Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mau Haji, Ditangkap Karena Korupsi

5 September 2016   08:48 Diperbarui: 5 September 2016   09:01 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh karena sifatnya itu, diakui atau tidak memang sulit memberantas tindak pidana korupsi,  terlebih jika sudah jadi kebiasaan atau membudaya. Lebih parahnya lagi, jika sifat malu sebagai salah satu pengendali perilaku kita telah tanggal. Misalnya saja ditangkap, ditahan, disidang, dipenjara karena korupsi masih bisa tersenyum lebar. Entahlah kalau itu bagian dari servis mereka sebagai aktor dan artis korupsi.

Tidaklah salah jika ada yang menilai pelaku korupsi itu telah putus “urat malunya” dan “urat takutnya”.  Meski kampanye antikorupsi gencar dilakukan, caci maki dan cemooh masyarakat diutarakan untuk mengutuk tindakan ini, pelaku korupsi tetap saja berjalan pada “relnya”. Ucapan koruptor Sutan Bathoegana yang menyebut korupsi sebagai tindakan “ngeri-ngeri sedap” mungkin sedikit bisa menggambarkan bagaimana pesona korupsi itu.

MASIHKAH REMISI KORUPTOR TETAP DIPERMUDAH?

Berangkat dari kasus Bupati Banyuasin Yan Anto Ferdian yang kini masih menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, ada pertanyaan yang patut diajukan ke Kantor Kementerian Hukum dan HAM. Masihkan lembaga itu ngotot untuk memperlunak persyaratan koruptor untuk mendapat remisi? Masihkah Kemenkum HAM bersikukuh dengan niat menghapus syarat menjadi justic collaborator sebagai syarat mendapat remisi bagi koruptor?

Seharusnya, Kemenkumham sadar bahwa untuk mengerem tindak kejahatan korupsi baik di kalangan pejabat negara atau swasta, masih diperlukan tindak penjeraan. Efek jera dari setiap aktivitas penindakan dan penghukuman terhadap pelaku korupsi hingga saat ini belum efektif. Belum ada koruptor yang dihukum mati, banyak koruptor yang masih kaya raya, banyak koruptor yang hanya menjalani hukuman beberapa tahun saja (bahkan ditengarai makin ringan saja vonis yang dijatuhkan).

Dua kejadian korupsi, ditetapkannta Gubernur Sultra Nur Alam sebagai tersangka korupsi oleh KPK dua minggu lalu, dan ditangkapnya Bupati Banyuasin Yan Anto Ferdian Minggu siang (4/9/2016) kemarin menunjukkan efek jera penindakan korupsi belum efektif berjalan.  Bisa dibayangkan jika remisi koruptor dipermudah dengan mencabut syarat menjadi justic collaborator.

Dengan semakin mudahnya koruptor diremisi, otomatis masa hukuman tang mereka jalani akan semakin singkat dan cepat bebas menghirup kebebasan di luar penjara. Problem penjara over kapasitas sebagaimana disebut sebagai salah satu alasan, sedikit terbantu.  Sedikit karena jumlah napi koruptor memang kurang dari 2 persen dari total jumlah napi yang ada. Jadi, alasan over kapasitas terlalu mengada-ada jika dibandingkan sifat korupdi sebagai kehahatan luar biasa.

Dengan semakin mudahnya koruptor diremisi, hampir dipastikan efek jera penindakan dan penghukuman korupsi bisa jadi nol. Dengan kalkulasi bisnis: korupsi sekian T ata M dibagi masa tahanan, dikurangi pendapatan di luar korupsi, dikurangi sogok sana sogok sini, masih untung sekian T atau M. Itu cukup bekal hidup untuk diri sendiri, keluarga, dan anak cucu, juga partai politik atau ormas jika punya. Itu pun kalau ketahuan dan dipenjara. Kalau selamat, keuntungan bisa berlipat.

Kalau sudah begitu jangan lagi berharap tindakan korupsi akan berkurang. Bertambah dan berlipat jumlahnya justru sangat mungkin karena tak adanya efek jera terhadap mereka.

Karena itu, yang diperlukan saat ini justru meningkatkan efek jera baik dengan membuat vonis hakim lebih berat untuk mereka  atau menghilangkan peluang pelayanan ekstra saat di penjara. Salah satunya tetap memperketat syarat remisi untuk mereka. Tindakan ini diperlukan karena sifat kejahatan korupsi tang luar biasa yang menjadikan para pelakunya menjadi manusia istimewa dengan perlakuan yang “istimewa” pula.

Akhirnya, setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, sebaiknya Bupati Banyuasin Yan Anto Ferdian segera pula diproses pemberhentiannya Kemendagri, sebagaimana bupati Subang Ojang Suhandi dan bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Noviandi yang juga di-ITT KPK dan di-OTT BNN beberapa bukan lalu. Dengan alasan yang sama, tak salah juga jika Mendagri segera memproses pemecatan Gubernur Sultra Nur Alam oleh presiden, yang kini sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK walau tidak lewat OTT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun