Kondisi industri hulu migas saat ini memang tidak menggembirakan. Produksi migas Indonesia sepenuhnya mengandalkan hasil dari 67 wilayah kerja yang sudah memasuki fase produksi. Data SKK Migas menyebut ada 289 wilyah kerja migas di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, 204 wilayah kerja baru tahap eksplorasi, 85 wilayah kerja sudah memasuki fase eksploatasi namun baru 67 wilayah kerja yang berproduksi sementara 18 wilayah kerja lain masih dalam tahap pengembangan.
Beban yang harus ditanggung 67 wilayah kerja yang berproduksi itu cukup berat mengingat kondisi lapangan minyaknya sebagian sudah tua karena sudah berproduksi puluhan tahun. Ada gangguan produksi di salah satu wilayah kerja saja, maka produksi nasional pasti terganggu.
Lapangan Banyu Urip adalah contoh lamanya proses eksplorasi sumur minyak hingga memproduksi migas. Meski potensinya sudah diketahui sejak 2001 namun lapangan minyak itu baru bisa mencapai puncak produksi Juli 2016 dengan produksi rata-rata 180 ribu - 185 ribu barel per hari atau setara 20 persen produksi minyak nasional.
Diperkirakan, produksi puncak lapangan minyak ini mampu bertahan lima tahun ke depan meski produksinya masih mampu digenjot hingga 200 ribu barel per hari. Artinya dalam rentang waktu lima tahun itu harus ditemukan lapangan minyak baru yang mampu menyokong produksi migas nasional.
Perkiraan terburuk jika tak ada kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan migas baru, menurut Kementerian ESDM, produksi minyak Indonesia yang saat ini 820.000 barel per hari (bph), akan merosot tajam hingga tinggal 550.000 bph di 2020, 247.000 bph di 2030, 128.000 bph di 2040, dan 77.000 bph di 2050.Â
Namun, ini pesimisme yang berlebihan. Kita belum tamat soal cadangan migas. Saat ini tercatat ada beberapa lapangan migas besar yang telah ditemukan namun belum tergarap secara maksimal. Ada Lapangan Gas Tangguh di Papua Barat, Lapangan Gas Abadi Blok Masela di Maluku, Lapangan Jangkrik Blok Muara Bakau di Kalimantan, Indonesia Deepwater Development (IDD) Chevron.
Selain migas konvensional, bumi Indonesia juga mengandung cadangan migas non-konvensional yang cukup melimpah. Hanya masalahnya untuk menambangnya memang perlu teknologi tersendiri. Migas non-konvensional itu seperti shale oil, shale gas, tight sand gas, gas metana batubara (coal bed methane), dan methane-hydrate.Â
Di Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan Papua diperkirakan ada cadangan shale gas dengan sebesar 570 triliun kaki kubik. Selain itu, juga tengah dikembangkan upaya penambangan gas metana batupara (CBM) di 54 wilayah kerja.
Sukses yang diraih Amerika serikat dalam menambang shale gas dan CBM, tentu bisa ditiru Indonesia. Negeri Paman Sam itu saat ini setidaknya punya cadangan seribu triliun kaki kubik shale gas, yang cukup untuk memenuhi keperluan gas alam mereka hingga 50 tahun lebih. Diperkirakan, separuh lebih kebutuhan gas alam negeri itu akan dipenuhi oleh shale gas pada 2035 nanti.
MEREVISI BIANG KEROK DI HULU MIGAS