Kata 'antek asing' menjadi menarik dibicarakan ketika Prabowo di depan pendukungnya menyebut kata itu, untuk menggolongkan orang atau pihak yang tak mendukung Sandiaga Uno. Kata ini juga muncul saat kasus kewarganegaraan Archandra Tahar diungkap ke permukaan.
Saya sendiri tidak tahu persis makna kata 'antek asing' yang diucapkan Prabowo saat menyebut "Yang tidak dukung Sandiaga Uno itu antek asing, saudara-saudara". Yang lantas dijawab Jhoni G Plate dari Nasdem, "Kami tidak dukung Sandiaga tapi kami bukan antek asing. Kami nasionalis sejati sama dengan semangat Pak Prabowo".
Yang tertangkap dari penggunaan kata 'antek asing' itu adalah begitu mudahnya kita menggolongkan seseorang sebagai antek asing. Tentunya dalam konteks Archandra Tahar, makna antek asing adalah makna kaki tangan negara asing. Sebuah cap yang mengesampingkan makna nasionalisme seseorang hanya karena pengertian sempit tentang makna tumpah darah dan kepentingan nasional.
Jadi siapa sebenarnya antek asing itu? Antek asing adalah orang yang tak punya rasa nasionalisme ke-Indonesia-an. Karena tak ada rasa nasionalisme ke-Indinesia-an dia menghambakan diri bagi kepentingan negara luar, menjual negerinya untuk kekayaan pribadi dan negara asing.
Banyak contoh konkretnya; para mafia di banyak sektor ekomomi bisa masuk golongan ini. Yang mematikan industri dalam negeri untuk menjamin kelangsungan penguasaan industri asing, bisa disebut antek asing pula. Ketika seseorang menjalin kerja sama mutualisme dengan negara asing dengan mengorbankan kepentingan negerinya, dia juga antek asing.
Sebaliknya seseorang yang ingin berbakti pada negerinya, mencurahkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan bagi negerinya, ke-Indonesia-annya, tentu bukanlah antek asing. Sebaliknya seseorang yang sengaja "mengebom" lewat sosial media, untuk menggoyang pemerintahan negaranya demi negara lain, ia bisa disebut antek asing. Ada kepentingan nasional dan negara, yang jelas bisa membedakan antek asing dengan pengabdi bangsa dan negara.
Meskipun dia memegang paspor Indonesia, KTP Indonesia, menduduki jabatan terhormat di masyarakat atau pemerintahan, jika sepak terjangnya justru menggerogoti dan menjual negaranya ke pihak luar, dia adalah antek asing. Sebaliknya, meski tidak memiliki paspor kewarganegaraan, KTP indonesia, namun dia mengabdikan segenap jiwanya, kemampuannya, pengetahuannya, keterampilannya, untuk Indonesia jelas dia bukan antek asing.
Ketut Tantri atau Muriel Stuart Walker, Mochamad Idjon Djanbi atau Rokus Bernardus Visser, Haji Johannes Cornelis Princen, tiga nama ini adalah warga asing tapi sangat cinta kepada Indonesia. Ketut Tantri dikenal karena pidato radionya dalam bahasa Inggris, bersama Bung Tomo menggelorakan perjuangan Indonesia, ia juga membuatkan pidato Bung Karno dalam Bahasa Inggris. Meski ia akhirnya memilih tinggal Australia, Indonesia tak akan pernah melupkan jasa dan pengorbanannya.
Mochamad Idjon Djanbi salah satu Bapak Kopassus adalah warga Kanada, masuk KNIL dan jatuh cinta dengan Indonesia. Kecintaannya membuatnya memilih Indonesia dan meninggalkan istri dan anaknya. Meski ada kisah "kekurang-ramahan" beberapa pejabat militer terhadapnya, dia memilih Indonesia sampai akhir hayatnya.Â
HJC Princen juga berasal dari asing, Belanda. Namun kecintaannya kepada Indonesia tidak diragukan lagi. Dia berjuang secara fisik saat awal kemerdekaan Indonesia, berjuang di dunia politik meski harus keluar masuk penjara. Dia ikut berjuang dalam menegakkan hak-hak asasi manusia, dan ikut membentuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Mereka bertiga adalah contoh orang asing namun bukan antek asing, mereka mengabdikan sebagian hidupnya bagi Indonesia karena kecintaannya bagi negeri ini. Saat ini banyak putra-putri kita yang menjadi asing karena tuntutan kerja, dengan memegang paspor asing. Apakah mereka serta merta menjadi antek asing dan menanggalkan ke-Indonesiaannya?Â