Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Membaca Alarm Bahaya dari Garut

23 September 2016   18:30 Diperbarui: 24 September 2016   09:18 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin bagi politisi, bencana banjir bandang yang melanda Garut Selasa malam lalu kurang begitu menarik. Warga ibu kota juga lebih fokus perhatiannya pada Pilgub DKI setelah Ahok-Djarot resmi didaftarkan ke KPU, koalisi Cikeas menampilkan "putra mahkotanya" Agus Harimurti yang dipasangkan dengan Sylviana Murni, dan koalisi Kertanegara mengajukan nama Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Mungkin, berita bencana itu tidak terlalu menyita perhatian, meski sejak Kamis hingga Jumat hari ini sudah mulai jadi perhatian ekstra media dengan menjadikannya laporan utama. Sebelumnya, gaung bencana banjir bandang Garut relatif sunyi dibanding persidangan kasus tewasnya Mirna Salihin, yang menjadikan Jesica sahabatnya sebagai terdakwa, karena mentraktir kopi Vietnam yang diduga jadi penyebab kematian Mirna. 

Mungkin pula, berita ini bagi sebagian orang kurang menarik dibanding berita saat Presiden Jokow "minder" melihat harga domba aduan Garut yang harganya sangat mahal itu. Mengapa demikian, karena kata domba aduan yang erat dengan kata adu domba itu mungkin terdengar nyambung dengan suasana paska Pak SBY mengkritik kebijakan maritimnya.

Atau barangkali, karena bencana alam seperti banjir bandang, tanah longsor, angin puting beliung, kebakaran hutan, gempa bumi, letusan gunung api seperti jadi kejadian rutin, yang tak membuat kita tak terkaget-kaget lagi. Sepertinya, negeri kita ini memang negeri yang tak pernah sepi dari bencana sehingga masyarakatnya "dipaksa" terbiasa dan menerima kejadian itu tanpa terkaget-kaget lagi. 

Meskipun demikian, tak ada salahnya untuk membaca alarm bahaya dari bencana banjir bandang di Garut, daerah kuno tempat situs gunung Padang; kabupaten yang menempati peringkat pertama indeks rawan bencana secara nasional pada 2013 lalu. Dari 42 kecamatan yang ada di kabupaten ini, tak satu pun yang aman dari bencana meski tingkatnya bervariasi.

Ada beberapa fakta terkait bencana banjir bandang Garut ini:

Pertama, sebelum kejadian Selasa malam lalu, Garut tahun ini sudah mendapat peringatan tiga kali banjir bandang meski skalanya lebih kecil. Namun, tiga kali banjir bandang itu tak nengubah keadaan saat banjir bandang besar datang yang menewaskan 23 jiwa itu. Peringatan alam itu tak mendapatkan tanggapan dengan kesiapan dan perbaikan untuk mencegah bencana yang lebih besar.

Kedua, kerusakan dan sedimentasi di aliran Sungai Cimanuk, sudah lama diketahui. Banyak lahan berubah jadi kawasan permukiman dan wisata. Demikian juga kerusakan di hulu sungai akibat perubahan fungsi lahan dan penggundulan hutan. Kawasan hutan yang jadi daerah resapan air, banyak yang berubah jadi lahan pertanian.  Tak ada upaya serius untuk memperbaiki kerusakan itu dan mengerem laju perusakan oleh warga yang terus terjadi.

Ketiga, daerah aliran sungai yang diduduki untuk permukiman "seolah" dibiarkan dan malah ada kebijakan mengubah peta tata ruang yang menjadikan kawasan ilegal itu akhirnya menjadi legal. Ketika masalah ini terabaikan dan bertambah dari hari ke hari, tahun ke tahun, daerah aliran sungai menjadi padat oleh permukiman dan sangat sulit ditertiban. Dan saat sungai mengamuk menghempas dan menerjang daerah aliran sungai, bencana seperti banjir bandang Selasa malam itu tak bisa dielakkan.

Keempat, Pemda Garut sadar benar daerahnya sangat rawan bencana. Banjir, tanah longsor, angin puting beliung adalah kejadian yang hampir rutin terjadi. Namun, keadaan itu ternyata tak menggerakkan hati untuk menyusun tata ruang yang lebih baik, melakukan reboisasi masal yang berkesinambungan, juga menata kembali daerah aliran sungai dan upaya pencegahan longsor, erosi, dan sedimentasi di daerah aliran sungai.

Fakta itu terungkap setelah banjir bandang terbesar yang dialami Garut di era modern ini, Selasa malam lalu. Fakta itu adalah pelajaran berharga bagi Garut sendiri dan juga daerah lain, yang punya potensi bencana serupa. 

Fakta itu bisa jadi pijakan untuk melakukan perbaikan, baik menyangkut tata ruang, perlunya ketegasan hukum dan menjaga daerah aliran sungai, pentingnya reboisasi yang berkesinambungan dan ketegasan hukum terhadap masyarakat yang merusak hutan dan mengubah lahan hutan menjadi kawasan pertanian.

PELAJARAN UNTUK PILGUB JAKARTA

Mungkin terasa kurang logis menghubungkan bencana Garut dengan Pilgub DKI Jakarta. Namun, jangan protes dulu. Apa yang terjadi di alam sebenarnya bisa dipetik pelajarannya untuk kebaikan manusia atau alam itu sendiri. Tak terkecuali bencana di banjir bandang di Garut itu. Semuanya tergantung dari sisi mana pelajaran itu diambil.

Bagi daerah yang memiliki problem geografis dan sosial serupa Garut, mungkin  akan meningkatkan kewaspadaan dan melakukan upaya persiapan dan perbaikan agar bencana serupa tak terjadi di daerahnya. Terlebih lagi, iklim yang terus berubah dan menimbulkan anomali cuaca makin sering terjadi.

Bagi Jakarta yang sedang mempersiapkan pilgub-nya, pelajaran  yang bisa diambil adalah kewaspadaan agar bencana banjir bandang politik tidak terjadi selama proses pilgub berlangsung. Ini bukan kewaspadaan yang mengada-ada, karena ancaman itu nyata jika potensi konflik dan dinamika politik pilgub tidak dikelola dengan cara yang bijaksana, tegas, dan cepat.

Fakta pilgub DKI Jakarta yang menjadikan ancaman banjir bandang politik itu nyata:

Pertama, inilah lompatan sejarah Indonesia modern yang mencoba mewujudkan kebhinekaan dalam pemilihan langsung oleh rakyat, seorang pemimpin bangsa meski baru setingkat gubernur ibu kota negara, dari kalangan minoritas etnis Tionghoa. Riak-riak penerimaan dan penolakan pasti terjadi di dalamnya.

Kedua, meski sudah 71 tahun merdeka, para politisi kita ternyata sebagian masih lekat dengan politik sektariannya, yang cenderung tak menghargai hak dan kehormatan kelompok lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ungkapan, hujatan, caci maki yang terlontar selama proses pilgub ini menunjukkan potensi destruktif yang besar, karena bisa membakar dan menggerakkan emosi di akar rumput.

Ketiga, sentimen SARA secara terang-terangan telah dijadikan komoditas politik kelompok tertentu, tanpa ada ketakutan ada sanksi hukum yang menjerat mereka. Sementara itu, sikap pasif aparat dan pemerintah atas keadaan ini sungguh mengkhawatirkan. Lebih tragis lagi, mereka membungkus dagangan sentimen SARA itu atas nama demokrasi dan hak sebagai warga negara.

Keempat, peran media sosial sebagai ajang pertempuran "cyber army" masing-masing kelompok, dipenuhi dengan ungkapan kasar, caci maki. Keadaan tampaknya sulit dikontrol karena baik yang mencaci maupun yang dicaci menikmati pertunjukan itu. Sementara kelompok pengguna yang masih waras, bisa saja meninggalkan arena semacam itu. Namun, tak sedikit pula yang ikut terpengaruh dan larut di dalamnya.

Empat fakta itu (mungkin masih banyak yang lain) punya kemiripan dengan kasus banjir bandang di Garut, yaitu kita sama-sama tahu ada potensi bahaya itu. Namun mungkin kita belum beranjak untuk mencegah dan memperbaiki keadaan, agar potensi tidak berubah menjadi bencana yang mengerikan.

Pilgub DKI banyak disebut sebagai salah satu faktor penentu arah pilplres 2019. Soal ini tak perlu diperdebatkan lagi. Pertarungan di pilgub ini diprediksi tak akan kalah dengan Pilpres 2014, yang lukanya tak kunjung sembuh itu. Namun, bukan soal itu yang perlu dikhawatirkan. Yang perlu diantisipasi adalah jika momen ini jadi ajang balas dendam, menghalalkan segala cara, yang bahkan lebih buruk dibanding pilpres 2014 itu.

Walaupun baru pilgub, yang berhajat di momen ini sama saja, ada Megawati, ada Prabowo, ada Susilo Bambang Yudhoyono, ada pula Jokowi yang walaupun berposisi netral sebagai kepala negara, namun mesin politiknya pasti tak akan bersikap netral karena kepentingan Pilpres 2019 nanti.

Megawati usai mengantar dan mendampingi pasangan Cagub-Cawagub Ahok-Djarot,  mendaftar di KPUD Jakarta, Rabu (21/09/2016) lalu menyatakan harapannya agar pilgub DKI bisa berjalan demokratis, aman, dan stabil. Sebuah harapan tulus seorang negarawan untuk kebaikan dan keutamaan bangsanya. 

Saya yakin, Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo Subiantoro, dan tokoh-tokoh bangsa lain juga menginginkan hal serupa. Muskil sekali rasanya, jika mereka tidak menghendaki pilgub yang tidak demokratis, tidak aman, dan tidak stabil. Jika memang ada keinginan yang sama, tentunya tinggal mengimplementasikannya ke tingkat bawah. Pertanyaannya, 

apakah hal ini sudah dilakukannya? 

Kalau sekarang masih muncul jargon "calon yang didukung cukong" dan "calon yang didukung rakyat" tampaknya hal itu belum berjalan.   Karena itu, tanpa bermaksud patah arang atas sikap politisi yang tak juga "etis dan demokratis" itu, harapan kita taruh sepenuhnya pada pelaksana pilgub, baik KPU maupun Panwaslu, aparat keamanan baik Polri maupun TNI yang memback up-nya, maupun otoritas lain yang bersinggungan dengan persoalan ini, termasuk Kominfo, untuk bersikap tegas jika ada pelanggaran.

Akhirnya, semuanya kembali kepada kita. Pelajaran dari Garut menunjukkan potensi yang bisa menyebabkan banjir bandang sudah lama diketahui. Namun antisipasi dan respon yang tak memadai mengakibatkan terjadi bencana banjir bandang terbesar selama era Garut modern.

Di pilgub DKI Jakarta, potensi yang bisa jadi pendulum dan penyulut banjir bandang politik juga sudah diketahui. Apakah potensi itu akan dibiarkan dan direspon sekedarnya sehingga berpotensi menimbulkan ancaman petaka? Seharusnya tidak demikian dan wajib dicegah semampunya oleh semua yang terlibat dalam hajatan politik itu. Entahlah, kalau ada menghendaki sebaliknya.

Salam, damai Indonesiaku.

Bacaan pendukung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun