2. Menyatakan bahwa proses persidangan perkara tidak memenuhi syarat hukum untuk memberikan Putusan Etik karena berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 bahwa alat bukti rekaman elektronik sebagai alat bukti utama dalam proses persidangan MKD adalah tidak sah.
3. Memulihkan harkat dan martabat serta nama baik Saudara Setya Novanto dan pihak-pihak lain yang terkait dalam Proses Persidangan MKD. (kompas.com, 29/9/2016).
Akrobat Politk "Papa Minta Saham"
Menyusul telah keluarnya surat keputusan MKD DPR RI yang telah merehabilitasi harkat dan martabat serta nama baik Setya Novanto bahkan pihak lain yang terkait proses persidangan MKD tahun lalu, kini muncul suara agar dia didudukkan kembali sebagai ketua DPR. Setidaknya Ridwan Bae anggor DPR dari Golkar, yang tahun lalu terlibat sebagai "Yang Mulia" di MKD, telah menyuarakan hal itu.
Alasannya, persidangan itu telah mempermalukan Setya Novanto di tingkat nasional bahkan internasional. Karena itu, menjadi wajar jika MKD mengusulan kembali Setya Novanto sebagai ketua DPR. Jika tidak, keputusan itu bersifat setengah hati  sementara Setya Novanto telanjur jadi korban.
Sesederhana itukah kelanjutan skandal "Papa Minta Saham" paska keluarnya keputusan MK yang mengabulkan sebagian gugatan Setya Novanto, yaitu bukti rekaman yang diperoleh tanpa permintaan penegak hukum tidak bisa dijadikan bukti perkara pidana? Inilah yang dikesankan dari tindakan dan keputusan para anggota dewan terhormat itu.
Memang, terkait tuntutan Setnov jadi ketua DPR lagi kini mendapat penentangan dari anggota DPR lain. Misalnya, Taufiqulhadi dari Nasdem, Dadang Rusdiana dari Hanura, juga Asrul Sani dari PPP. Asrul mengaitkan masalah ini dengan UU MD3, yaitu pergantian pimpinan harus melalui mekanisme yang ada. Karena itu, putusan MKD itu tidak otomatis mengembalikan Setnov jadi ketua DPR lagi.
Yang menarik adalah pendapat wakil ketua DPR Agus Hermanto. Dia menilai MKD tidak menganulir keputusan sebelumnya dalam sidang peninjauan kembali itu karena memang MKD tidak pernah mengeluarkan keputusan terkait Setnov. Sebabnya, Setnov terlebih dulu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua DPR.
Kalau dicermati lebih jauh, dari semua pernyataan terkait Setnov ini semuanya menilai wajar jika MKD merehabilitasi martabat dan kehormatan serta nama baik Setnov, paska keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian gugatan terkait sah tidaknya bukti rekaman yang diserahkan Sudirman Said itu. Tidak ada pendapat yang menentang keputusan MKD itu.
Ini memang agak mengherankan, bagaimana bisa keputusan hukum terkait sah tidaknya barang bukti rekaman terkait perkara pidana, bisa mengubur pelanggaran etika yang dilakukan seorang Setya Novanto. Lepas dari cara memperoleh bukti rekaman itu, isi dan subtansi pembicaraan dalam rekaman itu tak otomatis hilang hanya karena rekamn itu bukan atas permintaan penegak hukum.
Kesalahan berpikir yang fatal ini, sudah terlihat sejak skandal "Papa Minta Saham" digelar Desember tahun lalu. Ini terlihat dari pertanyaan yang mengejar legalitas bukti rekaman yang diserahkan Sudirman Said  dan bukannya isi dan substansi pembicaraan dalam rekaman itu. Saat itu sudah banyak yang mengkritik sikap MKD itu namun yang dikritik tak mau dengar kelihatannya.