Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengapa Siaran Langsung Sidang E-KTP Dilarang?

9 Maret 2017   07:05 Diperbarui: 9 Maret 2017   20:00 1742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Banyak yang menyayangkan mengapa media elektronik dilarang menyiarkan langsung sidang kasus korupsi E-KTP yang dimulai Kamis 9 Maret 2017 hari ini. Keputusan larangan ini dinilai sebuah kemunduran dalam era keterbukaan saat ini. Benarkah larangan ini lebih didasari kekhawatiran terjadinya guncangan politik di masyarakat akibat terseretnya banyak nama besar dalam kasus ini?

Secara resmi larangan menyiarkan langsung jalannya persidangan kasus korupsi E-KTP itu dikemukakan oleh Humas Pengadilan Tipikor Jakarta, Johanes Priana. Alasannya, ketua PN Jakarta Pusat sudah mengeluarkan peraturan melarang siaran langsung di lingkungan peradilan Jakarta Pusat. 

Larangan ini dinilai tidak bertentangan dengan sifat "persidangan terbuka untuk umum". Ketetapan "persidangan terbuka untuk umum" itu dimaksudkan bahwa pengadilan mempersilakan masyarakat untuk hadir dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Termasuk kepada media untuk mendapatkan informasi di persidangan.

Namun, "persidangan terbuka untuk umum" tidak berarti menyebarkan seluruh konten persidangan melalui siaran langsung di media elektronik. Pengadilan menilai siaran langsung di media akan lebih banyak membawa mudharat ketimbang manfaatnya. Selain itu, siaran langsung sidang dinilai akan mengganggu independensi hakim.

Yang jadi pertimbangan larangan PN Jakarta Pusat itu adalah persidangan kasus kematian Mirna Salihan yang diduga dibunuh Jessia Wongso sahabatnya itu. Persidangan itu dinilai lebih mendatangkan mudharat dibanding manfaat.

Tentu saja, alasan PN Jakarta Pusat itu tidak sepenuhnya bisa diterima karena sifat sidang terbuka untuk umum jadi seperti dibatasi dengan ketetapan itu. Akibat pembatasan itu sifat "sidang terbuka untuk umum" telah berubah menjadi "sidang terbuka untuk umum bagi yang mau hadir di persidangan". Dua hal yang jelas berbeda. 

Alasan persidangan kasus kematian Mirna Salihin yang disiarkan secara langsung lebih banyak mendatangkan mudharat juga subjektif sifanya. Dari kacamata masyarakat, persidangan itu telah memberikan pendidikan hukum yang baik. Mereka bisa terlibat secara emosional dan logika untuk menilai keterangan terdakwa, saksi, jaksa, hingga cara hakim memandu persidangan dan menjatuhkan vonis.

Sudah biasa dalam sebuah perkara hukum ada sikap pro dan kontra di masyarakat. Ini bisa terjadi baik persidangan kasus itu disiarkan langsung atau tidak. Perbedaannya, dengan siaran langsung masyarakat bisa memperoleh informasi lebih lengkap sehingga reaksi dan sikap mereka atas kasus yang disidangkan itu bisa lebih rasional.

Dari kacamata jaksa, siaran langsung memang bisa jadi beban jika kualitas mereka dalam menangani perkara hukum kurang bagus dan cakap. Masyarakat tentu akan mencemooh jika jaksa dalam bertanya maupun mengungkapkan argumentasinya secara asal-asalan atau sok kuasa. Jadi, mereka dituntut jadi jaksa yang cakap. Kalau tak punya kemampuan itu, ya minggir saja. 

Dari kaca mata pengacara atau penasihat hukum, juga sama saja. Mereka diruntut bekerja maksimal untuk membela kliennya, dengan membangun argumentasi hukum yang bagus, menghadirkan saksi yang kompeten, juga menggali informasi dari saksi yang ada baik yang dihadirkan jaksa maupun saksi yang mereka hadirkan sendiri. Bersikap amatiran, berarti merusak kredibilitas mereka di masyarakat.

Dari kacamata hakim, persidangan yang disiarkan secara langsung juga bisa dinilai jadi beban jika hakim kurang pandai memimpin persidangan, bersikap tidak adil atau condong ke salah satu pihak, atau kurang cakap. Alasan persidangan yang disiarkan langsung bisa mempengaruhi independensi hakim kurang bisa diterima. Hakim tetap independen dan tidak bisa diintervensi dalam memutus perkara.

