Orang pada heboh karena komunikasi politik terbuka ala Sentilan-Sentilan yang terjadi antara mantan presiden Soesilo Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo. Yang satu Tour de Jawa, yang lain Tour de Hambalang; yang satu Tour de Jembatan Suramadu, yang lain Tour de Madura. Yang satu ngetwet, yang lainnya juga. Itu pengamat bilang, sebaiknya jangan begitu; duduk manis satu meja saja, sambil makan getuk dan teh tubruk. Ah, ya biarkan saja. Wong maunya memang begitu.
Politik itu dinamis, tidak hanya diam dan duduk manis. Kalau SBY mau Tour de Jawa ya biarkan saja. Kalau dia mengeluarkan pernyataan politik, ya biarkan saja. Ingat SBY itu “presiden”-nya Partai Demokrat. Nah, agar partainya kembali kuat ya dia harus kembali ke rakyat. Jadi Tour de Jawa itu ya sah-sah saja untuk menangkap aspirasi rakyat.
Presiden Jokowi melakukan Tour de Hambalang ya biarkan saja. Wong dia memang presiden Republik Indonesia. Ingat Hambalang itu masih bagian dari negeri ini lho, bukan ada di planet Mars atau Antartika. Jadi biarkan saja. Perkara dinilai sebagai balasan Tour de Jawa ala SBY, itu kan sensasi pikir budaya halus Jawa. Nikmati saja.
Kita sering terjebak pemikiran etis “kuno”, bahwa para pemimpin bangsa itu harus selalu “guyup, rukun”, seia-sekata soal negara. Kalau ada perbedaan pendapat, sebaiknya dibicarakan berdua saja, sambil minum teh di Istana. Elok memang. Tapi ingat mereka juga manusia, punya hati punya rasa. Terlebih lagi, sebagai pelaku politik mereka tak bisa dilepaskan dari kepentingan politiknya.
Ada yang mengibaratkan yang terjadi Antara SBY dan Jokowi ibarat gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah. Artinya, pemimpin saling bertengkar, rakyat kecil yang susah. Terlalu berlebihan ibarat itu. Tak ada yang susah kok, malah banyak yang tertawa atau bergunjing sambil tertawa. Lihat saja itu di media sosial, kata SBY vs Jokowi jadi trending topik. Ibu-ibu juga senang ngrumpi soal ini. Jadi, ya biarkan saja.
Tiga tahun menyongsong 2019 itu bukan waktu yang lama. Apalagi untuk memperkenalkan calon presiden tercinta. Kekuatan harus digalang, itung-itung pemanasan. Nah, untuk menggalang dukungan tentu perlu peluru yang bisa ditembakkan ke hati rakyat. Kalau SBY memilih isu pembangunan infrastruktur saat ini berlebihan sehingga mengabaikan pengentasan kemisikinan, itu wajar. Kata ‘miskin’, ‘rakyat miskin’, ‘mengentas yang miskin’, itu kata sakti. Rakyat biasanya suka itu.
Kelanjutannya, Presiden Jokowi ya pantas saja to datang ke Hambalang. Itu kan juga proyek infrastruktur. Bedanya, proyek ini dikerjakan semasa pemerintahan SBY. Setelah kunjungan itu, Presiden Jokowi menulis dalam akun tweeter-nya. “Sedih melihat aset negara di proyek Hambalang mangkrak. Penuh alang-alang. Harus diselamatkan”. Disertakan juga foto bangunan mangkrak dan ilalang yang tinggi.
Itulah politik, dinamis. Kita ini suka nyinyir menilai komunikasi para pemimpin itu harus seperti komunikasi para dewa, jauh melambung di atas awan. Itu sudah kuno. Zaman sudah berubah. Ingat ini negeri milik rakyat, jadi pemimpin yang harus berkomunikasi ala rakyat. Karena baik SBY maupun Jokowi adalah orang Jawa, maka pasemon itu jadi pilihannya. Bedanya, SBY memilih komunikasi yang lebih verbal, sementara Jokowi lebih banyak berupa tindak-tanduk ala wong Solo. Jadi, ya biarkan saja.
Ingat ini soal politik. Dari Hambalang Jokowi menuju Surabaya dan Madura, meresmikan proyek jalan tol Surabaya-Mojokerto dan waduk Nipah. Dua proyek yang tak rampung saat pemerintahan SBY. Dan seirama, SBY datang ke kaki jembatan Suramadu sisi Madura. Dia datang bersama istri, anak, cucu tercinta, bercerita tentang pembangunan jembatan yang baru berhasil diselesaikan semasa jabatan presidennya itu. Tak lupa, dia berfoto pula di sana.
Tak ada masalah. Soal kenapa setelah itu, SBY dan Jokowi tak bersamaan hadir di acara pernikahan putri gubernur Jatim di Surabaya, itu mungkin masalah waktu dan protokol saja. Jadi meski tak sempat bertegur sapa di acara itu, tak perlu khawatir. Tak ada itu dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengahnya. SBY lewat akun tweeternya malah menulis, ”Pak Jokowi, teruslah emban amanah & dan bekerjaa hingga tahun 2019. Jangan mau kita diprovokasi & diadu domba. Semoga sukses. *SBY*.
Ya itulah politik. Ada memang yang berpendapat, seharusnya para mantan presiden itu tergabung dalam Ikatan Alumni Presiden Republik Indonesia. Mengadakan pertemuan teratur, membicarakan situasi dan persoalaan negara. Sekali-sekali, para alumni ini datang ke presiden aktif untuk silaturahmi. Kita orang Indonesia yang berbudaya, silaturahmi itu penting lho. Saling memaafkan dan bisa memperpanjang usia.
Pendapat itu ada benarnya. Namun, agak sulit memang jika para alumni presiden itu masih memegang jabatan di partai politik. Sebagai pemegang jabatan di partai politik, mereka bertanggung jawab memelihara dan membesarkan partainya. Termasuk juga meningkatkan, perolehan kursi di DPR, kemenangan di pilkada dan pilpres. Untuk mencapainya, tentu perlu langkah-langkah politik, termasuk model Tour de Jawa itu.
Mantan presiden BJ Habibie mungkin satu di antara presiden kita yang memberi contoh, bahwa seorang presiden harus melepaskan kepentingan politik parpol dan beralih ke politik negara. Karena itulah, begitu dia ditunjuk menjadi presiden jabatannya di partai politik dia lepaskan. Setelah tak menjabat presiden Habibie tetap konsisten dengan pilihannya. Dia bisa menjalin komunikasi politik yang baik dengan presiden sesudahnya.
Namun, mantan presiden Megawati lain, Dia tetap memilih jabatan ketua umum partai politik. SBY pun demikian, merangkap jabatan sebagai ketua umum parpol yang didirikannya. Keadaan ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap model hubungan ke presiden berikutnya. Kepentingan politik parpol akan sangat dominan termasuk penggalangan isu untuk meningkatkan citra parpolnya.
Apa yang terjadi antara SBY dan Jokowi ini bisa dipandang sebagai pemanasan menjelang 2019. Terlebih setelah Ani Yudhoyono disebut akan maju sebagai capres, walau dibantah. Namun, apa pun itu, tiga tahun bukanlah waktu yang panjang untuk menyiapkan kader untuk maju dalam pilpres nanti. Secara resmi, Tour de Jawa yang katanya akan dilanjut dengan Tour de Lainnya, diakui untuk menghadapi pilkada 2017. Jawa dengan penduduk terbesar, harus digarap lebih serius.
Partai Demokrat yang mempunyai beban berat akibat banyak kader yang terlibat korupsi, termasuk bekas ketua umumya, harus mengembalikan citra positif partainya. Oleh karena itu, wajar saja jika lantas muncul upaya menumbuhkan kesan bahwa apa yang diraih saat ini tak lepas dari upaya pemerintahan sebelumnya. Juga kritik agar pemerintah tak mengurangi porsi upaya pengentasan kemiskinan dan terlalu ngoyo membangun infrastruktur .
Termasuk soal pajak yang dinilai SBY digenjot habis-habisan misalnya, yang bisa membuat pengusaha bangkrut akibat ekonomi sulit. Pernyataan ini tentu akan mengundang simpati yang terbebani pajak. Naif sekali, menilai apa yang diutarakan itu tanpa ada kepentingan politik. Bahasa gamblangnya begini, “zaman SBY pengusaha tak ditekan dan hanya membayar pajak dengan pas, jadi nanti tetaplah pilih Partai Demokrat”.
Jadi, upaya menonjolkan diri sebagai yang paling berjasa dalam pembangunan di negeri ini, hal yang wajar dilakukan untuk menggenjot simpati publik. Ini bukan sekedar soal pantas atau tidak pantas. Namun ini adalah langkah untuk mengembalikan citra. Jika citra SBY naik, tentu akan bisa mengembalikan citra Partai Demokrat. Bukankah SBY adalah ketua umum partai itu?
Langkah trengginas Presiden Jokowi membalas isu itu pun tak bisa dilepaskan dari tahun 2019. Apa Jokowi tak akan mencalonkan diri lagi, dan membiarkan citra pemerintahannya digerogoti? Ndak to. MRT yang mangkrak, jalan tol yang mangkrak, juga waduk-waduk yang juga mangkrak, dan berhasil digarap saat ini adalah counter isu yang baik. Termasuk Hambalang tentunya, yang telah menyeret banyak petinggi Partai Demokrat ke penjara itu.
Oleh karena itu, Jokowi vs SBY ya biarkan saja. Tak usah khawatir, tak usah risau. Tak ada kok dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengahnya. Ini hanya soal politik untuk menarik perhatian rakyat, menyongsong 2019. Kalau sekarang rakyat banyak tertawa, itu baik. Bukankah tertawa itu menyehatkan,? Asal jangan kebablasan saja.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H