Tak hanya jabatan bupati dan walikota, keluarga Ratu Atut adalah penguasa di kepengurusan Partai Golkar Banten. Terbukti meski Ratu Atut masuk penjara, Ratu Tatu Chasanah tetap berhasil menjabat ketua DPD Golkar Banten. Suami Ratu Atut, Hikmat Tomet (almarhum) adalah mantan anggota DPR RI dari Golkar.Â
Putra sulungnya, Andhika Hazrumy, jadi anggota DPD RI mewakili Banten pada 2009-2014 dan dilanjut jadi anggota DPR RI hingga 2019 nanti. Dan, kini Andhika maju jadi cawagun Banten mendampingi Wahidin. Istri Andhika yaitu Ade Rosi Khairunnisa, juga tercatat pernah jadi wakil ketua DPRD Serang dan sejak April 2016 lalu menjabat wakil ketua DPRD Provinsi Banten.
Menantu Ratu Atut yang lain, yaitu Tanto Warsono Arban sejak Maret 2016 lalu menjabat sebagai wakil bupati Pandeglang, jabatan yang sebelumnya dipegang ibu tiri Ratut Atut, yaitu Heryani. Sebelumnya, Tanto tercatat sebagai anggota DPRD Banten. Keluarga besar Ratu Atut hampir semua menggunakan gerbong Partai Golkar untuk meraih jabatan politiknya.
Di luar itu, kisah dinasti politik yang jadi sorotan setelah tersangkut korupsi dan berurusan dengan KPK, juga banyak. Di Bangkalan Madura, Jatim misalnya. Kasus Fuad Amin ketua DPRD yang ditangkap KPK karena kasus suap terkait alokasi gas bumi di Blok Poleng Bangkalan, oleh PT Media Karya Sentosa.Â
Fuad Amin membangun dinasti politiknya sejak lama dengan menjadi pengurus beberapa parpol. Terakhir dia tercatat bergabung di Partai Gerindra. Dia menjabat bupati Bangkalan selama dua periode, yaitu periode 2003-2008 dan periode 2008-2013. Setelah itu, dia menjabat ketua DPRD Bangkalan.Â
Namun, sebelum menjabat ketua DPRD Bangkalan, dia telah sukses menempatkan anaknya, Makmun Ibnu Fuad, sebagai bupati Bangkalan menggantikan dirinya untuk masa jabatan 2013-2018. Dengan demikian dia dan keluarganya praktis menjadi raja kecil di Bangkalan. Jangan tanya lagi bagaimana kekuasaan Fuad Amin waktu itu. Bahkan urusan atur-atur suara hasil pilgub, pilpres, atau pemilu di TPS dengan nol suara pun tak luput dari orang kuat ini.
Di Sumatra Selatan pun juga ada praktek semacam itu. Bupati Banyuasin Yan Anto Ferdian yang di-OTT KPK usai pengajian menjelang berangkat haji karena suap proyek, adalah produk politik dinasti juga. Dia yang menjabat bupati Banyuasin periode 2013-2018, menggantikan Rosihan Arsyad ayahnya yang telah menjabat di kabupaten itu sejak tahun 2002 lalu.Â
Rosihan Arsyad pertama kali menjabat sebagai pelaksana tugas bupati di Kabupaten Banyuasin, yang merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Musi Banyuasin, pada 2002. Dia lantas maju dalam pilkada dan jadi bupati. Sementara Yan Anto Ferdian putra sulungnya menjabat ketua DPD Golkar Banyuasin dan anggota DPRD Sumsel sejak 2009-2013.Â
Ketika masa jabatan Rosihan Arsyad habis, Yan Anto maju dalam Pilkada bersama Suman Asra Supriono. Dia sempat didiskualifikasi oleh KPU Banyuasin dalam Pilkada itu karena bertindak curang. Namun KPUD Provinsi Sumsel menganulir keputusan itu, dan Yan Anto Ferdian pun akhirnya menang dan menjabat bupati menggantikan ayahnya.
Mungkin, kalau dibuat cerita bersambung, kisah dinasti politik yang berkuasa di negeri ini bisa menghasilkan buku tersendiri. Dan sampai sejauh ini, politik dinasti yang terungkap menunjukkan wajahnya yang korup. Mereka muncul seperti raja-raja kecil di daerah, menguasai potensi politik dan ekonomi, membangun kerajaan bisnis dan politik.Â
Mengendalikan jalannya pembangunan di daerah dengan pelaku utama sebuah keluarga besar penguasa, saling mendukung dan bersinergi untuk mempertahankan dan membangun kekuasaan ekonomo dan politik, adalah ciri-ciri adanya dinasti politik. Jelas ini sebuah praktek demokrasi yang menyimpang.