Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menyibak Misteri di Balik Keindahan Air Terjun Bongkok dan Cerita Pangeran Singonegoro

6 November 2016   10:38 Diperbarui: 7 November 2016   03:01 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mistisme bagi kehidupan sebagian masyarakat Indonesia ibarat nasi dan sayur atau lauk pauknya, saling melengkapi. Kalau salah satu menghilang, hidup terasa hambar. Gambaran ini mungkin cocok untuk memahami perilaku warga perdesaan dengan aneka adat istiadatnya. Mistisme bisa selaras dengan ajaran agama namun ada juga yang menabrak rambu-rambu aqidah yang lurus.

Peringatan setahun sekali pada tempat atau makam yang dianggap keramat, punya kekuatan gaib, tempat doa dinilai manjur (bahkan yang menyimpang tempat atau makam itu bisa dimintai sesuatu), adalah salah satu wujud sikap mistisme. Di tempat semacam ini, kegiatan peringatan mengambil bermacam bentuk bergantung kepercayaan warga.

Ada yang mengadakan pengajian,  ada pula yang mengadakan pertunjukan keseniaan baik wayang atau langen tayub semalam suntuk. Ada pula kegiatan nyadran atau mengadakan acara kenduri masal (barikan) dan makan beramai-ramai setelah dibacakan doa. Mistisme dan agama terkadang berjalan beriringan, namun ada pula yang berlawanan pada prinsipnya.

Tempat yang dianggap keramat semacam itu akan selalu diiringi dengan legenda atau kisah kesaktian, keangkeran, kesakralan, dan kemanjuran tempat itu dalam mengabulkan doa dan harapan peziarahnya. Bagi beberapa orang, itu adalah oase dalam hidup yang keras dalam mengejar kemakmuran ekonomi dan sebuah jalan pintas meraih sukses hidup. Inilah salah satu faktor ramainya wisata ziarah. 

Kesan inilah yang saya jumpai saat mengunjungi air terjun Bongok tak jauh dari makam Pangeran Singonegoro di Dusun Kerokan, Desa Jetak, Kecamatan Montong, Tuban, minggu lalu. Di balik keindahan air terjun itu ternyata tersimpan kisah mistis yang tak kalah menariknya. Inilah kelanjutan wisata ndeso, setelah mengunjungi Situs Banyu Langse, Desa Boto Kec. Semanding.

Dari Boto, kami lanjutkan perjalanan menuju Merak Urak. Lewat Desa Tuwiri Wetan perjalanan kami lanjutkan ke Montong. Sekitar dua kilometer sebelum kota kecamatan Montong, tepat di pertigaan Pucangan kami belok kiri menuju Desa Pakel. Sesampainya di pertigaan Desa Pakel, belok kiri dan terus jalan sampai pertigaan lagi dan ambil belok kiri lagi, kemudian lurus. 

Sekitar sepuluh menit dari Pakel, kami jumpai papan penunjuk di sisi kanan jalan, menunjukkan arah ke makam Pangeran Singonegoro dan air terjun Bongok,  lantas belok kanan lagi. Seluruh jalan yang kami lewati sudah beraspal. Hanya sekitar satu kilometer saja yang tak beraspal dan itu sudah memasuki kawasan hutan di lokasi air terjun. Karena lokasinya yang terpencil, beberapa kali kami bertanya kepada penduduk setempat untuk mengetahui arah jalan yang benar.

foto: dokpri
foto: dokpri
Sebuah tulisan "Ayo Menanam Pohon" di papan kayu di sisi kiri jalan, seperti menyambut kami. Pepohonan sudah mulai rindang, namun jalanan berubah menjadi jalan tanah kering yang tampak bekas dilalui air hujan. Sebuah gazebo dari kayu jati yang kokoh tampak di depan, dengan beberapa pemuda remaja di depannya. 

Pepohonan makin lebat dan udara makin sejuk, berlawanan dengan udara kering di perjalanan tadi. Rupanya kami memang telah memasuki kawasan air terjun Bongok, Dusun Kerokan, Desa Jetak, Kecamatan Montong. Sekitar 32 km jarak yang harus kami tempuh kalau dihitung dari Kota Tuban.

Tetapi, saya agak ragu-ragu untuk terus mengendarai motor. Jalan di depan tampak turun cukup tajam, diapit tebing tinggi di kiri kanannya.  Jalan itu memang sudah disemen dengan tiga lajur: kiri, kanan, dan tengah. Namun, tetap saja saya ragu. Lelaki muda yang tampak mengendarai motor dari arah bawah, menyatakan jaraknya masih lumayan jauh.

Akhirnya, istri saya memutuskan untuk turun dan berjalan saja,  sementara saya nekat mengendarai motor dengan menarik dan menginjak rem depan dan rem belakang. Walaupun berjalan merayap turun, dan sekali menikung, setelah lima menit sampai juga kami di tanah lapang yang diapit bukit dan dipenuhi pepohonan tinggi menjulang.

Udara sangat sejuk, angin sepoi-sepoi basah. Udara hutan hujan cukup terasa, mungkin karena tempat itu tak jauh dari air terjun dan sumber air.  Di situlah tempat pengunjung biasanya memarkir kendaraannya, atau beristirahat sejenak untuk melepas lelah. Air terjun Bongok letaknya di balik tanah lapang ini, melewati jalan yang diapit tebing juga namun tak terlalu jauh.

Terus terang saya terpesona dengan pepohonan tinggi di tempat itu. Setelah memarkir sepeda, sementara istri melepas lelah, saya sempatkan mengambil gambar pohon besar itu dari beberapa sudut. Tapi dasar fotografer amatiran, tak ada gambar saya yang cukup mempesona. Tapi ya, lumayanlah untuk sekedar memenuhi rasa terpesona saya.

Di tempat itu, waktu kami datang sekitar pukul 11.00 hanya ada penjual makanan penthol dan seorang lelaki tua yang sedang mencuci pakaian di bocoran pipa air di sudut kiri tanah lapang itu, di belakang rumah pompa air. Tetapi ada beberapa motor yang diparkir di situ. Jadi sangat mungkin ada wisatawan macam kami  di air terjun.

Akhirnya, kami pun berjalan kaki melewati jalan menurun ke arah air terjun. Belum lama berjalan, tampak dua orang ibu bersama seorang anak yang rupanya warga setempat, baru balik dengan membawa kain cucIan. Sang bocah tampak memegang satu renteng ikan kecil-kecil hasil perburuannya di sungai di bawah air terjun. Entah mengapa, saya kok tidak berusaha memotretnya. Belakangan saya benar-benar merasa menyesal.

foto: dokpri
foto: dokpri
Sekitar tiga menit berjalan, dari kejauhan air terjun itu sudah tampak, sayang curahan airnya tak terlalu deras, tapi tetap saja elok dipandang. Batu-batu besar tampak berserakan di pinggir kolam air terjun itu. Ada dua curahan air terjun di sebelah kiri melintasi batu besar bundar setengah lingkaran, di sebelah kanan ada kayu besar tepat di curahannya. Konon kayu itu sudah bertahun-tahun ada di situ.

Ah, memang indah air terjun Bongok, walau tak terlalu tinggi tapi sungguh punya keindahan tersendiri. Ada empat pemuda tampak asyik menikmati keindahan air terjun sebelah kanan. Salah seorang di antaranya rupanya sedang merekam, sementata seorang lagi tampak asyik sendirian di depan air terjun, tak jauh dari kayu besar itu.

Saya dan istri pun larut dalam keasyikan memotret pemandangan indah dan elok dipandang itu. Kalau saya bandingkan dengan foto-foto yang beredar di internet, tampaknya akhir Oktober bukan bulan yang cukup memberikan debit air yang besar pada air terjun itu. Januari atau Februari pasti air yang jatuh pasti jauh lebih besar. Tetapi, saya tetap bersyukur setidaknya saat itu tak hujan sehingga kami bisa menikmati pemandangan dengan aman-aman saja,  jalanan juga tak perlu becek karenanya.

PANGERAN SINGONEGORO PANGLIMA PERANG MATARAM

Setelah puas foto-foto (kami tak main air takut basah....hehehe) kami pun balik ke tanah lapang dengan pepohonan tinggi menjulang tempat motor parkir. Rupanya ada rombongan pemuda remaja dari Lamongan yang baru datang. Ada juga dua lelaki dewasa sekitar usia tiga puluhan, yang tampak asyik ngobrol dengan penjual pentol. Pak tua yang mencuci pakaian masih asyik di tempatnya.

Karena kelaparan, istri saya memutusan membeli pentol untuk mengganjal perut. Untuk minum, kami sudah membelinya di mini market di Merak Urak. Namanya orang lapar, udara cukup sejuk, angin sepoi-sepoi, makan tentu akan terasa enak. Namun, saya pesan agar makanan pentol seharga Ro 5.000 itu tak diberi saos merah menyala, cukup pakai kecap saja. Saya sendiri tak terlalu berminat.

foto: dokpri
foto: dokpri
Akhirnya saya memutuskan mendekati lelaki tua yang sedang mencuci, bertanya tentang sejarah tempat itu. Rupanya karena faktor usia terkadang pembicaraan tidak nyambung. Namun beberapa kali lekaki tua ini menunjuk komplek makam di sudut kanan tanah lapang. "Niku makame Mbah Singonegoro. Biasane wudlu wonten air terjun terus ndonga wonten mriku. (Itu makamnya Mbah Singonegoro. Biasanya  orang berwudlu dulu di air terjun dan berdoa di situ)."

Di sudut kanan tanah lapang itu, memang tampak sebidang tanah yang dibatasi pagar tembok rendah. Di situlah Pangeran Singonegoro, salah satu panglima perang Sultan Agung raja Mataram, dimakamkan. Pangeran Singonegoro dalam sejarah Tuban, juga disebut keturunan Sayyid Abdullah Asy'ari atau Sunan Bejagung Lor, Semanding Tuban. Di kawasan Jetak dan sekitarnya itu Pangeran Singonegoro melakukan syiar Islam.

Karena banyak kelebihan yang dimiliki, baik karena hidayah maupun karomah dari Allah, warga Montong menganggap Pangeran Singonegoro seorang wali Allah,  Soal Pangeran Singonegoro sampai ke daerah itu, belum jelas benar. Namun warga setempat menyebut hal itu ada kaitannya dengan kekalahan pasukan Mataram saat melawan Belanda. Tetapi di buku sejarah resmi, kekalahan Mataram pada saat Sultan Agung menjadi raja adalah ketika melakukan penyerbuan ke Batavia (1628-1629). 

Sementara Sayyid Abdullah Asy'ari hidup semasa Majapahit. Sayyid Abdullah Asy'ari terhitung adik Sayyid Ibrahim Asmoroqondi, ayah R. Rahmat atau Sunan Ampel, yang datang ke Majapahit pada 1443. Kalau melihat tahun sejarah itu, ada selisih waktu hampir dua ratus tahun antara Sayyid Abdullah Asy'ari dan P. Singonegoro. 

Pak Tua itu entah tahu atau tidak soal sejarah resmi itu. Tetapi, yang pasti dia menegaskan kealiman dan kewalian P. Singonegoro yang sangat dihormati warga sekitar. "Tiap tahun nggeh enten peringatan khol ten mriki. Sing ndugi tiyang katah, Pak Bupati nggih ndugi, wonten pengajian ten mriki (Setiap tahun ada peringatan khol di sini. Yang datang orang banyak, Pak Bupati juga datang. Ada pengajian di sini)."

Sambil mengucapkan terima kasih, saya kembali ke tempat istri saya menikmati pentolnya. Dua lelaki dewasa yang tadi sempat berbicara dengan penjual pentol terlihat berjalan menuju areal makam. Entah apa yang mereka bicarakan di sana, saya tak tahu.  Karena penasaran, saya akhirnya mendekati areal pemakaman namun tetap di luar pagar. 

Kedua lelaki itu tampak duduk dan berdoa. Di areal itu ada empat makam yang batu nisannya dibungkus kain hijau, tampaknya cukup terawat. Hanya sebentar mereka berdoa dan lantas mereka berdiri.

Sebagai rasa hormat pada para aulia dan para alim, syuhada yang berjuang di jalan Allah P. Singonegoro dan tiga kerabatnya yang dimakamkan di situ, sambil berdiri di dekat pagar makam, saya baca Al- Fatihah untuk mereka. Tentunya, saya awali dulu dengan bacaan Al-Fatihah untuk Rasulullah Muhammad SAW.

Setelah kembali ke tempat istri saya yang masih asyik dengan jajanan pentol seharga Rp 5.000 itu, saya mendapati cerita menarik. Kata penjual pentol yang rupanya warga Desa Jetak, biasanya memang ada beberapa orang yang berdoa di makam itu. Kalau harapannya terkabul, orang itu akan mengadakan selamatan di tempat itu.

Tapi tak semua pengunjung berbuat seperti itu. Banyak juga yang datang memang sekedar untuk menikmati keindahan air terjun Bongok. Pada saat musim liburan sekolah, tempat ini katanya cukup banyak. Pada saat itulah, biasanya dikenakan tarif karcis masuk Rp 2.000 per orang. Di luar itu, seperti saat kami datang itu ya gratis.

Mungkin karena lokasi air terjun Bongok yang cukup terpencil,  dia tak sepopuler air terjun Nglirip.  Namun, melihat suasananya yang sejuk dengan pepohonan besar, angin sepoi-sepoi basah, ada juga kera yang tampak malu-malu memperlihatkan diri, lokasi ini cukup layak dikunjungi. 

Soal mistisme air terjun Bongok dan Pangeran Singonegoro,  konon ada juga sekelompok orang "waras" yang hobi mencari sensasi adrenalin ala acara reality show televisi tentang dunia lain itu. Malam-malam mereka konon datang ke tempat ini untuk menangkap kegaiban di sana. 

foto: dokpri
foto: dokpri
Saya tidak masuk golongan itu, karena lebih suka ngorok di rumah bersama istri tercinta....he he he.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun