Pendapat itu ada benarnya. Namun, agak sulit memang jika para alumni presiden itu masih memegang jabatan di partai politik. Sebagai pemegang jabatan di partai politik, mereka bertanggung jawab memelihara dan membesarkan partainya. Termasuk juga meningkatkan, perolehan kursi di DPR, kemenangan di pilkada dan pilpres. Untuk mencapainya, tentu perlu langkah-langkah politik, termasuk model Tour de Jawa itu.
Mantan presiden BJ Habibie mungkin satu di antara presiden kita yang memberi contoh, bahwa seorang presiden harus melepaskan kepentingan politik parpol dan beralih ke politik negara. Karena itulah, begitu dia ditunjuk menjadi presiden jabatannya di partai politik dia lepaskan. Setelah tak menjabat presiden Habibie tetap konsisten dengan pilihannya. Dia bisa menjalin komunikasi politik yang baik dengan presiden sesudahnya.
Namun, mantan presiden Megawati lain, Dia tetap memilih jabatan ketua umum partai politik. SBY pun demikian, merangkap jabatan sebagai ketua umum parpol yang didirikannya. Keadaan ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap model hubungan ke presiden berikutnya. Kepentingan politik parpol akan sangat dominan termasuk penggalangan isu untuk meningkatkan citra parpolnya.
Apa yang terjadi antara SBY dan Jokowi ini bisa dipandang sebagai pemanasan menjelang 2019. Terlebih setelah Ani Yudhoyono disebut akan maju sebagai capres, walau dibantah. Namun, apa pun itu, tiga tahun bukanlah waktu yang panjang untuk menyiapkan kader untuk maju dalam pilpres nanti. Secara resmi, Tour de Jawa yang katanya akan dilanjut dengan Tour de Lainnya, diakui untuk menghadapi pilkada 2017. Jawa dengan penduduk terbesar, harus digarap lebih serius.
Partai Demokrat yang mempunyai beban berat akibat banyak kader yang terlibat korupsi, termasuk bekas ketua umumya, harus mengembalikan citra positif partainya. Oleh karena itu, wajar saja jika lantas muncul upaya menumbuhkan kesan bahwa apa yang diraih saat ini tak lepas dari upaya pemerintahan sebelumnya. Juga kritik agar pemerintah tak mengurangi porsi upaya pengentasan kemiskinan dan terlalu ngoyo membangun infrastruktur .
Termasuk soal pajak yang dinilai SBY digenjot habis-habisan misalnya, yang bisa membuat pengusaha bangkrut akibat ekonomi sulit. Pernyataan ini tentu akan mengundang simpati yang terbebani pajak. Naif sekali, menilai apa yang diutarakan itu tanpa ada kepentingan politik. Bahasa gamblangnya begini, “zaman SBY pengusaha tak ditekan dan hanya membayar pajak dengan pas, jadi nanti tetaplah pilih Partai Demokrat”.
Jadi, upaya menonjolkan diri sebagai yang paling berjasa dalam pembangunan di negeri ini, hal yang wajar dilakukan untuk menggenjot simpati publik. Ini bukan sekedar soal pantas atau tidak pantas. Namun ini adalah langkah untuk mengembalikan citra. Jika citra SBY naik, tentu akan bisa mengembalikan citra Partai Demokrat. Bukankah SBY adalah ketua umum partai itu?
Langkah trengginas Presiden Jokowi membalas isu itu pun tak bisa dilepaskan dari tahun 2019. Apa Jokowi tak akan mencalonkan diri lagi, dan membiarkan citra pemerintahannya digerogoti? Ndak to. MRT yang mangkrak, jalan tol yang mangkrak, juga waduk-waduk yang juga mangkrak, dan berhasil digarap saat ini adalah counter isu yang baik. Termasuk Hambalang tentunya, yang telah menyeret banyak petinggi Partai Demokrat ke penjara itu.
Oleh karena itu, Jokowi vs SBY ya biarkan saja. Tak usah khawatir, tak usah risau. Tak ada kok dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengahnya. Ini hanya soal politik untuk menarik perhatian rakyat, menyongsong 2019. Kalau sekarang rakyat banyak tertawa, itu baik. Bukankah tertawa itu menyehatkan,? Asal jangan kebablasan saja.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H