Saya ini termasuk kelompok penentang peribahasa "Guru kencing berdiri murid kencing berlari". Tetapi, saya juga menentang peribahasa "Guru kencing berdiri murid mengencingi guru". Seharusnya peribahasa yang pas agar lebih mendidik adalah "Guru kencing berdiri murid tak perlu berguru". Dengan begitu, jika ada guru mengajarkan hal yang tak baik, janganlah ada murid berguru kepadanya.
Urusan guru dan murid dan contoh perilaku tak baik ini mungkin cocok untuk situasi di dunia pendidikan kita dewasa ini. Setidaknya, peribahasa itu masih relevan untuk menunjukkan peran penting seorang guru sebagai panutan. Artinya sudahnya seharusnya seorang guru memberikan suri tauladan yang baik. Meskipun begitu, seorang murid tetaplah tidak boleh berlaku aniaya kepada gurunya. Kalau memang guru tidak berperilaku baik, maka tinggalkanlah.
Dalam menilai persoalan KH Ma'ruf Amin, terus terang saya memilih bersikap sangat berhati-hati meski tetap harus bersikap adil. Termasuk juga ketika ada persoalan tuduhan ada "teleponan" antara KH Ma'ruf Amin ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga rois aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kasus dugaan penistaan agama yang dipersangkakan kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Sebenarnya, urusan itu terkait LSM yang bernama MUI yang diketuai KH Ma'ruf Amin dan bukan NU. Tetapi, karena dia juga rois aam PBNU dan salah satu lokasi perwujudan acara "teleponan" itu di kantor PBNU, jadi nama NU tetap terbawa-bawa. Meskipun diyakini sebagian besar warga nahdliyin telah memahami persoalan ini dengan lebih bijak, tetap saja ikatan psikologis dengan jabatan rois aam PBNU akan memunculkan perasaan tidak nyaman.
Secara pribadi, saya menilai kasus ini menjadi ujian bagi NU yang sejak kelahirannya bersifat moderat, hati-hati, sangat menjunjung tinggi nasionalisme dan toleransi, mengamalkan Islam yang sejuk sebagaimana syiar para wali yang mengacu pada sikap suri tauladan Rasulullah Muhammad SAW, juga menjunjung tinggi semangat Islam yang rahmatal lil alamin.
Oleh karena itulah, agar permasalahan kembali ke rel yang semestinya, saat menyinggung KH Ma'ruf Amin maka subjek yang dimaksud tulisan ini adalah ketua MUI. Sementara jika yang dibicarakan adalah tuduhan ketidakpatutan sikap dan tindakan KH Ma'ruf Amin, maka subjek yang dimaksud adalah Ma'ruf Amin sebagai warga negara, guru panutan tetapi juga manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa.
Dengan pandangan semacam itulah, jika memang Ma'ruf Amin diduga melakukan tindak tidak patut terkait persoalan Ahok, maka tak perlulah bersikap aniaya. Cukuplah kita tidak berguru kepadanya. Demikian pula, kalau dia misalkan berbuat melanggar hukum negara, sudah sepantasnya hukum menjeratnya.
Persoalan relasi Ma'ruf Amin dan SBY dalam kasus penistaan agama yang menjerat Ahok ini secara legal formal baru terungkap pada persidangan ke-8, kasus itu Selasa 31/1/2017 kemarin. Secara jelas dan tegas pembela Ahok menyatakan Ma'ruf Amin pernah ditelepon SBY pada hari Kamis pukul 10.16 WIB, tanggal 6 Oktober 2016.
Isi pembicaraan telepon itu ada dua hal utama. Pertama, SBY memohon diatur pertemuan dengan pasangan cagub-cawagub Agus Harimurti Yudhoyono (putra SBY)-Syliviana Murni, di Kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta. Kedua, SBY meminta agar segera dikeluarkan fatwa tentang penistaan agama.
Pernyataan anggota tim pembela Ahok itu, Humphrey Djemat, diutarakan dalam bentuk pertanyaan kepada Ma'ruf Amin. Tetapi karena dibantah terus, akhirnya Humphrey menyebut Ma'ruf Amin telah memberikan kesaksian palsu.Humphrey juga menyatakan akan menunjukkan bukti telepon antara Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin dan presiden keenam Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, dalam persidangan.
Dengan fakta itu, yang bukti percakapan teleponnya akan ditunjukkan di pengadilan, adanya hubungan langsung antara SBY dan Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin terkait keluarnya fatwa MUI dalam kasus Ahok tidak bisa ditutupi lagi. Ini juga sekaligus menegaskan ketidaknetralan Ma'ruf Amin dalam pilkada DKI Jakarta meski dia membantahnya.
Beberapa kesaksian Ma'ruf Amin di persidangan kemarin, misalnya yang menyebut tak perlu memanggil Ahok untuk klarifikasi dan tidak melihat langsung tayangan video, ada yang menilai tidak mencerminkan sikap hati-hati dan adil sebagai seorang ulama dalam memutus sebuah perkara. Penjelasannya terkait hubungan MUI dan GNPF-MUI dan juga FPI, juga ada yang menilai tidak pas karena ada hal yang menunjukkan sebaliknya.