Jadi, sebenarnya dipandang dari kacamata siapa pun, baik dari kacamata masyarakat, jaksa, pengacara, maupun hakim, persidangan yang disiarkan secara langsung justru bisa memberi dampak positif. Masyarakat mendapat pendidikan tentang hukum persidangan sebuah pekara dan informasi yang lengkap sehingga lebih rasional dalam bersikap. Jaksa, pengacara, dan hakim tertuntut untuk menjadi lebih profesional, cakap, dan adil dalam menangani kasus, tidak asal-asalan atau condong ke satu pihak.

Persidangan yang disiarkan secara langsung memang bisa dinilai berdampak buruk bagi jaksa yang tak cakap dan profesional, pengacara atau penasihat hukum yang bekerja asal-asalan atau justru menjerumuskan kliennya, hakim yang tidak bisa bersikap adil dan condong ke salah satu pihak yang beperkara. Kalau mereka profesional, cakap, dan adil tentu tidak jadi masalah saat persidangan itu disiarkan secara langsung atau tidak.

Kemajuan teknologi informasi saat ini seharusnya tidak melahirkan sikap diskriminatif dalam memberlakukan asas "persidangan terbuka untuk umum". Dulu, sebelum media elektronik punya kemampuan mengadakan siaran langsung, memang media cukup mengutip beberapa inti materi persidangan sebagai bahan laporan, baik media cetak maupun elektronik. Namun, kini dengan kemajuan teknologi, siaran langsung adalah sebuah kewajaran.

Dengan siaran langsung, masyarakat yang punya kepedulian atas persidangan sebuah kasus, tidak perlu berbondong-bondong datang ke pengadilan untuk melihat. Media elektronik bisa menjadi jembatan informasi sesuai asas "persidangan terbuka untuk umum". Akibat lainnya, karena sifat "terbuka untuk umum" itu persidangan tentu akan berjalan lebih fair, lebih transparan, dan tentunya bisa melahirkan keputusan yang lebih adil.

Karena itulah, munculnya protes keras dari PWI atas pelarangan siaran langsung persidangan kasus E-KTP wajar pula terjadi. Pelarangan itu adalah sebuah kemunduran dalam menyikapi perkembangan teknologi informasi dan dinamika masyarakat modern saat ini, yang memerlukan informasi yang lebih cepat, akurat, dan menyeluruh. Ini situasi dan kemajuan zaman yang tidak bisa dielakkan. Kita tidak bisa memundurkan jarum jam agar kemajuan zaman kembali surut ke belakang.

Alasan pelarangan yang subjektif sifatnya itu tentu menimbulkan tanda tanya dan kecurigaan di masyarakat. Benarkah larangan itu semata-mata untuk kebaikan hukum atau proses persidangan kasus itu atau karena ada tujuan lain yang tak terkait dengan itu? Kecurigaan itu wajar saja karena kasus korupsi E-KTP ini memang kasus besar yang melibakan banyak nama-nama besar pejabat penyelenggara negara.

Ada nama gubernur BI, ada nama ketua DPR, ada nama gubernur, ada nama mantan mendagri, ada pula nama menteri dan anggota DPR dalam berkas dakwaan kasus ini. Bahkan ketua KPK sudah menyatakan harapannya agar persidangan kasus ini tidak menimbulkan guncangan politik karena banyak nama besar di sebut di kasus ini.

Jika persidangan kasus ini disiarkan secara langsung, masyarakat Indonesia termasuk yang di pelosok pedesaan tentu akan bisa melihat jalannya sidang kasus korupsi E-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun ini. Mereka juga bisa mendengar secara langsung paparan aliran dana korupsi itu ke siapa dan siapa. Inikah yang ditakuti sehingga muncul larangan siaran langsung itu?

Munculnya larangan itu, selain membatasi hak warga untuk memperoleh informasi dari sebuah persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum, juga bisa dinilai turut menghambat penyebaran semangat peperangan melawan korupsi. Persidangan terbuka yang disiarkan secara langsung bisa memberi dampak positif bagi upaya peperangan melawan korupsi, baik karena menimbulkan efek jera maupun bisa membangkitkan semangat masyarakat untuk melawan korupsi.

Karena itu, alangkah bijaksananya jika larangan itu dicabut oleh PN Jakarta Pusat. Tidak ada alasan yang tepat atau mendesak untuk melarang siaran langsung persidangan kasus korupsi E-KTP itu, terkecuali untuk mencegah rakyat secara langsung mendengar nama-nama besar yang didugat terlibat, disebut secara langsung di persidangan. Atau, mungkinkah para hakim sudah tidak percaya diri lagi untuk bisa bersikap adil?

Salam, damai Indonesia

Bacaan pendukung:

http://nasional.kompas.com/read/2017/03/08/18241711/pwi.kecam.larangan.siaran.langsung.sidang.kasus.e-ktp

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun