Ini memang aneh. Ada yang bilang Presiden Jokowi itu tak suka menterinya buat gaduh. Tak suka gaduh konon merupakan salah satu alasan reshuffle jilid II. Itu konon, karena tak ada pernyataan resmi soal gaduh ini. Nah, baru dua minggu reshuffle, sudah ada menteri baru yang buat gaduh dengan ide full day school. Entah ini masuk dalam kategori yang disukai Presiden Jokowi atau tidak.
Paling tidak kegaduhan FDS itu telah memunculkan dua sisi positif dan negatif. Positif karena nama Muhadjir Effendi yang tak begitu dikenal jadi dapat perhatian dan pembicaraan. Negatifnya, banyak yang menilai gagasan Bapak Menteri Muhadjir itu seperti gagasan orang yang tak mengenal kondisi nyata pendidikan di Indonesia. Jangan heran kalau kemudian muncul penggalangan mosi tak percaya pada  Muhadjir Effendi.
Baiklah, sebagai orang Timur saya awali tulisan ini dengan kata maaf. Sebabnya sederhana, saya ingin mengajukan pertanyaan sederhana: apakah Bapak Menteri yang menggagas full day school (FDS) itu mengalami masa kecil kurang gembira (MKKG) karena harus selalu menjadikan sekolah sebagai rumah kedua? Lho.
Ya, pertanyaan itu wajar saya utarakan karena menjadi anak seusia SD dan SMP adalah masa paling merdeka dan menggembirakan (ini secara umum, secara khusus ada juga yang tidak seberuntung itu karena terpaksa jadi pengamen, pengemis dan lainnya). Anak bebas bermain layangan, sepak bola, mandi-mandi di sungai, cari ikan, panjat pohon, bantu emak di sawah dan ladang usai sekolah, latihan silat, menari, musik kotekan, dan lainnya.
Semua aktivitas itu dilakukan usai sekolah dengan riang gembira, bersama teman dan handai taulan semua. Aktivitas ini hingga kini masih dijalani dan dinikmati sebagaian besar anak Indonesia. Film si Bolang itu hanyalah gambaran kecil kemerdekaan dan kegembiraan anak Indonesia. Anak kota yang orang tuanya super sibuk mungkin tak menikmati "kemewahan" itu, dan sebagian dari mereka lantas lebih akrab dengan mall.
Tapi percayalah, aktivitas di luar sekolah yang merdeka dan membahagiakan itu jelas sangat berbeda sifatnya dengan "kegembiraan" di lingkungan sekolah. Di luar sekolah, anak-anak bertemu teman-teman yang berasal dari berbagai sekolah. Mereka suka bertukar cerita. Hidup terasa lebih berwarna.
Kembali ke pertanyaan tadi, apakah Bapak Menteri dulu tidak pernah merasakan kegembiraan dan kemerdekaan semacam itu. Jawaban atas pertanyaan ini penting untuk memahami, mengapa Bapak Menteri punya gagasan semacam itu. Biasanya (maaf kurang ngilmiah), gagasan seseorang itu tak jauh-jauh amat dari pengalaman hidupnya. Orang yang terbiasa hidup di asrama, pesantren, super sibuk belajar di rumah, tentu akan memandang apa yang dijalaninya itu yang terbaik.
Memang sih, seperti pernyataan Bapak Menteri FDS ini baru sebatas ide atau gagasan. Jadi belum tentu diterapkan (walaupun belum apa-apa sudah disebut disetujui presiden dan wakil presiden). Namun, gagasan atau ide sebaiknya memang dipikirkan lebih matang terlebih dahulu sebelum diungkap ke khalayak.
Tapi ada satu hal yang patut dicatat setelah Bapak Menteri melontarkan Ide FDS, masyarakat jadi lebih tahu nama menteri pendidikanya, Bapak Muhadjir Effendi mantan rektor Unmuh Malang dan sekarang jadi ketua DPP Muhammadyah bidang pendidikan. Jadi, kalau untuk tujuan cari perhatian, ide FDS telah sukses menarik perhatian. Banyak yang mencemooh, ada yang menggalang mosi, ada juga yang menulis baik-baik saja.
Kenapa muncul pendapat lontaran ide FDS ini tak lebih dari cari perhatian, karena dasar pemikirannya terasa aneh untuk orang sekaliber Bapak Menteri Muhadjir Effendi. Aneh pertama, masak Bapak Menteri tak tahu jumlah orang tua super sibuk karena keduanya bekerja hanya sebagian kecil dari jumlah orang tua di Indonesia. Aneh kedua, masak Bapak Menteri tak tahu, Â orang tua super sibuk itu secara umum tinggal di kota yang jumlahnya jelas hanya sebagian kecil dari wilayah Indonesia.
Aneh ketiga, masak Bapak Menteri tak tahu ikatan batin orang tua-anak yang melekat kuat di Indonesia (entah kalau di Amerika karena saya tak pernah jadi orang Amerika). Ikatan inilah yang membuat orang tua menanti sang buah hati pulang sekolah dengan rasa harap-harap cemas. Bagaimanapun sekolah bukanlah keluarga dengan kjehangatan dan cinta kasih (kalau ada penyimpangan, itu tak bisa dipakai untuk menggeneralisir seluruh keluarga Indonesia telah goyah pondasinya).
Masih banyak aneh lainnya, misalnya soal biaya FDS, sarana dan prasarana FDS, kesiapan guru, akan gulung tikarnya madrasah NU yang buka siang menampung siswa SD yang belajar pagi hari. Surau dan musholla juga masjid yang jadi tempat mengaji juga akan mengalami nasib serupa.
Jadi Bapak Menteri, pendidikan di Indonesia itu selama sudah bergerak dinamis dan lentur sesuai kondisi yang ada. Sekolah FDS juga sudah ada untuk anak-anak dari keluarga super sibuk. Mereka tetap terlayani dengan membayar uang lebih. Dan seperti keinginan Bapak Menteri, mereka bisa pulang ke rumah bersama sang buah hati, secara bersama-sama. Jadi FDS memang sudah tersedia, bahkan sampai ke kota-kota kecil.
Namun, sekali lagi, jangan dengan alasan yang nganeh-nganehi tadi lantas FDS dijadikan model tunggal pendidikan di Indonesia, itu ngawur namanya. Bolehlah, kalau mau diterapkan di kota banyak mall, untuk menghindarkan siswa menjadikan mall sebagai rumah kedua. Tapi ingat, tidak banyak kora yang punya banyak mall.
Bapak Menteri, kalau mau objektif dan didukung banyak warga Indonesia, jadikanlah dunia sekolah itu lebih humanis, lindungi siswa dari kekerasan fisik. Para guru juga perlu dilindungi dari murid dan orang tua yang suka berlaku sok kuasa, sok jagoan, dan sok yang lain. Dengan demikian, tak ada lagi yang namanya perpeloncoan, guru dan orang tua punya kesepahaman dalam pendidikan siswa.
Perhatikan juga kantung uang orang tua, tingatkan mutu sekolah gratis, jangan belum apa-apa sudah mau membuka pintu sumbangan orang tua. Percayalah, begitu pintu sumbangan orang tua itu dibuka, sekolah akan jor-joran menerapkan tarif sumbangan. Ini sudah pernah terjadi, apa mau diulang?Â
Jadi lebih baik tingkatkan dan sosialisasikan saja dengan sesukses-suksesnya Kartu Indonesia Pintar Presiden Jokowi. Dijamin para orang tua akan banyak tersenyum tanpa takut tarikan sumbangan yang pintunya hendak Bapak Menteri buka itu. Bukankah lebih baik membuat orang tua tersenyum daripada was-was tak bisa membuayai sekolah anaknya? Bukanah pendidikan dasar itu wajib dan dibiayai negara?
Sekali lagi maaf Bapak Menteri (juga para pembaca yang lain), tulisan ini bukan untuk membully, karena membully itu tidak baik, melanggar HAM. Tulisan ini hanyalah pengingat, bentuk pendidikan di Indonesia itu beraneka, lentur, dan sangat pandai beradaptasi sebagaimana sifat rakyatnya. Pendidikan di Indonesia itu seharusnya tetap memanusiakan pelakunya, baik siswa maupun guru.Â
Dengan sifatnya yang seperti itu, janganlah terus menerus menjadikan dunia pendidikan sebagai ajang percobaan kurikulum, kebijakan, program, dan sejenisnya. Langkah itulah yang bisa merusak pendidikan di Indonesia. Apa ya tega, dunia pendidikan rusak gara-gara jadi ajang coba-coba dan pergantian selera pejabat saja?
Ada nasehat kecil yang pernah saya terima ketika memasuki komunitas baru: ojo kemarug, ojo kemeruh, ojo aji mumpung. Jangan rakus, jangan sok tahu, jangan suka memanfaatkan keadaan atau jabatan untuk kepentingan diri dan golongan.
Akhirnya, mari diakhiri saja perkara FDS ini, jangan dipaksakan jadi model tunggal karena itu hanya salah satu varian bentuk pendidikan. Jangan bikin gaduh yang tak perlu karena konon presiden tak suka gaduh. Salam damai.
Merdeka...
Bacaan pendukung:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H