Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Akankah Setya Novanto Lolos dari Korupsi E-KTP?

17 Maret 2017   14:41 Diperbarui: 17 Maret 2017   14:49 1822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau melihat prolog kasus megakorupsi E-KTP yang kini disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta, rasanya memang sulit untuk mengatakan Ketua DPR Setya Novanto akan lolos dari jerat hukum. Tetapi, melihat rekam jejaknya selama ini dalam beberapa kasus korupsi, wajar juga muncul pertanyaan akankah kali ini dia kembali lolos dari jerat hukum.

Setidaknya sudah ada empat kasus korupsi yang melibatkan nama Setya Novanto, yaitu kasus pengalihan hak tagih (cassie) Bank Bali (1999), kasus penyelundupan beras dari Vietnam sebanyak 60 ribu ton (2003), kasus penyelundupan limbah beracun (B-3) di Pulau Galang, Batam (2006), kasus korupsi proyek PON Riau 2012 (2012). Dari keempat kasus ini, untuk sementara Setya Novanto masih aman saja.

Kasus korupsi E-KTP yang mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun adalah kasus yang melibatkan namanya setelah kasus PON Riau. Setelah itu, dia kembali terlibat dalam skandal "Papa Minta Saham" yang terkenal itu, yang perkaranya masih mengendap di Kejaksaan Agung dengan alasan Reza Chalid "rekanannya" menghilang entah ke mana.

Dari rekam jejaknya yang menunjukkan keperkasaan dan kepiawaian seorang Setya Novanto dalam urusan hukum korupsi, dia kembali menunjukkan tajinya setelah terpilih jadi ketua umum Partai Golkar hasil Munaslub 2016 di Nusa Dua Bali. Setelah itu, dengan mulus dia kembali meraih jabatan ketua DPR yang terpaksa ditinggalkan akibat skandal "Papa Minta Saham".

Semua sepak terjang Setya Novanto itu dengan mudah dilacak di portal media utama. Semua terpapar dengan rinci termasuk langkah "ajaib" Kejaksaan Agung yang ternyata telah mengeluarkan SP3 atas nama Setya Novanto dalam kasus Bank Bali. Beberapa kasus Setya Novanto memang berhenti di lembaga penegak hukum ini.

Meskipun begitu, atmosfer penegakan hukum terhadap koruptor dan lembaga penegak hukum yang menangani kasus korupsi yang melibatkan nama Setya Novanto kali ini berbeda. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedari awal sudah mengirim sinyal kuat dan tegas akan mengusut dan memproses kasus ini hingga tuntas. Bahkan, sempat disebut kemungkinan adanya guncangan politis akibat nama-nama besar yang terlibat.

Di antara nama besar, Setya Novanto disebut beberapa saksi punya andil besar, yaitu termasuk yang mengatur skenario "bancakan" dana E-KTP itu. Setidaknya, M Nazarudfin yang kini jadi justice collaborator KPK itu sudah menyebut hal itu. Beberapa saksi lain, tampak juga menguatkan hal itu, meski sampai saat ini Setya Novanto membantahnya.

Adalah Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) yang telah melaporkan Setya Novanto ke Badan Kehormatan DPR Kamis kemarin (16/03/2017) karena dinilai telah melakukan pembohongan di depan publik, karena mengaku tidak pernah bertemu dengan nama-nama yang ada di dalam dakwaan persidangan kasus korupsi e-KTP, yakni Andi Agustinus, Irman, dan Sugiharto.

Menurut MAKI, mereka punya bukti foto yang menunjukkan adanya pertemuan Setya Novanto dengan ketiga orang itu, berasal dari dokumen resmi Kemendagri. MAKI juga punya catatan tentang pertemuan Setya Novanto dengan ketiga orang itu, yang berlangsung sekitat akhir 2010 dan awal 2011 di Hotel Gran Melia dalam acara Kemendagri.

