Dari kacamata hakim, persidangan yang disiarkan secara langsung juga bisa dinilai jadi beban jika hakim kurang pandai memimpin persidangan, bersikap tidak adil atau condong ke salah satu pihak, atau kurang cakap. Alasan persidangan yang disiarkan langsung bisa mempengaruhi independensi hakim kurang bisa diterima. Hakim tetap independen dan tidak bisa diintervensi dalam memutus perkara.
Jadi, sebenarnya dipandang dari kacamata siapa pun, baik dari kacamata masyarakat, jaksa, pengacara, maupun hakim, persidangan yang disiarkan secara langsung justru bisa memberi dampak positif. Masyarakat mendapat pendidikan tentang hukum persidangan sebuah pekara dan informasi yang lengkap sehingga lebih rasional dalam bersikap. Jaksa, pengacara, dan hakim tertuntut untuk menjadi lebih profesional, cakap, dan adil dalam menangani kasus, tidak asal-asalan atau condong ke satu pihak.
Persidangan yang disiarkan secara langsung memang bisa dinilai berdampak buruk bagi jaksa yang tak cakap dan profesional, pengacara atau penasihat hukum yang bekerja asal-asalan atau justru menjerumuskan kliennya, hakim yang tidak bisa bersikap adil dan condong ke salah satu pihak yang beperkara. Kalau mereka profesional, cakap, dan adil tentu tidak jadi masalah saat persidangan itu disiarkan secara langsung atau tidak.
Kemajuan teknologi informasi saat ini seharusnya tidak melahirkan sikap diskriminatif dalam memberlakukan asas "persidangan terbuka untuk umum". Dulu, sebelum media elektronik punya kemampuan mengadakan siaran langsung, memang media cukup mengutip beberapa inti materi persidangan sebagai bahan laporan, baik media cetak maupun elektronik. Namun, kini dengan kemajuan teknologi, siaran langsung adalah sebuah kewajaran.
Dengan siaran langsung, masyarakat yang punya kepedulian atas persidangan sebuah kasus, tidak perlu berbondong-bondong datang ke pengadilan untuk melihat. Media elektronik bisa menjadi jembatan informasi sesuai asas "persidangan terbuka untuk umum". Akibat lainnya, karena sifat "terbuka untuk umum" itu persidangan tentu akan berjalan lebih fair, lebih transparan, dan tentunya bisa melahirkan keputusan yang lebih adil.
Karena itulah, munculnya protes keras dari PWI atas pelarangan siaran langsung persidangan kasus E-KTP wajar pula terjadi. Pelarangan itu adalah sebuah kemunduran dalam menyikapi perkembangan teknologi informasi dan dinamika masyarakat modern saat ini, yang memerlukan informasi yang lebih cepat, akurat, dan menyeluruh. Ini situasi dan kemajuan zaman yang tidak bisa dielakkan. Kita tidak bisa memundurkan jarum jam agar kemajuan zaman kembali surut ke belakang.
Alasan pelarangan yang subjektif sifatnya itu tentu menimbulkan tanda tanya dan kecurigaan di masyarakat. Benarkah larangan itu semata-mata untuk kebaikan hukum atau proses persidangan kasus itu atau karena ada tujuan lain yang tak terkait dengan itu? Kecurigaan itu wajar saja karena kasus korupsi E-KTP ini memang kasus besar yang melibakan banyak nama-nama besar pejabat penyelenggara negara.
Ada nama gubernur BI, ada nama ketua DPR, ada nama gubernur, ada nama mantan mendagri, ada pula nama menteri dan anggota DPR dalam berkas dakwaan kasus ini. Bahkan ketua KPK sudah menyatakan harapannya agar persidangan kasus ini tidak menimbulkan guncangan politik karena banyak nama besar di sebut di kasus ini.
Jika persidangan kasus ini disiarkan secara langsung, masyarakat Indonesia termasuk yang di pelosok pedesaan tentu akan bisa melihat jalannya sidang kasus korupsi E-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun ini. Mereka juga bisa mendengar secara langsung paparan aliran dana korupsi itu ke siapa dan siapa. Inikah yang ditakuti sehingga muncul larangan siaran langsung itu?
Munculnya larangan itu, selain membatasi hak warga untuk memperoleh informasi dari sebuah persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum, juga bisa dinilai turut menghambat penyebaran semangat peperangan melawan korupsi. Persidangan terbuka yang disiarkan secara langsung bisa memberi dampak positif bagi upaya peperangan melawan korupsi, baik karena menimbulkan efek jera maupun bisa membangkitkan semangat masyarakat untuk melawan korupsi.
Karena itu, alangkah bijaksananya jika larangan itu dicabut oleh PN Jakarta Pusat. Tidak ada alasan yang tepat atau mendesak untuk melarang siaran langsung persidangan kasus korupsi E-KTP itu, terkecuali untuk mencegah rakyat secara langsung mendengar nama-nama besar yang didugat terlibat, disebut secara langsung di persidangan. Atau, mungkinkah para hakim sudah tidak percaya diri lagi untuk bisa bersikap adil?