Acara Haul Soeharto yang diisi acara sholawat untuk negeri, dan di laksanakan di dalam Masjid At-Atin itu bukan forum biasa. Di situ ada juga Tommy Soeharto, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, Wakil Ketua Dewan Syuro PKS Hidayat Nur Wahid, cagub Anies Baswedan, Ustadz Arifin Ilham, dan pimpinan Front Pembela Islam Rizieq Shihab.
Meski dihadiri para tokoh politik tetapi jelas itu bukan acara politik, itu adalah Haul Soeharto yang diisi acara sholawat untuk negeri. Meski bertepatan dengan hari Supersemar, dan ada juga penceramah yang mengulasnya, itu adalah acara keagamaan untuk mengagungkan nama Tuhan, berzikir dan bersholawat, demi kebaikan negeri.
Djarot mantan walikota Blitar pada tahun 2000 hingga 2010, kota tempat di mana Bung Karno lahir dan dimakamkan, jelas tidak bisa dipandang sebagai representasi wakil Soekarno dalam peristiwa Supersemar itu. Demikian pula hadirin yang lain, tidak bisa dipandang sebagai representasi wakil Soeharto yang menerima Supersemar dari Soekarno.
Itu adalah acara sakral, saat nama Allah disebut dalam kerendahan hati dan berharap keridloan dan ampunan, saat dzikir dan sholawat dikumandangkan untuk kebaikan negeri. Djarot hadir sebagai rasa hormat kepada almarhum Presiden Soeharto dan keluarga besar Soeharto yang mengundangnya. Acara haul dan sholawat jelas hal yang baik karena sebuah upaya mendekatkan diri ke hadlirat Illahi Robbi.
Jadi, mengapa pula ada hujatan dan teriakan kafir kepada sesama muslim dan mukmin di area Masjid At-Tin? Apakah masjid, dzikir, dan sholawat sudah tidak mampu mendamaikan hati?
Salam, damai Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H