Saat mendaftar sebagai kompasianer 9 Maret 2016 lalu, terus terang saya menilai Kompasiana sekedar saluran paling bagus untuk "kebiasaan" menulis saya yang tak bisa padam. Nama kompasiana sudah masuk memori sejak lama, dan saya tak pernah meragukan eksistensinya. Ini mungkin karena banyak nama-nama beken menulis di media blog keroyokan yang diwakafkan Kompas ini.
Namun, setelah beberapa waktu dengan kegiatan menulis dan membaca, saya menemukan sesuatu yang lain. Tak sekedar blog keroyokan, ternyata Kompasiana adalah kampung besar tempat banyak hal saya temukan. Di sini ada sekolah atau universitas terbuka bagi yang giat belajar dan menambah ilmu. Banyak orang bergelar yang menjadi warga Kompasiana, dari profesor, doktor, hingga anak sekolah.
Di sini ada "planet kesasar" yang bernama Kenthir tempat penyuka dan pemraktek pola pikir kenthir ala stand up comedy. Jangan kaget ada makhluk model ginian di Kompasiana. Ini benar-benar kampung besar yang komplet. Jika ingin rehat sejenak, planet Kenthir memang bisa jadi pilihan.
Di kompasiana ada pula "ring tinju" bagi penyuka tinju pikiran dengan berbagai aliran. Mau gaya frontal, atau gaya ilmiah super. Ring ini begitu menariknya, sehingga terkadang lahir forum diskusi keroyokan yang begitu bergembira ria ala Kompasiana. Begitu bergembira rianya, admin sebagai wasit sering pula mengeluarkan sempritannya.
Ya, Kompasiana memang kampung besar, kampung warga dunia dengan ke-Indonesiaan yang beraneka.
Lihat saja, ada Opa Tjiptadinata dari Australia, yang selalu setia menulis. Banyak pelajaran hidup yang bisa saya serap dari tulusan-tulisannya. Ada kompasianer dari Amerika Us-i-Saba yang menulis kisah sederhana seperti kehidupan sopir truk, atau Sasya Mama dari Korsel tentang kehidupan sehari-hari warga Korea, tentang bunga sakura, ayam goreng, dan lainnya. Ada pula mbak Tami (Seneng Utami?) dari Hongkong, Gordi dari Italia, ibu Gaganawati dari Jerman.
Nama-nama lain yang cukup populer gara-gara Ahok atau kekenthirannya ternyata juga dari negeri padang pasir nan hot. Sayeed Kalba Alif misalnya, yang sering mendapat nama kebesaran Empok Sayeed  atau Arke yang tulisannya ngeres abis itu ternyata berada negeri seribu onta.
Jadi Kompasiana memang kampung warga dunia dengan ke-Indonesiaan yang beraneka. Sebagai kampung besar, para penghuni Kompasiana memang sangat beragam, tak hanya tempat tinggal yang mendunia, profesi, pendidikan, jabatan, dan gayanya juga tak ada yang sama. Semua punya cap jempol, kornea mata, dan lembaran rambut sendiri. Beraneka.
Di kampung besar itulah kita berkompasiana dengan membaca artikel, menanggapi dengan menulis komentar, dan menggunggah artikel. Soal manfaat berkompasiana, banyak sekali macamnya. Sebagai terapi diri, berkompasiana sudah diakui; sebagai saluran profesi juga sudah jelas. Dan, dari berbagai manfaat itu, berkompasiana mampu memacu seseorang untuk belajar cerdas, baik secara kognitif maupun emosional.
Belajar cerdas secara kognitif dalam pengertian kita bisa menyerap bermacam informasi, dari berbagai macam artikel yang ada. Belajar cerdas secara kognitif dalam arti belajar memilah informasi, termasuk menelaah latar belakang tulisan muncul, serta berbagai motivasi yang melatarbelakanginya.
Di kompasiana tak ada guru pembimbing, kitalah yang harus merangkap sebagai murid, guru, dan sekaligus guru pembimbing dalam proses belajar menjadi cerdas ini. Nara sumber dalam hal ini artikel kompasianer harus ditelaah secara kritis sebelum kita endapkan dalam memori pengetahuan di otak kita.
Di Kompasiana kita juga belajar cerdas secara emosional. Menanggapi bermacam artikel yang begitu banyak di Kompasiana, jelas akan memancing emosi kita, terkecuali jika kita memperlakukan diri sebagai mesin penyerap informasi. Hubungan timbal balil ini bisa menjadi ajang belajar cerdas secara emosional. Misalnya saja, terkait Pilgub DKI yang super heboh itu. Anda boleh saja ikut heboh, namun ingat saat makan, bercengkerama dengan anak istri, kehebohan itu harus disingkirkan.Â
Demikian pula dalam menjalin tali silaturahmi, dengan mengunjungi lapak kompasianer, kita bisa belajar menangkap selera humor, gaya debat, model-model penggiringan isu. Misalnya saja, saat kompasianer populer Pebrianov lupa dengan celananya, anda tak perlu ikut tersipu malu. Cukup periksa, apakah saat berkompasiana, celana masih melekat di tubuh atau mungkin memeriksa, apakah sarung anda tidak ikut melorot. Check and balance.
Belajar cerdas secara Emosional ini menjadi penting, karena membuat kita semakin sadar betapa beragamnya manusia dan pemikirannya. Ini pada akhirnya akan menuntun kita untuk tidak menjadi pemuja diri, berpikiran lebih terbuka, dan lebih toleran. Contohnya, bisa saja dalam Pilgub ada "perseteruan" sengit antara kubu Ahok dan penentangnya. Namun, karena cerdas secara emosional bisa saja saat Kompasianival Oktober nanti, mereka datang bersama, bertukar cindera mata, makan gado-gado bersama, dan seterusnya.
Akhirnya, saya bersyukur menjadi warga Kampung Kompasiana dan saya berterima kasih admin sudah memverifikasi akun saya menjadi hijau. Tulisan ini sebagai bukti rasa terima kasih saya.
Salam kompasiana, damai selalu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H