Rasa cinta dan ke- Indonesia-an jelas tidak bisa dibatasi atas dasar lembaran kertas bernama paspor. Kalau mereka terpanggil dan dipanggil pulang untuk membangun tanah tumpah darahnya, tanah tumpah darah bapak-ibunya, jelas mereka adalah pengabdi bangsa dan negara Indonesia, bukan antek asing.
Karena itulah munculnya kata antek asing dalam kasus Archandra atau Pilkada DKI Jakarta mungkin bisa jadi bahan instropeksi, tentang cara kita menilai ke-Indonesiaan kita. Bukan paspor atau KTP yang menentukan apakah kita ini masuk golongan pengabdi bangsa dan negara, atau antek asing. Apa yang bisa dan diperbuat bagi bangsa ini adalah ukurannya.
Mungkin sudah waktunya kita mengubah pola pikir kita tentang masalah, sesuai perkembangan dunia baru yang berebut talenta super warga dunia, untuk membangun negeri masing-masing. Orang menyebut hal itu sebagai Talent War. Sudah banyak negara yang berebut talenta super ini dengan memberikan kewarganegaraan, bantuan finansial dan kemudahan lain agar para talenta super ini bisa jadi pemicu kemajuan dan kebesaran negara.
Indonesia dikaruniai banyak talenta super yang kini bertebaran di seluruh dunia, yang kita kenal sebagai diaspora Indonesia. Ratusan dari mereka benar-benar super dan banyak negara yang ingin menggaetnya. Apakah kita akan membiarkan mereka lepas begitu saja, karena sikap puritan kita dalam memaknai nasionalisme dan ke-Indonesia-an kita. Kita membiarkan aturan hukum melahap mereka, memutus rasa cinta dan pengabdian mereka?
Itulah yang terjadi saat ini. Kepentingan politik domestik, ekonomi kartel dan mafia, menggiring opini massa untuk dengan mudah mengatakan "antek asing". Sementara negara dan para bijak tampak tergagap-gagap dan gamang menghadapi persaingan dunia baru ini.
Salam damai. Dirgahayu Indonesiaku. Merdeka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H