Masih banyak aneh lainnya, misalnya soal biaya FDS, sarana dan prasarana FDS, kesiapan guru, akan gulung tikarnya madrasah NU yang buka siang menampung siswa SD yang belajar pagi hari. Surau dan musholla juga masjid yang jadi tempat mengaji juga akan mengalami nasib serupa.
Jadi Bapak Menteri, pendidikan di Indonesia itu selama sudah bergerak dinamis dan lentur sesuai kondisi yang ada. Sekolah FDS juga sudah ada untuk anak-anak dari keluarga super sibuk. Mereka tetap terlayani dengan membayar uang lebih. Dan seperti keinginan Bapak Menteri, mereka bisa pulang ke rumah bersama sang buah hati, secara bersama-sama. Jadi FDS memang sudah tersedia, bahkan sampai ke kota-kota kecil.
Namun, sekali lagi, jangan dengan alasan yang nganeh-nganehi tadi lantas FDS dijadikan model tunggal pendidikan di Indonesia, itu ngawur namanya. Bolehlah, kalau mau diterapkan di kota banyak mall, untuk menghindarkan siswa menjadikan mall sebagai rumah kedua. Tapi ingat, tidak banyak kora yang punya banyak mall.
Bapak Menteri, kalau mau objektif dan didukung banyak warga Indonesia, jadikanlah dunia sekolah itu lebih humanis, lindungi siswa dari kekerasan fisik. Para guru juga perlu dilindungi dari murid dan orang tua yang suka berlaku sok kuasa, sok jagoan, dan sok yang lain. Dengan demikian, tak ada lagi yang namanya perpeloncoan, guru dan orang tua punya kesepahaman dalam pendidikan siswa.
Perhatikan juga kantung uang orang tua, tingatkan mutu sekolah gratis, jangan belum apa-apa sudah mau membuka pintu sumbangan orang tua. Percayalah, begitu pintu sumbangan orang tua itu dibuka, sekolah akan jor-joran menerapkan tarif sumbangan. Ini sudah pernah terjadi, apa mau diulang?Â
Jadi lebih baik tingkatkan dan sosialisasikan saja dengan sesukses-suksesnya Kartu Indonesia Pintar Presiden Jokowi. Dijamin para orang tua akan banyak tersenyum tanpa takut tarikan sumbangan yang pintunya hendak Bapak Menteri buka itu. Bukankah lebih baik membuat orang tua tersenyum daripada was-was tak bisa membuayai sekolah anaknya? Bukanah pendidikan dasar itu wajib dan dibiayai negara?
Sekali lagi maaf Bapak Menteri (juga para pembaca yang lain), tulisan ini bukan untuk membully, karena membully itu tidak baik, melanggar HAM. Tulisan ini hanyalah pengingat, bentuk pendidikan di Indonesia itu beraneka, lentur, dan sangat pandai beradaptasi sebagaimana sifat rakyatnya. Pendidikan di Indonesia itu seharusnya tetap memanusiakan pelakunya, baik siswa maupun guru.Â
Dengan sifatnya yang seperti itu, janganlah terus menerus menjadikan dunia pendidikan sebagai ajang percobaan kurikulum, kebijakan, program, dan sejenisnya. Langkah itulah yang bisa merusak pendidikan di Indonesia. Apa ya tega, dunia pendidikan rusak gara-gara jadi ajang coba-coba dan pergantian selera pejabat saja?
Ada nasehat kecil yang pernah saya terima ketika memasuki komunitas baru: ojo kemarug, ojo kemeruh, ojo aji mumpung. Jangan rakus, jangan sok tahu, jangan suka memanfaatkan keadaan atau jabatan untuk kepentingan diri dan golongan.
Akhirnya, mari diakhiri saja perkara FDS ini, jangan dipaksakan jadi model tunggal karena itu hanya salah satu varian bentuk pendidikan. Jangan bikin gaduh yang tak perlu karena konon presiden tak suka gaduh. Salam damai.
Merdeka...