Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Sholat Berjamaah untuk Apa? Revolusi?

13 Desember 2016   04:51 Diperbarui: 13 Desember 2016   08:35 3648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gerakan sholat Subuh berjamaah bukanlah hal baru. Sebelum ada seruan yang dilontarkan oleh Riziek Cs lewat GNPF MUI, gerakan ini sudah jadi seruan untuk memakmurkan masjid dan musholla. Hal itu menjadi agak lain, ketika gerakan sholat Subuh berjamaah dijadikan kelanjutan aksi sholat Jumat di Monas, yang kita kenal dengan aksi 212, dan diberi titel Gerakan Subuh Berjamaah 1212.

Akibat perubahan aksi sholat Subuh berjamaah itu, yang kini dipusatkan di beberapa tempat seperti di Pusdai Bandung itu, sifat sholat itu juga tidak bisa dipandang sebagai gerakan murni ibadah, sujud tafakkur ke hadirat Illahi Robbi. Adanya embel-embel gerakan bela Islam, menjadikan gerakan itu cukup layak disebut Gerakan Politik Sholat Berjamaah.

Ada hal pokok yang membedakan gerakan sholat berjamaah dengan gerakan politik sholat berjamaah, yaitu motif dan tujuan sholat itu. Jika sholat berjamaah murni karena niat "Illaihi anta maksudi waridlo kamatlubi", maka pada politik sholat berjamaah ada motif politik yang kental, semacam show of force untuk tujuan politik tertentu. Dalam kasus politik sholat Subuh berjamaah 1212, motif politik itu sama dengan aksi 212 di Monas.

Apa yang saya tulis ini, tentang fenomena gerakan politik sholat berjamaah, bukanlah bahasan baru. Saat saya ketik kata "sholat politik" di mesin pencarian Google, ternyata Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA, staf pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, juga sudah membahas masalah ini (25 November 2016) sebelum aksi 212 di Monas.

Menurut dia, salat, seperti bentuk-bentuk ibadah ritual lain baik di Islam maupun di agama-agama lain, bukan hanya “tindakan ibadah” agama semata tetapi juga bisa disebut sebagai “aksi politik” kalau dilakukan dengan motif dan tujuan politik tertentu.  

Fenomena “ibadah sebagai aksi politik” ini terjadi di banyak negara dan masyarakat. Dulu, di Bolivia, seperti ditunjukkan dalam studi June Nash, para buruh, karyawan dan pengusaha perusahaan timah swasta menggunakan ritual tradisional bernama cha’alla untuk memprotes kebijakan pemerintah yang melakukan nasionalisasi perusahaan timah. 

Di Perancis, kaum perempuan Muslimah pernah menggalang “gerakan jilbab” sebagai bentuk protes pada pemerintah yang melarang umat beragama menggunakan simbol-simbol keagamaan di tempat-tempat publik. Sejumlah sekte agama, baik dalam Islam maupun non-Islam, termasuk kelompok mistikus dan sufi, dalam sejarahnya juga pernah menggelar “ritual untuk politik” yang memiliki latar belakang dan tujuan macam-macam. 

Kalau memang benar ada gerakan dan memobilisasi massa untuk salat Jum’at di jalan raya, sementara banyak masjid atau lapangan yang kosong-melompong, itu jelas para penggerak dan penggagas salat Jum’at di jalan raya itu hendak menggunakan ritual salat sebagai “instrumen politik” untuk tujuan-tujuan politik tertentu. Inilah yang saya sebut sebagai “politik salat”, dan kalau memang benar terjadi “salat Jum’at di jalan raya”, maka salatnya itu disebut “salat politik”. (sumanto al qurtubi, 25/11/2016)

Mengacu pada pendapat Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA, tersebut, tentang penggunaan ritual sholat sebagai "instrumen politik" untuk tujuan politik tertentu, maka meski tidak sama persis, baik aksi sholat Jumat di Monas maupun aksi sholat Shubuh berjamaah, layak disebut sebagai "politik sholat". Soal tinjauan syar'i tentang sholat semacam itu, tulisan ini tak hendak membahasnya.

Yang jadi pertanyaan pokok adalah gerakan politik sholat berjamah itu untuk apa. Tujuan politik apa yang hendak diraih, dan sampai kapan gerakan ini berlanjut. Pertanyaan ini menjadi penting karena adanya kecenderungan melebarnya tujuan awal gerakan GNPF MUI yang awalnya untuk mengawal kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama, berbelok hendak melengserkan Jokowi dari kursi presiden.

Penunggangan oleh kelompok makar, hingga keinginan menerapkan hukum syariat Islam di Indonesia, bahkan ada juga yang bermaksud mendirikan kekhilafahan di Indonesia, juga ikut di dalamnya. Aksi 411 dan 212 tak usah dipungkiri, diikuti juga kelompok massa yang bermaksud seperti itu. Bahkan ada juga yang secara terbuka membagikan selebaran tentang niatan pendirian kekhilafahan di Indonesia yang dilakukan massa Hizbut Thahir Indonesia.

Ibadah sholat baik yang wajib maupun yang sunah, bagi muslim tentunya membawa kebaikan dan bukan keburukan dan kemudlaratan. Jadi, bukan kegiatan sholatnya yang jadi masalah. Tetapi, kegiatan di luar sholat itu yang bermasalah jika tidak sesuai dengan tujuan sholat itu sendiri. Jika ibadah ini dipolitisasi dengan mengumpulkan jamaah dalam jumlah besar yang rawan sekali dimasuki kepentingan destruktif dan melenceng dari tujuan ibadah itu sendiri, tentu perlu dikaji lagi dengan lebih bijak dan seksama.

Jumlah massa yang besar yang diraih dengan gerakan politik sholat berjamah ini ditinjau dari aspek keamanan juga sangat rawan dimasuki oleh penyusup dengan membawa kepentingan yang destruktif. Bayangkan saja jika ada yang menaruh bom di tengah jamaah semacam ini, apa akibat yang akan terjadi. Atau, misalnya ada provokator yang tiba-tiba membuat kerusuhan di tengah jamaah, apa yang akan terjadi selanjutnya.

Kalaupun tidak ada penyusup, tetapi jika ibadah semacam ini diwarnai dengan pidato politik yang membakar hati jamaah, untuk berbuat sesuai arahan si pemberi pidato, terlebih sudah ada massa yang disiapkan untuk menggiring massa yang lain, akibatnya juga akan sangat berbahaya. Kasus aksi makar 212 yang gagal itu menunjukkan skenario semacam itu.

Oleh karena itu, menjadi penting menjawab pertanyaan untuk apa gerakan politik sholat berjamaah ini dilakukan dan sampai kapan terus dilakukan. Jikalau gerakan semacam ini untuk menanamkan kesadaran kepada jamaah agar lebih toleran terhadap umat agama lain, tidak mau menang sendiri, menyayangi dan menyantuni anak yatim dan fakir miskin, itu memang tujuan ibadah yang benar.

Kalau gerakan semacam ini untuk menanamkan nilai kebangsaan, memerangi korupsi, narkoba, penistaan dan perilaku aniaya pada anak dan perempuan, itu tindakan mulia. Demikian juga jika gerakan semacam itu ditujukan untuk menanamkan kesadaran perlunya sholat berjamaah itu sendiri. Ini bisa disebut gerakan politik sholat tetapi tujuan politiknya adalah ibadah itu sendiri.

Menjadi bermasalah jika tujuan politik yang hendak diraih gerakan itu adalah kekuasaan politik, merongrong wibawa hukum dan negara, menjatuhkan pemerintahan yang sah, mengganti konstitusi negara, memaksakan kepentingan kelompok atas kelompok lain, atau memaksakan kebenaran atas nama kelompok untuk menekan kelompok lain. Jika ini yang terjadi, seharusnya aparat hukum wajib menindaknya.

Jika melihat gerakan Shubuh berjamaah 1212 yang merupakan kelanjutan dari aksi 212, maka tujuan politik gerakan ini seharusnya tak jauh dari masalah Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Selama Ahok belum ditahan, dinyatakan bersalah, dan dipenjara dalam kasus dugaan penistaan agama, gerakan yang dimotori GNPF MUI ini terus berlanjut.

Pertanyaannya, apakah tuntutan itu layak diajukan oleh kelompok ini jika tak punya tujuan politik lain. Islam itu sangat menekankan keadilan, jadi tindakan memaksakan kehendak dan kebenaran hukum itu jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, tujuan politik lain itulah yang lebih menonjol dalam gerakan politik sholat berjamaah itu, yaitu urusan Pilkada DKI Jakarta.

Jika urusannya adalah pilkada DKI Jakarta, mengapa pula harus melibatkan massa di daerah lain di Indonesia? Jawaban sederhananya, karena di Jakarta massa lebih berempati kepada Ahok. Warga Jakarta yang lebih moderat tak lagi memasalahkan urusan agama calon gubernurnya, yang penting becus bekerja, jujur, adil, punya program jelas, dan pro rakyat, anti koruptor dan maling APBD.

Itulah alasan pokonya, sehingga dicarilah isu yang sangat sensitif dan bisa menarik emosi orang banyak. Isu itu adalah ucapan Ahok di Kepulauan Seribu, yang maaf telah digoreng sedemikian rupa sehingga memunculkan dugaan penistaan agama. Dengan isu inilah massa dari luar Jakarta ditarik dukungannya untuk ikut menekan agar Ahok dihukum dan dipenjara sehingga gagal jadi gubernur lagi.

Tetapi, kenyataan menunjukkan selain soal Ahok, ada agenda lain yang berjalan simetris dengan aksi-aksi itu, antara lain pelengseran Jokowi, teror, dan juga niatan pendirian kekhilafahan di Indonesia. Ucapan Riziek yang menyatakan jika Ahok tidak dihukum, berarti akan ada revolusi di Indonesia, menggambarkan secara jelas ke mana arah gerakanan yang dibangunnya, yaitu pemaksaan kebenaran hukum. 

Pernyataan Riziek itu, juga bisa ditafsirkan sebagai cantolan untuk gerakan lain jika massa pendukung gerakan ini semakin besar. Ini sudah terbukti gerakan awal yang mengusung tema proses hukum Ahok dan jangan ada intervensi, sudah dijawab dengan proses hukum yang transparan dan Ahok jadi tersangka. Namun tuntutan berubah jadi Ahok harus dipenjara, dan aksi lebih besar tetap digalang dan dilakukan. 

Kini dengan mengusung tuntutan penjarakan Ahok dan nyatakan Ahok bersalah, pasti akan ada gerakan lanjutan. Sebagaimana diungkap Kapolri Tito Karnavian saat rapat dengar pendapat dengan DPR pekan lalu, potensi aksi massa semacam itu ada. Pertanyaannya kemudian apakah aksi sholat Subuh berjamaah itu masih dalam kaitan itu atau ada tujuan lain yang lebih besar, yaitu (meminjam istilah Riziek) mengadakan revolusi di Indonesia.

Jika aksi sholat Subuh berjamaah ditujukan untuk mendukung aksi 212, maka langkah itu bisa dianggap sebagai pemanasan dan penggalangan aksi yang lebih besar saat persidangan atau vonis Ahok nanti. Saat persidangan bisa jadi aksi dilakukan untuk menekan majelis hakim agar bertindak sesuai kemauan mereka. Itu sudah mereka tunjukkan saat proses penetapan tersangka Ahok.

Jika Ahok dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan, maka aksi besar kemungkinan akan mereka gelar seperti ancaman Riziek. Untuk itu diperlukan penggalangan massa secara berkelanjutan paska aksi 212, di antaranya lewat aksi Subuh berjamaah 1212 itu. Dan, sangat mungkin setelah aksi Subuh berjamaah 1212, akan muncul gerakan Dhuhur berjamaah, Asyar berjamaah atau yang lain, yang tujuannya untuk memelihara momentum semangat "bela Islam" untuk membuat Ahok dipenjara. 

Permasalahannya adalah jika Ahok ternyata tidak dipenjara dan dinyatakan tidak bersalah karena fakta yang ada memang tidak menunjukkan adanya niat atau perbuatan penistaan agama seperti yang dituduhkan itu. Apakah revolusi yang diancamkan Riziek itu murni karena kasus Ahok atau karena sedari awal memang sudah ada niat itu dan memakai kasus Ahok sebagai batu pijakan.

Melihat sifat dan gerakan dan aksi yang dimotori GNPF MUI sebelumnya, yang ternyata sarat kepentingan politik dan penumpang dengan berbagai agendanya, terlalu naif jika memandang gerakan itu murni karena faktor Ahok semata. Terlibatnya massa HTI, FUI, FPI, IM, dan kelompok lain dengan latar belakang politik, menjadikan gerakan ini tak bisa dipandang murni karena kasus Ahok.

Dengan dasar pemikiran itu, ancaman revolusi jika Ahok bebas itu sebenarnya hanyalah cantolan untuk menutupi keinginan dan niat revolusi yang sebenarnya, yang memang mereka kehendaki dan kini mendapat momentum tepat dengan adanya kasus Ahok. Karena itu, membiarkan Rizik Cs untuk terus menggalang dukungan dengan cantolan semangat "bela Islam", dengan menggalang dukungan di berbagai daerah di Indonesia dengan aksi semacam Subuh berjamaah 1212 (yang dipersiapkan untuk revolusi ala Riziek Cs) adalah tidak bijaksana.

Memang secara hukum orang beribadah itu tak boleh dilarang. Wong ibadah kok dilarang atau dibubarkan, itu melanggar HAM (seperti kelakuan PAS terhadap jamaah KKR Natal di Sabuga itu melanggar HAM dan pelakunya harus dihukum). Bukan ibadahnya yang dipermasalahkan atau dilarang, tetapi muatan politik dalam ibadah itu yang harus diluruskan sehingga tidak membahayakan NKRI. 

Kalau Riziek menghasut dan terus menggelorakan ajakan dan ancaman revolusi, ya harus ditahan dan dipenjara.

Salam, damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun