Lepas benar atau tidak informasi soal Tommy Soeharto terlibat pendanaan aksi makar 212, munculnya berita keterlibatan ketua Yayasan Solidaritas Sahabat Cendana Firza Husein yang dekat dengan Tommy Soeharto itu tetap saja menarik dan menimbulkan beberapa pertanyaan.Â
Misalnya, apa benar Tommy terlibat dalam pendanaan aksi makar 212 ini? Apakah ini bentuk perlawanannya secara diam-diam terhadap pemerintahan Jokowi? Apakah ini bentuk perlawanannya terhadap Tito Karnavian yang menangkapnya dulu dalam kasus pembunuhan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita?
Masih banyak pertanyaan yang bisa diajukan terkait ketua Yayasan Solidaritas Sahabat Cendana Firza Husein dan Tommy Soeharto ini. Termasuk keterkaitannya dengan pilkada DKI Jakarta dan pencalonan Agus putra SBY. Pertanyaan ini wajar karena banyak juga yang menilai urusan makar 212 itu tak bisa dilepaskan dari Pilgub DKI Jakarta sebagai salah satu latar belakangnya. Tampilnya Ahok warga minoritas Cina yang beragama Kristen, sebagai cagub potensial dan tampilnya Agus putra SBY adalah dua faktor hiruk pikuknya Pilgub DKI Jakarta.Â
Namun, yang lebih menarik adalah informasi yang beredar di media sosial baik berupa bagan maupun paparan poin per poin tentang kemungkinan adanya skenario besar menjatuhkan pemerintahan Jokowi. Sebuah teori konspirasi yang selalu menarik perhatian pegiat dunia maya. Dan skenario besar itu muncul sebelum informasi resmi baik soal aliran danaTommy Soeharto disebut atau transfer uang Gde Sardjana ke Jamran dibuka pihak kepolisian.
Di dalam skenario besar itulah ada nama Reza Chalid sang bos minyak yang kini menghilang itu. Oleh karena itulah, tiba-tiba saja saya teringat nama Reza Chalid ketika kasus transfer uang Gde Sardjana ke Jamran ramai disoroti publik saat ini. Apakah ini berarti benar, Reza Chalid juga terlibat aktif dalam pendanaan aksi makar 212 dan aksi menggoyang pemerintahan Jokowi.Â
Jika benar Reza Chalid terlibat pendanaan aksi makar 212, tentu harus ada alasan logis di balik tindakannya itu. Menghilangnya Reza Chalid paska Skandal Papa Minta Saham dan Pembubaran Petral yang menyisakan pekerjaan bagi Kejaksaan Agung dan KPK itu bisa saja jadi alasan logis itu.Â
Sebagai orang yang pernah digelari "saudagar minyak" yang dikenal dekat dengan rezim Cendana dan Cikeas, Reza Chalid bukanlah pengusaha "biasa". Ucapannya dalam rekaman Skandal Papa Minta Saham bersama Setya Novanto itu hanyalah salah satu bukti kecil betapa tidak biasanya seorang Reza Chalid. Presiden pun bisa dia "atur-atur".
Namun, di era Presiden Jokowi saat ini ternyata Reza Chalid tidak sekuat dulu lagi. Petral saluran utama pundi-pundi hartanya dari bisnis minyak ditutup. Kasus penyimpangan pembelian minyak selama bertahun-tahun kini diobok-obok untuk dipidanakan, lobinya lewat Setya Novanto gagal dan dia kini harus kabur ngumpet entah ke mana.Â
Tetapi, Reza Chalid belum pailit dan tentu hartanya masih melimpah dan bisa mengalir sampai jauh. Bisalah dianggap saat ini adalah masa liburan sambil menunggu kesempatan untuk kembali berkuasa dengan kerajaan bisnisnya. Untuk kembali berkuasa perlu diciptakan peluang dan menghilangkan rintangan.Â
Jika era saat ini dianggap rintangan tentu harus dihilangkan sehingga datang era baru yang memberi peluang. Tanpa adanya peluang dan menghilangkan rintangan, berarti Reza Chalid harus libur panjang dan sewaktu-waktu bisa ditangkap untuk diperiksa dalam beberapa kasus yang melibatkan namanya. Itu jelas tidak nyaman dan membahagiakan bagi seorang "Gasoline Godfather".
Oleh karena itulah, wajar jika Reza Chalid yang biasa "atur-atur" presiden itu dicurigai ikut terlibat dalam pendanaan aksi makar 212. Kedekatannya dengan rezim-rezim penguasa memberikannya kepiawaian menyatukan beberapa kubu dan kepentingan yang menghendaki Jokowi jatuh. Dengan kejatuhan Jokowi rintangan dianggap hilang, era baru datang, dan peluang bisnis pun kembali terbuka untuk seorang Reza Chalid. Penalaran yang logis baik secara bisnis maupun politis, walau tetap saja spekulatif karena belum ada data resmi.