Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Isu Makar Menyerempet Kubu Cikeas

3 Januari 2017   16:14 Diperbarui: 3 Januari 2017   16:22 3120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tiba-tiba saja, saya teringat nama Reza Chalid bos minyak yang berjaya di era Cendana dan Cikeas, namun pundi-pundi uangnya terguncang paska Petral dibubarkan di era Jokowi. Entah ke mana dia menghilang, setelah Skandal Papa Minta Saham yang menyeret namanya bersama Setya Novanto ketua DPR, jadi perhatian seluruh penduduk negeri. Apakah pada tahun 2017 ini dia akan hadir kembali di republik ini?

Jangan salah paham. Ingatan tiba-tiba itu tidak ada kaitannya dengan urusan kenal-mengenal. Orang ndeso macam saya mana bisa kenal orang besar macam dia. Namanya muncul dalam ingatan gara-gara pengusaha Gde Sardjana suami Sylviana Murni cawagub pasangan Agus Harimurti Yudhoyono putra SBY dari Cikeas itu, disebut polisi mentransfer uang Rp 5 juta, Rp 10 juta, dan Rp 5 juta ke Jamran, relawan pemenangan pasangan Agus - Sylvi.

Lho, apa hubungannya dengan Reza Chalid? Sabar dulu. Begini penjelasannya. Jamran relawan pemenangan pasangan Agus-Sylvi (biasa disebut representasi dari kelompok Cikeas dalam Pilgub DKI) itu ditangkap polisi terkait upaya makar 212 lalu. Dia ditangkap bersama Rizal Khobar adiknya dan sepuluh orang lain. Dalam pemeriksaan, ternyata Jamran pernah mendapat transfer dana dari Gde Sardjana suami Syliviana Murni. 

Memang ada bantahan bahwa transfer dana itu sekedar sumbangan "kemanusiaan" dari Gde untuk membantu persalinan istri Jamran. Jadi Gde itu seorang dermawan yang berderma untuk Jamran. Artinya, Gde pastilah kenal dengan Jamran. Dan, pastinya pula mereka punya hubungan khusus yang bisa membuat Gde Sardjana berderma dengan memtransfer uang sampai tiga kali.

Kalau Gde tak kenal Jamran mana bisa transfer uang. Transfer uang itu pasti lewat mesin komputer bank, butuh nomor rekening agar uang bisa dipindah dari satu nomor rekening ke nomor rekening lain. Kalau tidak kenal dan punya hubungan khusus, mana bisa nomor rekening Jamran keluyuran sendiri untuk dimasuki uang transfer dari Gde Sardjana. Jadi kesimpulannya Gde Sardjana kenal Jamran secara khusus.

Kekhususan perkenalan Gde dan Jamran itu tentu bukan sekedar kenal di pinggir jalan. Itu tidak logis. Masa kenal di pinggir jalan lantas kasih nomor rekening dan lantas didermai lewat transfer uang. Jadi, perkenalan mereka itu pastilah lewat suatu forum atau kegiatan bersama sehingga memungkinkan terjalinnya hubungan khusus. Kata Gde dia sudah kenal Jamran sejak di KONI karena sama-sama jadi pengurus, jadi mestinya sudah lama. 

Dan, seperti kata polisi, Jamran itu anggota tim sukses pasangan Agus-Sylvi. Gde Sardjana adalah suami Sylvi. Jadi klop, hubungan di KONI dilanjutkan di tim sukses Agus-Sylvi. Kata polisi, uang yang ditransfer itu juga untuk keperluan kampanye. Jadi, forum yang mempertemukan Gde dan Jamran adalah KONI dan tim sukses pasangan Agus-Sylvie. Ini penalaran yang logis; Gde Sardjana mentransfer uang ke Jamran karena kenal baik di KONI yang dilanjut di tim sukses pasangan Agus-Sylivi.

Menariknya meski polisi menyebut Jamran itu anggota tim sukses pasangan Agus-Sylvi, tetapi dibantah oleh kubu Agus-Sylvi dan hanya diakui sebagai anggota relawan. Padahal semua juga tahu, relawan itu tugasnya kan menyukseskan pasangan cagub-cawagub agar menang di Pilgub. Artinya, relawan itu ya anggota tim sukses. 

Jadi, Jamran anggota tim sukses pasangan cagub-cawagub Agus Harimurti Yudhoyono - Sylviana Murni yang ditangkap polisi karena kasus makar 212, mendapat transfer uang dari Gde Sardjana suami Sylviana Murni (baik untuk kampanye atau bantuan biaya kesehatan seperti pengakuan Gde Sardjana). Ini kesimpulan sementara yang bisa saya ambil dari kasus transfer uang Gde ke Jamran, sambil menunggu perkembangan lanjutannya.

Sebelum informasi transfer uang Gde Sardjana ke Jamran ini dibuka polisi, ada juga informasi aliran dana  dari sumber lain ke tersangka pelaku makar lain yang secara "tak transparan" disebut polisi. Yang disebut itu adalah aliran dana dari kelompok "Cendana'. Munculnya nama Cendana ini tak lepas dari penangkapan Firza Husein ketua Yayasan Solidaritas Sahabat Cendana. Meski sangat sedikit informasi tentang Firza Husein, yang pasti dia dikenal cukup dekat dengan Tommy Soeharto.

Mungkin karena itu pula, nama Tommy Soeharto disebut sebagai salah satu penyandang dana makar 212. Sampai saat ini, informasi resmi dari kepolisian soal dana Tommy Soeharto itu masih minim, meski jaringan berita JPNN berani menyebut ada aliran dana dari Tommy dan masih didalami oleh pihak kepolisian. Tetapi pertengahan Desember lalu entah meralat atau apa, JPNN memuat bantahan kubu Tommy yang disertai ancaman kepada penyebar berita itu.

Lepas benar atau tidak informasi soal Tommy Soeharto terlibat pendanaan aksi makar 212, munculnya berita keterlibatan ketua Yayasan Solidaritas Sahabat Cendana Firza Husein yang dekat dengan Tommy Soeharto itu tetap saja menarik dan menimbulkan beberapa pertanyaan. 

Misalnya, apa benar Tommy terlibat dalam pendanaan aksi makar 212 ini? Apakah ini bentuk perlawanannya secara diam-diam terhadap pemerintahan Jokowi? Apakah ini bentuk perlawanannya terhadap Tito Karnavian yang menangkapnya dulu dalam kasus pembunuhan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita?

Masih banyak pertanyaan yang bisa diajukan terkait ketua Yayasan Solidaritas Sahabat Cendana Firza Husein dan Tommy Soeharto ini. Termasuk keterkaitannya dengan pilkada DKI Jakarta dan pencalonan Agus putra SBY. Pertanyaan ini wajar karena banyak juga yang menilai urusan makar 212 itu tak bisa dilepaskan dari Pilgub DKI Jakarta sebagai salah satu latar belakangnya. Tampilnya Ahok warga minoritas Cina yang beragama Kristen, sebagai cagub potensial dan tampilnya Agus putra SBY adalah dua faktor hiruk pikuknya Pilgub DKI Jakarta. 

Namun, yang lebih menarik adalah informasi yang beredar di media sosial baik berupa bagan maupun paparan poin per poin tentang kemungkinan adanya skenario besar menjatuhkan pemerintahan Jokowi. Sebuah teori konspirasi yang selalu menarik perhatian pegiat dunia maya. Dan skenario besar itu muncul sebelum informasi resmi baik soal aliran danaTommy Soeharto disebut atau transfer uang Gde Sardjana ke Jamran dibuka pihak kepolisian.

Di dalam skenario besar itulah ada nama Reza Chalid sang bos minyak yang kini menghilang itu. Oleh karena itulah, tiba-tiba saja saya teringat nama Reza Chalid ketika kasus transfer uang Gde Sardjana ke Jamran ramai disoroti publik saat ini. Apakah ini berarti benar, Reza Chalid juga terlibat aktif dalam pendanaan aksi makar 212 dan aksi menggoyang pemerintahan Jokowi. 

Jika benar Reza Chalid terlibat pendanaan aksi makar 212, tentu harus ada alasan logis di balik tindakannya itu. Menghilangnya Reza Chalid paska Skandal Papa Minta Saham dan Pembubaran Petral yang menyisakan pekerjaan bagi Kejaksaan Agung dan KPK itu bisa saja jadi alasan logis itu. 

Sebagai orang yang pernah digelari "saudagar minyak" yang dikenal dekat dengan rezim Cendana dan Cikeas, Reza Chalid bukanlah pengusaha "biasa". Ucapannya dalam rekaman Skandal Papa Minta Saham bersama Setya Novanto itu hanyalah salah satu bukti kecil betapa tidak biasanya seorang Reza Chalid. Presiden pun bisa dia "atur-atur".

Namun, di era Presiden Jokowi saat ini ternyata Reza Chalid tidak sekuat dulu lagi. Petral saluran utama pundi-pundi hartanya dari bisnis minyak ditutup. Kasus penyimpangan pembelian minyak selama bertahun-tahun kini diobok-obok untuk dipidanakan, lobinya lewat Setya Novanto gagal dan dia kini harus kabur ngumpet entah ke mana. 

Tetapi, Reza Chalid belum pailit dan tentu hartanya masih melimpah dan bisa mengalir sampai jauh. Bisalah dianggap saat ini adalah masa liburan sambil menunggu kesempatan untuk kembali berkuasa dengan kerajaan bisnisnya. Untuk kembali berkuasa perlu diciptakan peluang dan menghilangkan rintangan. 

Jika era saat ini dianggap rintangan tentu harus dihilangkan sehingga datang era baru yang memberi peluang. Tanpa adanya peluang dan menghilangkan rintangan, berarti Reza Chalid harus libur panjang dan sewaktu-waktu bisa ditangkap untuk diperiksa dalam beberapa kasus yang melibatkan namanya. Itu jelas tidak nyaman dan membahagiakan bagi seorang "Gasoline Godfather".

Oleh karena itulah, wajar jika Reza Chalid yang biasa "atur-atur" presiden itu dicurigai ikut terlibat dalam pendanaan aksi makar 212. Kedekatannya dengan rezim-rezim penguasa memberikannya kepiawaian menyatukan beberapa kubu dan kepentingan yang menghendaki Jokowi jatuh. Dengan kejatuhan Jokowi rintangan dianggap hilang, era baru datang, dan peluang bisnis pun kembali terbuka untuk seorang Reza Chalid. Penalaran yang logis baik secara bisnis maupun politis, walau tetap saja spekulatif karena belum ada data resmi.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah benar pendapat yang menyebut kehadiran Reza Chalid telah menyatukan kekuatan Cendana dan Cikeas, sebagaimana yang diungkap di medsos itu. Ini tentu bukan pertanyaan yang mudah dijawab karena sampai saat ini, belum ada fakta resmi dari hasil penyelidikan kepolisian yang mendukung pandangan itu. Kalau dipaksakan menjawab, bisa berujung gugatan. Artinya, munculnya pandangan itu baru sebatas teori konspirasi yang beredar di medsos. Namanya teori ya bisa benar bisa pula salah.

Meskipun begitu munculnya nama Tommy dan Gde Sardjana dari hasil pemeriksaan dan penyelidikan polisi atas kasus makar 212, memang punya keselarasan dengan teori konspirasi yang beredar itu. Apakah itu artinya, nama-nama lain yang juga disebut dalam teori konspirasi itu seperti Reza Chalid, benar-benar terlibat, tentu masih harus dengan sabar ditungggu pembenarannya dengan hasil kerja pihak kepolisian.

Lepas dari itu semua, kasus makar 212 itu telah membuka kesadaran bahwa benar ada hubungan (baik secara langsung atau tidak) antara Pilkada DKI Jakarta dengan aktor makar 212 dan aksi penggalangan massa lain yang menjadikan Ahok sebagai cantolan untuk menjatuhkan Jokowi. Hanya saja kesadaran itu kini tetap saja harus menghadapi penyangkalan sebagaimana sebelumnya.

Bagi kubu Cikeas perkembangan baru ini tampaknya sangat tidak menggembirakan. Munculnya nama Gde Sardjana suami Sylviana Murni, yang mentransfer sejumlah uang ke Jamran anggota relawan atau tim sukses pasangan Agus - Sylvi, seolah dipersepsikan sebagai jawaban atas teka-teki Lebaran Kuda. Pidato SBY 2 November, beredarnya WA Choel Malarangeng tentang logistik 2511 yang tak dibantah hingga kini, artikel SBY menjelang aksi 212, dan kini aliran dana Gde Sardjana ke Jamran seperti puzzle liar yang disatukan untuk menjawab teka-teki itu.

Meskipun begitu, terlalu terburu-buru juga untuk menilai bahwa benang merah aksi makar 212 telah utuh terlihat. Bisa saja, apa yang terungkap saat ini hanyalah secuil informasi yang boleh dibocorkan untuk publik. Bisa saja perkembangan kasus aksi makar 212 justru lebih rumit dari yang diduga. Atau, jangan-jangan Lebaran Kuda itu memang belum berakhir.

Salam

 

Bacaan pendukung:

Polisi, Gde Sardjana Ngaku Transfer Dana Kampanye Agus-Sylvi ke Zamran

Sstt Polri Seriusi Dugaan Tommy Soeharto Jadi Bandar Makar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun