Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjual SARA di Tengah Kebhinekaan

6 September 2016   01:55 Diperbarui: 6 September 2016   02:18 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia yang memiliki 1.340 suku bangsa, 748 bahasa, enam agama dan banyak kepercayaan, memiliki lebih dari 13.487 (sampai 17.504) pulau,  bisa diibaratkan untaian mutu manikam kebhinekaan, lukisan elok  keindahan dalam keberagaman, rajutan  perbedaan dalam bingkai ke-Indonesiaan yang kaya warna, rasa, nilai, kebijakan, dan kebajikan.

Masih banyak kalimat elok nan indah untuk menggambarkan Indonesia kita. Kebhinekaan sebagai berkah yang menjadikan Indonesia yang besar, beradab, berbudaya, toleran, adil, dan sejahtera lahir batin. Permata di Katulistiwa kata para pujangga.

Itulah gambaran indonesia yang kita yakini, meski sampai kini  terus diperjuangkan untuk mencapai kondisi ideal itu. Namun, setidaknya kesadaran akan kebhinekaan itu telah ditanamkan sejak dini dalam diri. Tak hanya lewat hafalan dasar negara Pancasila, Bhineka Tunggal Ika. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kita juga dibuat sadar bahwa kita bukanlah satu golongan saja, satu agama saja, satu suku saja, satu bahasa saja, satu adat istiadat saja, dan seterusnya.

Sebagai manusia, kita juga telah diberi pengetahuan: tak ada manusia yang sama meski itu kembar siam sekalipun. Masing-masing punya cetak biru sendiri, sidik jari, retina, untaian gen dan DNA sendiri. Itu semua ayat-ayat Tuhan. Namun dalam ketidaksamaan itu, kita dikaruniai kemampuan menyatu dalam harmoni keluarga, masyarakat, suku-suku, dan bangsa.

Itulah fitrah manusia. Tak hanya manusia kota, yang masyarakatnya lebih majemuk dan heterogen yang terlatih bersatu dalam perbedaan. Di perdesaan pun, sejak kecil sahabat kita bisa saja berbeda-beda, tetangga kita berbeda-beda, mungkin saja agama dan kepercayaannya juga berbeda-beda.

Tingkat perbedaan di satu kelompok masyarakat memang tidaklah sama. Namun sudah sangat jarang ditemukan kelompok masyarakat yang homogen, baik suku, bahasa, agama, kepercayaan, maupun adat istiadatnya.

Kalaupun ada masyarakat yang homogen, bisa jadi itu kelompok masyarakat spesial misalnya suku terasing, terpencil, atau kelompok eksklusif yang sengaja mempertahankan identitasnya tanpa mau terpengaruh pihak luar. Di luar itu, setidaknya selalu ada satu dua pendatang yang bisa berbeda suku, agama, bahasa, atau istiadatnya, misalnya dari kalangan pegawai pemerintah, TNI, Polri, atau pedagang.

Itulah Indonesia, beragam, berbhineka, namun menyatu dalam ke-Indonesiaan. Kita menyadari ada perbedaan, kita menyadari ada kebersamaan. Manusia Indonesia yang lahir dan dibesarkan baik di kota maupun di desa bisa merasakan atmosfer ini. Dari masa anak-anak kita sudah bisa merasakan itu, saat bermain bola, mandi di sungai, main kelereng, main layangan, bersepeda keliling kampung, kita tak pernah bertanya kepada sahabat kita, “He kenapa kamu jadi anak China, anak Madura, anak Jawa, anak Sunda, anak Arab, anak Flores, anak Papua, dst”.

Kita tak pernah menanyakan itu karena anak-anak tak perlu itu. Mereka perlu sahabat tak peduli apakah sahabatnya tidak sama dengan dia. Anak-anak adalah dunia kepolosan yang memandang hidup apa adanya, saat belajar tentang keberagaman, persahabatan, dan persaudaraan.

Pandangan hidup anak-anak bisa saja berubah ketika menginjak dewasa, karena pengaruh ajaran baru, pemahaman ke-Indonesiaan yang baru. Namun, jika tak ada penyimpangan, pemahaman dan penerimaan keberagaman Indonesia seharusnya tidak berubah.

Suku, agama, ras, adat istiadat bisa berbeda-beda Namun, karena perbedaan itu adalah fitrah bangsa Indonesia, ia telah jadi bagian dari jati diri ke-Indonesiaan kita. SARA itu bukan sesuatu yang asing namun telah menyatu dalam hidup keseharian. Adalah aneh, jika hal itu kemudian dipermasalahkan bahkan dipakai alat untuk merusak ke-Indonesiaan kita seolah itu barang baru yang belum pernah kita lihat, kita alami, kita terima dalam kehidupan.

Setiap manusia Indonesia yang lahir dan dibesarkan di Bumi Pertiwi ini, tidak bisa tidak pasti telah mengalami dan menikmati kebhinekaan itu. Karena, lndonesia sejak awalnya tidak pernah jadi bangsa yang homogen.

Kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada di Indonesia, selalu memberi tempat bagi keberagaman. Lihat saja Majapahit misalnya, rajanya Jawa, agamanya Hindu, penasihatnya ada yang dari luar negeri, termasuk keturunan Arab beragama Islam. Rakyatnya lebih beragam lagi, baik suku maupun agamanya.

Dengan dasar itu, bisa diterima pendapat yang menyatakan orang-orang yang memaksakan pandangan hidupnya, kepercayaan, sukunya, kelompoknya, perlu dipertanyakan ke-Indonesiaannya. Orang-orang semacam itu lebih pantas tinggal di satu tempat tersendiri, dengan aturan sendiri, dengan hukum sendiri.

Entah apa ada tempat semacam itu. Yang jelas Indonesia bukanlah tempat semacam itu. Dan, hampir di seluruh permukaan bumi, Tuhan menciptakan mahluq yang berbeda-beda yang menyatu dalam harmoni keberagaman. Kita mengenal itu sebagi ayat-ayat Tuhan, yang harus kita renungkan.

Mengapa demikian? Karena Tuhan memang berkehendak demikian supaya manusia saling mengenal, membangun kebaikan dalam harmoni. Bukan sebaliknya, berbuat kerusakan, mengobarkan perbedaan dan perpecahan, kebencian. Terlebih lagi jika semua itu dilakukan dengan mengatasnamakan Tuhan.

Untaian mutu manikam keberagaman suku, agama, ras, adat istiadat dan budaya di Indonesia memang anugerah tiada terkira dari Tuhan untuk kita, bangsa Indonesia. Namun, jika untaian itu dipaksa diceraiberaikan, bukan lagi keelokan yang tampak. Kekacauan, kerusuhan, yang menuntun pada kehancuran Indonesia.

Karena itulah para Founding Father, Bapak Bangsa kita, telah menggali dasar negara sebagai perekat keberagaman itu, dalam bingkai bangsa dan negara Indonesia. Kita mengenalnya sebagai Pancasila. Dia bukan agama, tapi nilai yang terkandung dalam lima silanya adalah perwujudan intisari agama itu sendiri.

Jika saat ini ada yang jualan SARA untuk memecah untaian mutu manikam kebhinekaan kita, jelas dia tidak mengenal jati diri bangsa Indonesia. Golongan semacam ini sangat tidak pantas mengaku sebagai bangsa Indonesia. Mungkin mereka telah kesasar saat tinggal dan hidup di Indonesia. Biar hukum yang mengurusnya.

Salam

*) Tulisan ini sebagai pengingat bagi mereka yang memuja kebencian ras dan agama: Indonesia bukan tempatmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun