Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Merevisi Biang Kerok di Hulu Migas

17 September 2016   16:22 Diperbarui: 17 September 2016   16:39 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang dilakukan Kementerian ESDM saat ini dengan merevisi PP No 79 Tahun 2010 yang mengatur kewajiban membayar pajak dan aturan cost recovery, sudah pada jalur yang benar meski agak terlambat. Seharusnya hal ini sudah dilakukan tiga-empat tahun tahun lalu saat para investor di hulu migas mulai enggan masuk bisnis ini, meski saat itu harga minyak cukup tinggi.

Data Kementerian ESDM menyebutkan, sejak keluarnya PP itu, jumlah investor (kontraktor kontrak kerja sama/KKKS) di hulu migas terus berkurang. Jika pada 2013 jumlah KKKS masih 321, pada 2014 berkurang menjadi 318 KKKS, dan pada 2015 berkurang lagi jadi 312 KKKS, hingga pada Juli 2016 ini tinggal 288 KKKS.

Berkurangnya jumlah KKKS tentu akan berdampak pula pada kegiatan eksplorasi pencarian sumber minyak baru. Tanpa sumber minyak baru, cadangan migas kita makin menipis seperti yang dialami Indonesia saat ini. Ini terjadi karena PP No 79 Tahun 2010 itu dinilai jadi momok investor.

Aturan yang dinilai sangat membebani investor hulu migas menyangkut kewajiban membayar pajak dan aturan cost recovery. Berdasar PP itu, selama masa eksplorasi mencari sumber minyak, investor tetap dikenai kewajiban membayar pajak. Hal ini tentu sangat memberatkan, karena masa eksplorasi adalah masa yang sangat sulit, memerlukan biaya besar, dan belum tentu menghasilkan atau harus menghadapi resiko lubang kering.

Jika kondisi terburuk itu (lubang kering alias tak ada minyaknya) terjadi, investor yang harus menanggung semuanya. Sebagai gambaran, untuk eksplorasi satu sumur migas diperlukan biaya antara USD 10 juta hingga USD 15 juta, dengan kurs Rp 13.000 per dolar, sekitar  Rp 130 miliar hingga Rp 195 miliar. 

Di laut dalam, eksplorasi migas jauh lebih sulit, lebih beresiko, dan biaya yang harus dikeluarkan lebih besar lagi. Jika eksplorasi itu sampai mengalami lubang kering (dry hole), biaya USD 100 juta yang ditanggung investor harus hilang. Ini memang pola kerja sama yang berlaku dalam pertambangan migas di Indonesia.

foto kompas.com
foto kompas.com
Kerja sama pertambangan minyak di Indonesia antara pemerintah selaku pemilik kekayaan migas dan investor selaku pelaku industri migas, menerapkan pola bagi hasil agak mirip dengan pola petani penggarap dan pemilik tanah garapan. Dalam hal ini pemerintah tidak mengeluarkan modal, yang semuanya jadi tanggungan investor.

Selama proses eksplorasi, investor berkewajiban memenuhi semua kebutuhan yang diperlukan. Jika eksplorasi itu membuahkan hasil yang dilanjutkan fase eksploatasi atau produksi, barulah semua biaya yang telah dikeluarkan  bisa dimintakan pengganti dari hasil produksi migas. Setelah itu barulah hasil produksi dibagi antara pemerintah dan investor selaku penggarap, tentunya setelah dikurangi biaya produksi dan lainnya. Inilah skema cost recovery yang dianut.

Jika eksplorasi menghasilkan lubang kering, investor harus menanggung kerugian itu seperti petani penggarap yang gagal panen meski telah mengeluarkan biaya untuk pengolahan lahan, bibit, dan juga pupuk. Pemerintah seperti halnya pemilik lahan, masa bodoh dan tak ikut menanggung beban investor itu.

Dalam PP No 79 Tahun 2010, diatur kewajiban yang harus dipenuhi investor, di antaranya tentang pajak dan biaya-biaya yang bisa masuk dalam cost recovery. Yang jadi masalah adalah, beban berat investor saat eksplorasi seolah tidak diperhitungkan sama sekali. Istilahnya, kerja belum menghasilkan apa-apa, biaya tinggi, resiko tinggi, sudah pula dibebani dengan kewajiban membayar pajak yang beraneka. 

Dalam PP itu juga diberlakukan ketetapan setiap eksplorasi yang dilakukan baru bisa dimintakan biaya penggantinya saat sumur itu sudah berproduksi, meski berada dalam satu wilayah kerja. Pola ini biasa disebut Plan of Development (POD) Basis. Aturan ini jelas semakin membebani investor yang mengembangkan blok-nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun