FPI, FUI, FSI, dan sejenisnya yang selama ini diketahui sebagai penyokong Anies-Sandi, sangat mungkin larut dalam euforia setelah jagoan mereka menang dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta. Akankah ormas itu jadi bayang-bayang Anies-Sandi dalam pemerintahan nanti, dengan memaksakan kepentingan kelompok mereka?Â
Pertanyaan itu wajar muncul karena hubungan Anies-Sandi yang cukup mesra dengan kelompok yang dicap radikal dan sering mempertontonkan perilaku intoleran itu. Sebuah hubungan yang tentunya didasari sifat saling menguntungkan karena tidak ada makan siang gratis dalam urusan politik.Â
Seorang kawan bahkan berani menyebut kemenangan Anies itu seperti kemenangan Riziek FPI Cs yang menggelar serangkaian aksi bernomor cantik itu. Karena itu, dia menilai kalau Anies jadi gubernur bisa disebut gubernur rasa Riziek Cs. Sebabnya, Riziek pasti akan mempengaruhi Anies dalam menjalankan roda pemerintahan di Provinsi DKI Jakarta karena merasa berjasa dalam pilkada. Â Â
Tentu saja penilaian itu bisa dikatakan subjektif, yang muncul karena rasa kecewa Basuki-Djarot kalah dalam pilkada, misalnya. Jika kita mengikuti pola pikir kawan itu, banyak juga pihak lain yang ikut berperan dalam kemenangan Anies-Sandi itu. Jadi jika dilihat dari segi itu, cocoknya Anies nanti kalau jadi gubernur ya gubernur rasa nano-nano, yang ramai rasanya itu.
Prabowo misalnya. Dia pasti juga punya pengaruh atas Anies-Sandi karena dialah yang mengusung mereka lewat gerbong Partai Gerindra. Tentunya, seperti yang pernah dikatakannya "jika ingin Prabowo jadi presiden pada 2019 nanti maka menangkan Anies Sandi dalam pilkada DKI Jakarta". Jadi, Anies-Sandi setelah menjabat gubernur nanti sudah sepantasnya memberi manfaat agar Prabowo bisa menang dalm Pilpres 2019 dan jadi presiden.
PKS yang mengusung Anies-Sandi bersama Partai Gerindra tentu juga akan meminta balasan khusus kepada Anies-Sandi. Partai ini kan sudah menyatakan imbalan yang diminta tak perlu macam-macam, cukup perolehan 30 kursi di DPRD Jakarta pada Pemilu 2019 nanti. Anies yang sudah menyanggupinya pastilah akan berusaha memanfaatkan posisinya sebagai gibernur untuk peraihan kursi itu.
Nah, Partai Amanat Nasional yang juga didukung sesepuhnya Mbah Amien Rais itu tentu wajar pula meminta imbalan yang pantas atas dukungan yang diberikan. Apa bentuk imbalan yang telah disepakati di antara mereka, belum jelas. Tetapi tentu pasti ada yang harus dilakukan Anies untuk partai itu. Masa, PAN kasih Anies-Sandi makan siang gratis, dermawan sekali.
Hari Tanoesoedibjo bos Partai Perindo juga punya jasa atas kemenangan Anies-Sandi itu. Pengusaha yang jadi politisi itu ikut mendampingi dan mendukung Anies dalam berbagai kesempatan, termasuk lewat paket sembako murah itu. Tentu saja hubungan politis semacam itu wajar saja ada timbal baliknya. Artinya, Anies juga harus berbuat sesuatu untuk Hari Tanoe atau parpolnya, setelah jadi gubernur nanti.
Memang, kalau dipikir agak dalam, Â agak janggal juga sikap Anies yang mengiayakan permintaan PKS untuk meraih 30 kursi itu. Partai Gerindra kan jelas tidak mau dinomorduakan dengan membiarkan Anies membantu PKS menguasai DPRD DKI Jakarta.Â
PAN kan juga perlu kursi yang banyak di DPRD DKI Jakarta agar eksistensi partainya diperhitungkan. Perindo sebagai partai baru pasti juga ingin memperoleh kursi yang cukup. Bagaimana cara Anies sebagai gubernur, bisa membagi bantuannya agar empat parpol itu bisa memperoleh jatah kursi di DPRD Jakarta?
Dengan pola dukungan dan balas jasa yang harus dilakukan Anies-Sandi setelah jadi gubernur dan wakil gubernur seperi itu, boleh juga kan Anies nanti disebut gubernur rasa nano-nano. Anies tidak hanya mengurusi pemerintahan di Provonsi DKI Jakarta untuk melayani rakyat saja. Banyak pihak lain yang juga harus dilayaninya.
Dia juga harus bekerja melayani para promotornya, seperti FPI, FUI, dan sejenisnya, juga Prabowo Subianto yang ingin jadi presiden, PKS yang ingin 30 kursi DPRD, dan PAN, Hari Tanoe atau Perindo yang entah apa kompensai yang diinginkannya. Ini semua tidak mengada-ada karena sempat terungkap saat masa kampanye lalu. Apakah ada pihak lain juga yang harus dilayani, itu yang tahu Anies-Sandi.
Sebagai gubernur dan wakil gubernur pilihan rakyat, Anies-Sandi memang harus bisa melayani mereka semua, merangkul mereka semua. Tetapi pelayanan dan rangkulan yang diberikan itu tentu harus sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai gubernur, sesuai undang-undang yang berlaku di NKRI yang berdasarkan Pancasila.
Nah, apakah pelayanan dan rangkulan yang akan diberikan Anies-Sandi kepada promotornya seperti ormas FPI, FUI, dan sejenisnya itu sesuai dengan itu? Juga, apakah permintaan perolehan 30 kursi DPRD oleh PKS itu juga sesuai? Hal sama juga bisa dipertanyakan jika Anies-Sandi akan membantu Prabowo bisa memenangkan Pilpres 2019 nanti. Anies-Sandi tentu tahu, janji itu adalah hutang.
Meskipun begitu, tak peduli Anies-Sandi telah bersimbiosa dengan FPI, FUI, dan yang sejenis, kemenangan mereka di pilkada tidak boleh dijadikan momen kebangkitan kaum radikal di Indonesia. Perilaku intoleran dan kekerasan atas nama apa pun termasuk agama harus tetap jadi musuh bersama. Apalagi jika mereka hendak menggoyang NKRI yang berdasarkan Pancasila dan berbhineka tunggal ika.
Urusan perlawanan terhadap ormas yang menolak Pancasila, memonopoli kebenaran dan dan menafikkan sifat kebhinekaan yang jadi jati diri bangsa ini, tetap harus jalan. Mereka yang hendak mendirikan Indonesia bersyariah dan Indonesia berkhilafah harus tetap dilawan. Jika FPI, FUI, HTI, dan sejenisnya berada dalam barisan itu juga harus dilawan.
Sempat muncul pertanyaan dari seorang kawan, apakah setelah Anies-Sandi menang Jakarta akan kembali dipenuhi manusia berdaster dan berpakaian putih-putih berparade merayakan kemenangan itu, seperti aksi 411, 212, dan 313 lalu? Sebuah pertanyaan yang menyiratkan kekhawatiran makin menguatnya aksi kelompok sektarian itu paska kemenangan Anies-Sandi.
Sebuah kekhawatiran yang wajar. Harus diakui gerakan mengusung baju agama dengan aneka bendera perjuangan (termasuk bendera ISIS) selama beberapa bulan ini meningkat. Momen Pilkada DKI Jakarta yang dipenuhi isu SARA itu, jadi persemaian yang bagus bagi tumbuhnya pergerakan kelompok intoleran di daerah.Â
Kini setelah pilkada Jakarta usai dengan hasil jagoan mereka menang, Â apakah serta merta aksi mereka mereda? Inilah jawaban yang harus dicari. Ada yang menilai momen Pilkada DKI Jakarta hanyalah kendaraan yang mereka manfaatkan untuk perjuangan mereka mensyariahkan atau mengkhilafahkan Indonesia. Jadi, ketika pilkada usai, bukan berarti aktivitas mereka berhenti. Mereka akan terus memanfaatkan peluang lain untuk tujuannya itu.
Karena itu menarik untuk mencermati pola relasi Antara Anies-Sandi usai pilkada ini dengan kelompok itu. Simbiosa yang telah terbentuk antara Anies-Sandi dengan FPI, FUI, dan ormas sejenis tentu tidak bisa hilang begitu saja hanya karena Anies menyatakan mendukung kebhinekaan dan Pancasila. Karena sehari menjelang pilkada kemarin, Anies justru sepakat dengan Amin Rais yang menyamakan pilkada dengan Perang Badar.Â
Bagaimana bisa, orang yang menjunjung tinggi kebhinekaan dan Pancasila, memandang calon gubernur dan wakil gubernur beserta pendukungnya di pilkada, sebagai musuh yang harus diperangi seperti di Perang Badar. Padahal, mereka adalah sebangsa dan setanah air. Ini sebuah pertanyaan yang patut dikaji untuk melihat pola relasi yang akan dibangun Anies-Sandi dengan FPI, FUI, dan ormas sejenis.
Cukup banyak juga yang khawatir setelah Anies-Sandi menang, ormas semacam FPI, FUI, dan sejenisnya akan makin leluasa beraktivitas di Jakarta. Rekam jejak mereka lewat aksi sweeping atau ceramah yang menyerang kelompok di luar mereka  termasuk pemeluk agama lain, cukup meresahkan. Terlebih Anies pernah berjanji akan memberikan bantuan keuangan kepada semua ormas tanpa terkecuali.Â
Meski timbul kekhawatiran semacam itu, tidak berarti negara boleh kalah oleh pelaku intoleransi dan kekerasan atas nama agama. Seruan presiden agar masyarakat tidak takut melawan pelaku intoleransi dan kekerasan atas nama apa pun, bisa jadi pijakan bersama. Harus diakui itu tidak mudah karena kemenangan Anies-Sandi itu pasti menimbulkan dampak makin percaya dirinya ormas seperti FPI, FUI, Cs.
Keragu-raguan bertindak justru membuat kelompok ini makin leluasa berkembang dan menimbulkan gesekan di masyarakat. Persoalan ini tidak bisa selesai dengan hanya mengandalkan perlawanan masyarakat, seperti yang dilakukan Banser NU di daerah-daerah. Harus ada ketegasan bahwa semua ormas yang menolak Pancasila, UUD 45, dan Bhineka Tunggal Ika dalam bingkai NKRI, Â wajib dibubarkan dan dilarang.
Kemenangan Anies-Sandi di Pilkada DKI Jakarta yang mendapat dukungan kelompok ormas semacam itu, bisa jadi sinyal bagi pemerintauan Presiden Jokowi untuk cepat bertindak. Jadi, tunggu kapan lagi? Â
Salam
Bacaan pendukung:Â [1]Â Â [2]Â [3]Â [4]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H