Sebelumnya, MAKI juga yang telah mempraperadilankan Kejaksaan Agung pada akhir 2014 lalu karena menghentikan pemeriksaan terhadap Setya Novanto dalam kasus Bank Bali. Padahal, dalam dakwaan jaksa terhadap Djoko S Chandra direktur Era Giat Prima di mana Setya Novanto menjadi dirut disebutkan:

"Bahwa terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra baik selaku pribadi atau selaku Direktur PT Era Giat Prima bersama-sama dengan Drs R Setya Novanto...yang masing-masing peranan perbuatannya akan diuraikan di bawah ini dan penuntutan hukumnya terpisah satu dengan yang lain maupun bertindak sendiri-sendiri, pada tanggal dan bulan dalam tahun 1997,1998 dan 1999 bertempat di Kantor PT Era Giat Prima, Jalan HR Rasuna Said...." (detik.com 17/11/2015)

Tetapi gugatan MAKI kandas hanya sekali jalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena Kejaksaan Agung menunjukkan bukti adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan tertanggal 18 Juni 2003 bernomor surat Print-35/F/F2.1/06/200. Setya Novanto lolos dari perkara itu.

Namun, kali ini dalam kasus korupsi E-KTP jelas situasinya berbeda. Beberapa saksi sudah menyebut nama Setya Novanto. Dalam dakwaan jaksa nama Setya Novanto juga telah disebut:

"Bahwa terdakwa I dan terdakwa II bersama-sama dengan Andi Agustinus alias Andi Narogong selaku penyedia barang dan jasa pada Kemendagri, Isnu Edhi Wijaya selaku ketua konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia atau PNRI, Diah Anggraini selaku Sekretaris Jenderal Kemendagri, Setya Novanto selaku Ketua Fraksi Partai Golkar, dan Drajat Wisnu Setyawan selaku ketua panitia pengadaan barang dan jasa di lingkungan Ditjen Dukcapil tahun 2011, yang melakukan atau yang turut serta melakukan secara melawan hukum," kata jaksa KPK.

Dalam dakwaan itu, Setya Novanto disebut telah beberapa kali mengadakan pertemuan dengan Andi Narogong, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin. Pada akhirnya DPR menyepakati anggaran proyek E-KTP sebesar Rp 5,9 triliun, sesuai yang direncanakan pada 2010. 

Dari anggaran itu, sebesar 51 persen atau Rp 2,662 triliun digunakan untuk belanja modal atau belanja riil pembiayaan proyek e-KTP. Sedangkan 49 persen atau sebesar Rp 2,558 triliun dibagi-bagi ke sejumlah pihak, termasuk anggota Komisi II DPR RI dan Badan Anggaran DPR RI. (kompas.com, 16/3/2017)

foto liputan6.com
foto liputan6.com
SETYA NOVANTO BERUSAHA HAPUS JEJAK

Setya Novanto ternyata juga diketahui telah berusaha menghapus jejaknya pada kasus korupsi E-KTP pada akhir 2014 setelah KPK menetapkan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto, sebagai tersangka. Irman salah satu terdakwa kasus korupsi E-KTP dalam kesaksiannya mengatakan dia dipesan supaya mengatakan tidak mengenal Setya Novanto kalau diperiksa KPK.

Pesan itu kata Irman (yang saat itu menjabat dirjen kependudukan dan pencatatan sipil Kemendagri) datang pukul 22.00 ke rumahnya. Awalnya, pesan mendesak itu disampaikan Setya Novanto kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Diah Anggraini. Kemudian, Diah meminta biro hukum Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh, untuk menyampaikan pesan Novanto kepada Irman.

Soal kedekatan Setya Novanto dengan Andi Agustinus atau Andi Narogong yang ditunjuk untuk melaksanakan proyek E-KTP, juga dicoba dikaburkan. Chairuman Harahap mantan ketua Komisi II DPR periode 2009-2004 dalam BAP menyebut Andi Narogong sebagai orang dekat Setya Novanto dan biasa "memunguti proyek" di DPR. Namun di persidangan Cairuman mencoba berkelit dari keterangannya di BAP itu.