Meski harus ditunggu bukti percakapan telepon antara SBY dan Ma'ruf Amin yang akan ditunjukkkan di persidangan pada waktunya nanti, informasi soal telepon SBY itu seperti menegaskan kebenaran pendapat yang menyebut ada rekayasa dalam segala hiruk pikuk kasus penistaan agama yang ditimpakan ke Ahok (dengan aksi turunan demo berjilid-jilid, juga penumpang gelap gerakan makar).
Bukti adanya percakapan telepon itu, juga bisa dipakai untuk memahami isi pernyataan SBY pada konferensi pers di Cikeas pada 2/11/2016, dua hari menjelang demo 411. Hal itu juga bisa dipakai untuk memahami istilh "Lebaran Kuda" yang diutarakan saat itu. Termasuk juga penyebab demo jilid selanjutnya yaitu aksi 212 yang begitu meriah hingga diklaim diikuti 7 juta manusia, atau aksi subuh berjamaah, dan yang lain.
Tentu saja, agar bukti telepon itu mempunyai kekuatan legal formal, harus ditunjukkan di depan persidangan sebagai bukti. Persoalannya, apa yang terjadi setelah bukti itu ditunjukkan dan sah secara secara hukum. Ma'ruf Amin bisa terkena pasal memberikan keterangan palsu di persidangan, karena membantah adanya telepon dari SBY dan permintaannya terkait pertemuan Agus-Sylvi di kantor PBNU dan permintaan agar fatwa terkait kasus Ahok segera dikeluarkan.
Ketetapan Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ayat 1 dan 2, berbunyi:
Ayat 1, “Barangsiapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Ayat 2, “Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Dalam penerapannya, hakim ketua secara ex officio (karena jabatannya) memperingatkan saksi tersebut untuk memberikan keterangan yang benar dan juga mengingatkan akan adanya sanksi pidana apabila saksi tersebut tetap memberikan keterangan palsu.
Dalam persidangan kasus Ahok Selasa kemarin, Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto juga telah mengingatkan Ma'ruf Amin bahwa dirinya dapat dipidana jika memberikan kesaksian palsu. "Saksi sudah disumpah beri keterangan jujur. Kalau tidak, ada konsekuensi hukumnya dan bisa dituntut beri keterangan palsu di bawah sumpah," kata Dwiarso. (kompas.com, 31/1/2017)
Sebenarnya, apabila saksi tetap mempertahankan keterangan palsunya, maka hakim ketua secara ex officio (karena jabatannya), atau atas permintaan jaksa penuntut umum atau terdakwa (maupun penasihat hukumnya) dapat memberi perintah agar Ma'ruf Amin ditahan. Dwiarso tidak melakukan itu sangat mungkin karena belum ditunjukkannya bukti percakapan telepon itu di persidangan.
Dengan kata lain, tidak diperlukan adanya suatu laporan pidana terlebih dahulu sebelum majelis hakim mengeluarkan penetapan untuk menahan saksi yang diduga bersumpah palsu tersebut. Tentunya dengan ketentuan bahwa sebelumnya hakim harus memperingatkan saksi tersebut untuk memberikan keterangan yang benar dan mengingatkan adanya saksi pidana, dalam hal saksi tersebut tetap memberikan keterangan yang palsu (tidak benar). (m.hukum online.com, 5/3/2013)
Inilah yang membuat posisi Ma'ruf Amin saat ini terjepit. Ahok melaporkan atau tidak, dia tetap bisa diproses secara hukum dengan pasal memberikan kesaksian palsu. Ketua majelis hakim, setelah memberikan peringatan kepada Ma'ruf Amin dan didukung bukti rekaman pembicaraan telepon antara SBY dan Ma'ruf Amin, bisa memerintahkan penahanan Ma'ruf Amin dan memproses persidangannya dalam kasus kesaksian palsu.
Oleh karena itu, imbauan Direktur Wahid Institute Yenny Wahid agar kuasa hukum Ahok mengurungkan niat melaporkan Ma'ruf Amin ke polisi kurang tepat. Karena, meski kuasa hukum Ahok tidak lapor polisi, ketua majelis hakim dengan kewenangan yang dimilikinya, dengan keyakinannya yang didukung bukti kuat, tetap bisa memerintahkan penahanan Ma'ruf Amin karena memberikan keterangan palsu di persidangan.
Bahwa atas permintaan Ahok (karena rasa hormatnya kepada Gus Dur sehingga menuruti imbauan Yenny Wahid) kuasa hukumnya bisa saja tidak melaporkan Ma'ruf Amin ke polisi. Tetapi, barang bukti percakapan telepon SBY dan Ma'ruf Amin yang dinilai sebagai kunci utama kasus, jelas tidak bisa dihalangi untuk ditunjukkan di persidangan. Selanjutnya tentu saja terserah hakim ketua yang menentukannya.
Dengan demikian, perjalanan kasus Ahok ini memang telah sampai tahap antiklimak, justru ketika sudah berada di persidangan. Selayaknyalah kita menghargai proses hukum yang sedang berjalan. Kalau memang Ma'ruf Amin harus menanggung akibat keterangan yang diberikan di persidangan dinilai palsu, itu konsekuensi yang harus dijlaninya. Hakim ketua Dwiarso Budi Santiarto sudah memperingatkannya. Dan, semua warga negara kedudukannya sama di depan hukum.
Salam, damai Indonesiaku
Bacaan pendukung:
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt51171a4fed786/sumpah-palsu-dan-pembuktiannya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H