengakses informas jauh lebih mudah. Informasi soal Setya Novanto misalnya dengan kecepatan sekian per detik sudah sampai ke perdesaan lewat hape dan sejenisnya. Televisi juga sudah sangat mudah diakses di pelosok negeri.
Kasus skandal "Papa Minta Saham" misalnya, masih terpatri di ingatan masyarakat. Belum lagi kasus lain yang juga menyeret nama Setya Novanto. Apakah masyarakat akan sukarela percaya ke Partai Golkar seperti dulu? Partai Golkar agaknya melakukan "perjudian politik" yang mahal dengan pilihan tetap mendukung Setnov itu.
Kini, setelah Setya Novanto melaporkan para pengunggah meme dirinya yang "menggelikan, memprihatinkan, dan menyentuh nurani" itu ke polisi, apakah ini berarti dia telah percaya diri lagi (seperti saat kasus skandal "Papa Minta Saham" itu)? Menurut saya tidak demikian. Serangan balik Setya Novanto ini bisa dinilai sebagai langkah "jadi pecundang bersama-sama". Kasarnya, "Saya boleh kalah dan masuk penjara, tapi kamu semua juga harus ikut masuk penjara juga."
Dasar pemikirannya sederhana. Mahkamah Konstitusi memutuskan penyidik bisa menjadikan kembali seseorang yang menang praperadilan sebagai tersangka dengan barang bukti yang sama. Ini artinya tidak ada halangan bagi KPK untuk menetapkan kembali Setya Novanto sebagai tersangka dalam perkara korupsi E-KTP.Â
Soal mengapa langkah ini tidak segera dilaksanakan KPK, mungkin lembaga antirasuah itu perlu menggunakan energi "Pertamax Turbo" sehingga bisa melesat kencang. Sekarang ini kok rasanya energi yang digunakan baru setingkat "premium". Tetapi, yang pasti, seperti kata KPK sendiri, menjadikan kembali Setya Novanto sebagai tersangka hanyalah soal waktu.
Bagaimana halnya dengan gugatan kubu Setya Novanto atas pencekalan Setya Novanto untuk pergi ke luar negeri? Seharusnya, gugatan itu bisa dianggap penyedap rasa perlawanan Setya Novanto saja. Seharusnya pula, KPK segera menetapkan kembali ketua DPR dan ketua umum Partai Golkar itu sebagai tersangka sehingga hal itu tidak bisa "dimain-mainkan".