Setya Novanto sendiri menyatakan mengenal Andi Narogong sebagai seorang pengusaha konveksi. Dia mengaku hubungannya itu hanya untuk jual beli kaus. Dia bertemu dengan Andi selaku bendahara umum Partai Golkar dan dalam kapasitas jual beli kaos. Dia juga membantah ada pertemuan dengan M. Nazaruddin, Anas Urbaningrum, dan Andi Narogong terkait penyerahan dana.

Meski kasus mega korupsi E-KTP masih di awal perjalanan, dan Setya Novanto juga baru disebut dalam dakwaan jaksa dan belum ditetapkan sebagai tersangka, jalan yang akan ditempuh Setya Novanto tampaknya akan sangat terjal. Tidak hanya selaku pribadi yang sewaktu-waktu bisa berubah status sebagai tersangka korupsi E-KTP, tetapi dia juga akan mengalami guncangan dalam kedudukannya sebagai ketua DPR dan ketua umum Partai Golkar.

Pelaporan MAKI soal Setya Novanto yang dinilai melakukan pembohongan di depan publik, jika akhirnya disidangkan oleh Majelis Kehormatan Dewan (MKD) dan ternyata terbukti, tentu bukan hal yang remeh. Sanksi sudah sewajarnya akan dijatuhkan. Jika sanksi itu diakumulasikan maka tuntutan MAKI agar Setya Novanto diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua DPR, mendapat pembenaran.

Tentu saja untuk sampai pada keadaan itu bukan perkara mudah. Kekuatan pendukung Setya Novanto di DPR termasuk kekuatan lobinya, akan menghadang. Ini sudah mereka tunjukkan saat mendongkel Ade Komaruddin dan mendudukkan membali Setya Novanto sebagai ketua DPR setelah mundur akibat skandal "Papa Minta Saham". Meskipun begitu, juga tak ada alasan bagi MKD untuk menolak laporan itu dan tidak menyidangkannya jika data yang mendukung laporan itu lengkap dan valid.

Situasi ini jelas menjadikan periode Setya Novanto adalah periode terburuk dalam sejarah kepemimpinan DPR. Setya Novanto tercatat sebagai satu-satunya ketua DPR yang mundur karena kasus etika. Namun, dia dengan begitu mudah mendongkel ketua DPR penggantinya dan duduk kembali sebagai ketua DPR setelah badai skandal etika itu mereda. 

Tak hanya di DPR, kasus E-KTP ini dipastikan akan menimbulkan guncangan hebat di Partai Golkar. Walau secara resmi sudah muncul pernyataan Partai Golkar tetap solid dan tak akan menggelar Munaslub, pergerakan tokoh dan pimpinan Golkar termasuk yang Wansehat mestinya, menunjukkan upaya serius untuk meredam guncangan itu.

Munaslub adalah situasi terburuk yang bisa dihadapi Partai Golkar akibat kasus E-KTP ini, jika Setya Novanto berubah status sebagai tersangka.

Jika status tersangka itu disandangkan ke Setya Novanto, maka itu jelas citra yang sangat buruk bagi Partai Golkar. Proyek E-KTP adalah proyek yang menyangkut kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Akibat "bancakan" dana E-KTP yang merugikan negara Rp 23 triliun itu, rakyat juga terkena imbas secara langsung. Dan Partai Golkar akan menghadapi konsekuensi logis akibat terlibatnya sang ketua.

KPK jelas berbeda dengan Kejaksaan Agung dalam menangani perkara korupsi. Jika dalam kasus cassie Bank Bali, pada 18 Juni 2003 ada SP 3 untuk Setya Novanto, tidak demikian halnya dalam kasus E-KTP yang ditangani KPK. Sekali Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka, tidak pernah ada SP3 dikeluarkan untuknya.

Oleh karena itu situasi yang dihadapi Setya Novanto saat ini benar-benar sulit. DPR mungkin akan punya ketua baru lagi, sementara Partai Golkar mungkin sebaiknya sudah harus mempersiapkan Munaslub dan para calon ketua umum siap-siap "perang" lagi.

Salam-salaman

Bacaan Pendukung: 1, 2, 3 dan 4.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun