Tiba-tiba, saya teringat berita lelaki yang mati dikeroyok ramai-ramai oleh warga gara-gara mencuri bebek, ada yang luka parah, ada pula yang tewas di Bekasi beberapa tahun lalu. Ada juga tiga anak di Bayumas yang divonis 2,5 bulan gara-gara menangkap bebek tetangga dan menjadikannya sebagai bebek bakar yang mereka makan ramai-ramai di tepi sungai. Dari semua kejadian itu, bebek yang dicuri hanya tiga ekor, tapi hukumannya sungguh "mengerikan".
Ingatannya saya soal maling bebek itu bukan tanpa sebab, tapi dipicu pemberitaan tentang rencana mempermudah pemberian remisi kepada para koruptur. Rencana itu dan ingatan tentang para pencuri bebek itu membuat saya tiba-tiba saja menjadi sangat bijaksana. Karenanya, rencana itu memang harus didukung demi kelangsungan hidup koruptor di Indonesia, sehingga tidak ada diskriminasi antara pencuri bebek dan koruptor.
Diskriminasi ini salah satu alasan mengapa remisi bagi koruptur itu harus dipermudah. Selama ini remisi bagi mereka dipersulit karena status mereka sebagai koruptor. Padahal sebagai warga negara mereka berhak mendapat perlakuan yang sama di mata hukum. Kejadian yang dialami para pencuri bebek itu jelas menunjukkan bagaimana masyarakat harus lebih berperikemanusiaan, dan menjunjung tinggi hukum. Dengan dasar menjunjung tinggi hukum dan kemanusiaan itulah para koruptor seharusnya juga mendapat remisi sebagaimana napi lain, termasuk pencuri bebek.
Sebagai bangsa yang berperikemanusiaan, mari kita memanusiakan para napi, khususnya para koruptor. Mengapa kita memanusiakan mereka, karena mereka memang manusia dan kita juga berperikemanusiaan yang dijiwai semangat kemanusiaan yang adil dan beradab. Kasus maling bebek itu menunjukkan hilangnya rasa kemanusiaan kita, empati kita, dan ini jangan terulang kepada para koruptor yang strata dan derajatnya jelas lebih tinggi dari maling bebek.
Koruptor selama ini diperlakukan tidak adil karena mendapat keistimewaan sebagai golongan teraniaya karena dipersulit syarat memperoleh remisinya. Mereka baru bisa mendapat remisi kalau bisa menjadi justic collaborator. Ini jelas tidak adil, karena maling bebek, maling ayam, maling tiga biji kakao, atau ranting kayu bakar saja bisa dapat remisi tanpa perlu status justic collaborator. Padahal mereka kan kelas rendahan, maling kelas teri, bahkan maling tak niat.
Oleh karena itu  para koruptor yang jelas-jelas kastanya lebih tinggi, benar-benar maling bersertifikat, dan jelas lebih ahli dalam dunia permalingan kok malah direndahkan, diperkecualikan. Soal uang pun, para koruptor juga tidak pelit kok asal diperlakukan sama untuk dapat remisi. Jadi, kurang apa lagi.
Sebagai bangsa yang berperikemanusian, tindakan mendiskriminasi para koruptor itu jelas kurang bisa diterima. Alasannya sederhana, kita bukan penganut paham diskriminasi, dengan membandingkan mereka dengan maling bebek, maling ayam, jemuran, tiga biji kakao, atau kayu bakar. Salah sendiri kenapa mereka tidak menjadi maling besar, canggih, dan berwibawa seperti para koruptor.
Jadi mestinya, jadilah pejabat, pengusaha, pengacara, dan profesi bergengsi lain, korupsilah dan hiduplah dengan kaya raya. Hukum itu kan tidak membeda-bedakan. Jadi kalau jadi maling ya jadi maling yang niat, seperti para koruptor itu. Jangan hanya karena maling tak niat malah minta dikasihani. Para koruptor tak minta dikasihanj jadi sebagai penghargaan kita harus lebih memanusiakan mereka, dengan mempermudah pemberian remisi kepada mereka.
Pendapat saya ini bukannya tanpa alasan. Sebelumnya, kata KPK hampir tiap minggu sudah ada surat ke KPK agar koruptor A, B, C, D atau apalah, diberi remisi. Kalau syaratnya harus jadi justic collaborator, ya dianggap saja mereka sudah memenuhi syarat itu. Tapi KPK tetap menolak permintaan surat itu. Alasannya tetap, koruptor itu napi istimewa dengan status istimewa karena kejahatannya masuk  kategori ekstra ordinary crime, kejahatan yang luar biasa.
Pendapat saya ini juga tanpa sebab, pemerintah lewat Kemenkumham sudah pernah berusaha merevisi PP 99 Tahun 2012 tentang ketentuan remisi bagi koruptor tapi belum berhasil. Nah, sekarang bukan merevisi tapi membuat RPP Tentang Warga Binaan yang isinya sama, yaitu mempermudah pemberian remisi bagi koruptor. Tapi KPK lagi-lagi bersuara keras menolaknya.
Ini jelas tidak bagus. Hubungan antarlembaga kan seharusnya harmonis, tidak saling ngotot. Seharusnya salah satu harus mengalah demi harmonisasi tadi, tidak baik saling silang pendapat, bisa bikin gaduh yang kurang baik bagi iklim investasi. Hukum itu produk manusia, yang membawa kepentingan pembuatnya. Nah negara sekarang berkepentingan mengurangi jumlah koruptor di penjara, jadi harus dibuat aturan hukumnya. Jadi KPK harus menyadari ini. Jangan khawatir, ini tak akan mengganggu eskistensi mereka sebagai pemburu koruptor karena korupsi itu akan selalu ada sebagai tradisi di negeri ini.