Banyak ulasan dan harapan agar Antasari Azhar sekeluar dari penjara tetap konsisten dalam jalur perjuangan pemberantasan korupsi. Walau dia sudah menyatakan dalam satu bulan ini tak mau diganggu dan akan balas dendam dengan bermain dan momong cucunya yang selama ini tak bisa dijalani karena berada di penjara, suara semacam itu tetap saja terdengar.
Mengapa muncul harapan dan ulasan pendapat pentingnya Antasari Azhar agar tetap konsisten berjuang dalam pemberantasan korupsi, padahal dia dipenjara sekian lama? Sebabnya sederhana, masyarakat percaya dia tidak pernah melakukan kejahatan pembunuhan yang disangkakan. Keluarga Nasarudin, yang jadi korban pembunuhan itu, termasuk yang mendukung Antasari.
Mengapa masyarakat tidak percaya Antasari terlibat pembunuhan itu dan bersimpati kepadanya? Sebabnya juga sederhana; fakta yang jadi dasar tuduhan itu dinilai sangat lemah dan penuh rekayasa. Sementara, saksi kunci yang ada juga mengungkapkan kebenaran lain yaitu Antasari sengaja dijadikan target agar bisa dimasukkan ke dalam penjara.
Mengapa Antasari dijadikan target khusus agar bisa dijebloskan ke penjara? Sebabnya tidak sederhana. Sebagai ketua KPK, dia telah melakukan gerakan pemberantasan korupsi tanpa kompromi yang menyasar orang terdekat penguasa dan kepentingan ekonomi di dalamnya. Gerakannya itu dinilai telah menimbulkan luka yang dalam dan kekhawatiran yang besar di komunitas ekonomi dan politik tertentu.
Mengapa Nasrudin Zulkarnain direktur PT Rajawali Putra Banjaran yang dibunuh dan kesalahannya ditimpakan kepadanya? Sebabnya juga tidak sederhana; korban adalah sahabat baiknya sejak lama yang mengadukan kasus korupsi di perusahaan induknya, yaitu BUMN PT Rajawali Nusantara Indonesia, yang menyasar beberapa pejabat. Korban dan Antasari sama-sama punya hobi main golf, di mana ada caddy cantik bernama Rani Juliani, sehingga bisa dibuat kisah telenovela pembunuhan akibat cinta segitiga.
Itulah beberapa alasan mengapa masyarakat tidak percaya Antasari terlibat kejahatan pembunuhan yang memaksanya menginap di penjara sekian tahun lamanya. Alasan itu saya ambil dan saya rangkum dari berbagai berita dan opini yang muncul atas kasus itu. Tentunya, ada juga masyarakat yang percaya Antasari bersalah. Hakim yang menjatuhkan vonis misalnya, pastilah di antara yang percaya itu.
Untuk memahami lebih jelas perkara Antasari, harus kembali ke masa dia menjabat sebagai ketua KPK antara tahun 2007 hingga 2009, hingga dia diberhentikan sementara pada 6 Mei 2009, diberhentikan secara tetap pada 11 Oktober 2009, dan divonis bersalah dengan hukuman 18 tahun penjara pada 11 Februari 2010. Itulah era perjuangan  Antasari dalam pemberantasan korupsi, yang berakhir tragis.
Ada tiga perkara korupsi pokok yang sering disebut-sebut jadi penyebab tragedi dalam kehidupan Antasari. Pertama, KPK di bawah kepemimpinannya menangani perkara korupsi BLBI yang melibatkan Aulia Tantowi Pohan, deputi gubernur Bank Indonesia (BI) yang juga besan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Aulia Tantowi Pohan akhirnya divonis 4 tahun 6 bulan penjara atas kasus korupsi aliran dana BI, di PN Tipikor 17 Juni 2009 namun bebas bersyarat pada 18 Agustus 2010.
Kedua, kasus korupsi di Bank Century juga jadi garapan serius KPK saat itu. Kasus bail out bank itu, dengan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan Penyertaan Modal Sementara (PMS) untuk penyelamatan, diduga ada penyimpangan dan digunakan untuk kepentingan politik. Demikian pula penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Budi Mulya mantan deputi gubernur BI, memang telah divonis 15 tahun penjara. Hakim menilai Budi melakukan iktikad tidak baik dalam pemberian FPJP dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Akibatnya, negara rugi Rp 8,012 triliun.Â
Dalam putusan tingkat pertama disebutkan bahwa jajaran Dewan Gubernur Bank Indonesia terlibat dalam pemberian FPJP maupun penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Mereka adalah Miranda Goeltom, Muliaman Hadad, Hartadi A. Sarwono, Ardhayadi M., serta Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan Raden Pardede. Satu lagi nama yang disebut adalah mantan wakil presiden Boediono yang saat itu menjabat Gubernur BI.
Ketiga, kasus dugaan korupsi di pengadaan Identity Character Recognition (ICR) KPU, yang diduga melibatkan perusahaan Hartati Murdaya Po, anggota Partai Demokrat saat itu. Penggunaan teknologi ICR pada Pemilu 2009 itu menggunakan anggaran Rp 170 miliar. ICT disebut dapat mempercepat proses penghitungan suara, memperoleh tabulasi yang akurat, mendapatkan salinan dokumen elektronik yang otentik dan aman, serta membuat pemilu lebih transparan.
Namun, kenyataannya penghitungan elektronik KPU ngadat. KPU bahkan memutuskan untuk menghitung suara secara manual. Karena itu, Antasari yang sejak awal mengkhawatirkan penggunaan sistem ICR dan kesiapan SDM memutuskan melakukan penyelidikan. Selasa 21 April 2009, ia berbicara kepada pers tentang langkah yang diambil KPK. Namun, kasus pembunuhan Nasruddin lebih cepat menjeratnya.
Tiga perkara yang ditinggalkan Antasari itu hingga kini belum tuntas ditangani KPK, yang terakhir malah seperti tak tersentuh. Mungkin karena itulah, kabar bebas bersyaratnya Antasari Azhar kembali menumbuhkan harapan di masyarakat, agar kasus yang dinilai jadi penyebab dipenjarakannya Antasari itu bisa diungkap tuntas.
Tetapi, bijaksanakah masyarakat berharap seperti itu, yang seperti mendorong Antasari untuk balas dendam terhadap pihak yang memenjarakannya? Jawabnya relatif. Antasari Azhar memang sudah menyatakan telah meninggalkan segala dendam di penjara. Namun kasus hukum yang pernah ditangani KPK di masa kepemimpinannya terbukti belum tuntas. Karena itu, jika dia ditanya apa pendapatnya, tentu wajar saja jika dia menjawab sesuai yang diketahuinya.
Tetapi, setidaknya memang selama satu bulan ini berilah dia kesempatan untuk balas dendam mengemong cucunya. Inilah yang mungkin kurang bijaksana jika kita memaksakan harapan itu tanpa memperhitungkan sisi kemanusiaan seorang Antasari. Bagaimanapun dia berhak untuk menikmati hangatnya sebuah keluarga dengan para cucu, anak, dan istri tercinta.
Yang lebih penting sebelum berharap Antasari Azhar bisa kembali ke habitatnya sebagai sosok yang memperjuangkan pemberantasan korupsi di Indonesia, lebih bijaksana jika melihat statusnya saat ini yang masih bebas bersyarat. Sebuah status yang membebani sebuah kebebasan dengan syarat-syarat. Sebuah grasi dari presiden adalah sebuh hadiah yang indah sebagai wujud kebebasan dari syarat-syarat itu. Itulah yang saat ini dibutuhkan Antasari.
Diakui atau tidak, bebas bersyaratnya Antasari Azhar 10 November kemarin, tidak membuat semua orang senang. Meski dia telah menjalani hukuman 7 tahun 6 bulan, ditambah remisi 4 tahun 6 bulan, atau dua pertiga lebih dari masa hukuman 18 tahun, orang tak senang itu bukan karena itu. Namun, bebasnya Antasari bisa dianggap bisa  juga memunculkan peluang untuk dibukanya kasus lama dan luka lama. Kekhawatiran itu pasti ada.
Statusnya yang bebas bersyarat itu tentu juga rentan untuk dimainkan oleh pihak yang tidak senang atau yang khawatir dengan kebebasanya. Oleh karena itulah, sebelum meminta Antasari kembali berkiprah, sudah selayaknya dipikirkan hadiah grasi dari presiden yang memang layak diterimanya.
Tetapi, yang membuat saya risau adalah desakan dan publikasi berlebihan atas kebebasan Antasari ini, bisa berakibat buruk dilihat dari segi keamanan pribadinya. Namun, itu sulit dihindari dalam era yang makin terbuka ini. Kekhawatiran ini boleh saja dinilai berlebihan. Tetapi, patut pula diingat adanya kecenderungan sebuah kejahatan terjadi lagi ketika si pelaku merasa tak tersentuh hukum dan terancam kedoknya.
Keselamatan Antasari ini tentu perlu jadi perhatian. Bisa saja dia telah menyatakan tak akan membuka kasus yang telah menimpanya, dan meninggalkan semua di penjara. Tetapi, sosok Antasari dengan segala potensinya, ditambah dengan tekanan publik agar dia bicara dan seterusnya, bisa membut orang meradang dan tentu perlu diantisipasi.
Di luar ancaman secara fisik, Antasari sebelum mendapat grasi memang baru benar-benar dinyatakan bebas pada  2022 nanti. Selama itu pula dia terikat dengan syarat-syarat yang mengikatnya. Apakah syarat ini mengekangnya untuk bicara kebenaran sebuah kasus korupsi misalnya, tentunya tidak jika lembaga resmi yang menggandengnya.
Dalam konteks ini, ucapan Amir Syamsuddin mantan Menkumham era SBY yang kini menduduki jabatan ketua Dewan Pertimbangan Partai Demokrat, yang meminta Antasari Azhar menjaga ucapannya tentu menimbulkan tanda tanya. Apakah ini berarti Partai Demokrat sudah mulai terusik dengan kebebasan Antasari Azhar dan memperingatkan agar Antasari tidak bicara macam-macam?
Pertanyaan ini wajar, mengingat sekeluar dari penjara Antasari pernah ditanya apakah dia akan mengundang SBY pada cara syukurannya nanti, yang dijawab "terpikir saja tidak" dan curhatnya jika "SBY say hello saja tidak" saat dia dipenjara. Antasari juga mengemukakan perlunya KPK menindaklanjuti kasus Bank Century.
Terlebih lagi, Amir Syamsuddin menyatakan kata-kata Antasari yang hanya membuat masyarakat menduga, berspekulasi dan terus mengaitkan orang lain dalam perkara yang dihadapinya, dikhawatirkan dapat menimbulkan kerugian bagi Antasari. "Kalau ada faktanya ya silahkan saja, tapi jangan membuat spekulasi, harus jelas. Kalau memang ada fakta, silakan salurkan melalui jalur hukum". (kompas.com, 12/11/2016)
Jadi, kebebasan bersyarat Antasari Azhar selain menumbuhkan harapan dituntaskannya kasus korupsi yang ditinggalkannya dulu, terbukti memang telah mengusik pihak lain yang khawatir dengan kebebasannya. Ucapan Amir Syamsuddin itu walau tidak menyebut kasus per kasus, menunjukkan adanya nuansa itu. Dan, semuanya kini berpulang ke Antasari: pilih momong cucu terus atau kembali ke habitat untuk memberantas korupsi tanpa peduli apa kata orang.Â
Salam, damai.
Bacaan pendukung:
http://www.tribunnews.com/nasional/2016/11/10/ditanya-akankah-undang-sby-antasari-ingat-pun-enggak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H