Yang bisa dilakukan, pengusaha kita seharusnya juga memproduksi barang dan jasa dan ikut membanjiri dunia. Dirikan pabrik dan usaha di negara orang, bawa pulang uang keuntungan. Itulah nasionalisme masa kini. Tak perlu lagi slogan “cintailah produk-produk Indonesia”. Slogannya harus diubah, “buatlah produk sebanyak-banyaknya di dunia dan bawa keuntungannya pulang ke Indonesia”. Dan karena itu, biarkan saja pabrik dan perusahaan negara lain membanjiri Indonesia.
Menurut saya, kalau memproduksi barang sebanyak-banyaknya untuk membanjiri dunia, mendirikan pabrik dan usaha di negara lain itu sih oke-oke saja dan seharusnya memang begitu. Namun, membiarkan korporasi asing mencengkeram industri dalam negeri, itu mengerikan. Apalagi sampai mendominasi ekonomi dalam negeri, itu lebih seram lagi.
Ah mumpung bicara soal Rio Haryanto dan mobil canggihnya, nasionalisme, olahraga, dan perang ekonomi, ada kabar April nanti Mobil Esemka Solo itu akan diresmikan sebagai mobil nasional. Konon katanya menggandeng Proton Malaysia. Tak apa, seperti perang, kita terkadang harus bersekutu menghadapi lawan yang tangguh. Dan raksasa otomotif Jepang, Korea Selatan, dan Eropa jelas bukan lawan yang enteng.
Konon pula, tim mobil listrik nasional di Bandung juga sudah membuat berbagai prototipe dan siap memasuki fase produksi. Nah, karena soal produksi mobil nasional seperti perang, ada baiknya kekuatannya disatukan saja. Jadi pandai-pandai saja mengatur strategi, pandai-pandai saja menarik simpati rakyat. Katanya sih banyak rakyat yang rindu juga memakai mobil buatan Indonesia.
Dalam perdagangan bebas seperti saat ini, menggelorakan semangat swadesi atau menggunakan produk dalam negeri terkadang dinilai naif. Rakyat dianggap sudah pandai memilih produk yang mereka sukai. Justru kalangan industri dalam negeri yang harus berbenah, membuat barang yang bermutu. Semboyannya harus diubah, produklah barang yang berdaya saing dan eksporlah sebanyak-banyak. Ya kalau bisa, ya mobil Hi Tech seperti yang dikendarai Rio Haryanto itu.
Tapi, negeri ini didirikan tidak sekedar dengan pikiran pragmatis. Ada cita-cita mulia yang hendak diraih. Ada hukum dasar yang dibuat, Pancasila dan UUD 45. Ada Semangat Trisakti, ada teladan dari para pahlawan, Ada sejarah tiga abad setengah dijajah negara lain. Itulah pendirian negara Indonesia.
Betapa pun mahalnya, semangat nasionalisme tetap harus kita bangkitkan dengan berbagai cara, sebagai pengikat bangsa. Kalau nanti cucu-cucu kita bertanya, “Mbah…Simbah…nasionalisme itu makanan apa?Apa itu gethuk singkong diemplek-emplek kemudian di atasnya ditaburi keju mozzarella, susu, juga meses, kemudian diungkep dengan microwave? Mbah…apa nasionalisme itu kayak burger lapis, yang di dalamnya diisi tempe, telor, atau daging impor dari Australia, tomat dan selada dari Cipanas, lantas disiram saus merah buatan Holanda?” Kita bisa menjawabnya.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H