Pagi-pagi, ada orang marah-marah di televisi karena para tersangka korupsi atau mantan napi boleh ikut pilkada dengan alasan hak asasi manusia. Saya ikut marah-marah karena koruptor kok selalu jadi manusia istimewa sehingga pagi-pagi sudah dibicarakan dan membuat orang marah-marah.Â
Ya, koruptor memang selalu jadi manusia istimewa, di pemberitaan, di penyidikan, di pengadilan, di lembaga pemasyarakatan, di pemerintahan, di bisnis, di masyarakat. Entah apakah mereka juga akan tetap istimewa di kuburan, misalnya ada prasasti kecil di samping makam sang koruptor bertuliskan "di sini dimakamkan koruptor pahlawan bangsa".
Sebelum ribut karena diperbolehkan ikut pilkada, korp koruptor ini juga berhasil menarik perhatian saat Kemenkumham berusaha merevisi PP No 99 Tahun 2012 tentang ketentuan remisi bagi koruptor. Kalau sebelumnya ada syarat remisi bisa diberikan kalau mereka jadi justic colllaborator, sekarang tak perlu lagi karena itu diskriminatif dan lapas over kapasitas. (Korslet )
Hal tentu saja memancing kehebohan dan penolakan, termasuk dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang lantas berkirim surat ke Presiden Jokowi agar revisi itu tak dilanjutkan. Presiden sendiri sempat mengutarakan rancangan revisi itu belum sampai ke kantornya. Untuk sementara kehebohan mereda, namun hingga kini belum ada kabar Kemenkumham menarik rencana itu.
Niat Kemenkumham meniadakan syarat jadi justic collaborator itu menggambarkan bagaimana istimewanya koruptor itu. Bahkan sifat kejahatan luar biasa yang melekat pada tindak korupsi pun seolah dihilangkan dengan menyamakan mereka dengan napi lain, misal maling bebek, maling ayam, maling tiga biji kakao, dan sejenisnya. Penyamaan ini didasari alasan dalam hukum tak ada diskriminasi termasuk hak memperoleh remisi.
Alasan senada hendak diterapkan pada upaya diperbolehkannya tersangka korupsi dan mantan napi korupsi ikut pilkada. Mungkin, para hakim bisa memberi sumbangan pada masalah ini dengan mencabut hak politik para koruptor pada setiap kasus  korupsi yang mereka sidangkan. Apa mungkin? Mungkin saja kalau mau. Pengkategorian korupsi politik yang diterapkan hakim Artidjo Alkostar adalah sebuah contoh.
Bagaimanapun korupsi yang menggerogoti negeri ini adalah kejahatan luar biasa yang merusak sendi kehidupan berbangsa dan bernegara baik secara ekonomi, politik, dan budaya masyarakat. Harus ada kesamaan pandang dan persepsi dalam masalah ini, sehingga semangat pemberantasan korupsi menemukan wujud gerakan bersama lintas sektoral, lintas kepentingan, tidak saling menjegal dan unjuk kekuatan.
Tetapi, yang muncul dan terungkap ternyata tidaklah demikian. Seolah-olah gerakan pemberantasan korupsi hanya menjadi tugas KPK, yang didukung Polri dan Kejaksaan. Sementara Kemenkumham, Kemendagri, atau lembaga lain kurang aktif dan mungkin saja malah mengeluaran kebijakan yang bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.
Masih dalam semangat pemberantasan korupsi inilah judul tulisan ini diajukan. Kapan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam yang kini menyandang status tersangka korupsi kasus pemberian izin tambang nikel di dia kabuoaten di Sultra periode 2009-2014 itu diberhentikan atau dipecat presiden? Jawabannya memang sudah diutarakan Mendagri Tjahjo Kumolo beberapa hari lalu, bahwa dia belum bisa memproses pemberhentian Nur Alam karena status tersangka yang disandangnya. Alasannya, Nur Alam tidak di-OTT oleh KPK.
Jadi dalam penilaian mendagri, penetapan status tersangka oleh KPK itu derajat kesahihannya berbeda antara terkena OTT dan berdasarkan pelaporan PPATK dan hasil operasi intelejen untuk memperoleh bukti kejahatan korupsi. Kasarnya, mendagri masih meragukan hasil kerja KPK dalam menetapkan status tersangka seorang koruptor di luar hasil OTT.
Dalam kasus korupsi pejabat yang tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) mendagri memang telah mengeluarkan kebijakan untuk memberhentikan sang pejabat secepatnya tanpa menunggu statusnya berubah menjadi terdakwa. Ini misalnya dalam kasus bupati Subang Ojang Suhandi yang terkena OTT KPK dalam kasus suap anggaran BPJS yang antara lain menyeret jaksa Kejati Jabar Deviyanti. Hal yama juga dilakukan pada bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Noviadi yang ditangkap BNN dalam kasus narkoba.