Kita memang sering tertarik oleh nasionalisme popular, yang disuka banyak orang, semacam Rio Haryanto ini. Ganteng, megah, dan bergaya. Tapi tak apa, tak perlu distop itu. Rasa nasionalisme itu akan timbul ketika ada rasa yang menyatukan, rasa bangga sebagai orang Indonesia. Perasaan ini diperlukan untuk mengikat bangsa ini. Dan, Rio adalah pendulum lahirnya rasa itu. Seperti dulu ketika Rudi Hartono, Lim Swie King, Icuk Sugiarto berlaga di ajang bulu tangkis.
Mungkin lain kali, kita juga akan bangga saat putra terbaik kita ikut ekspedisi ke stasiun luar angkasa dan memerlukan dana yang tak kalah besarnya. Itu pasti juga akan disuka banyak orang dan bisa membangkitkan nasionalisme di dada.
Secara politis, hal ini juga menguntungkan. Rakyat bisa menyatu dengan pemerintahnya dalam kegembiraan dan kebanggaan di even olahraga mahal ini. Antusiasme saya ini mungkin masih perlu dibuktikan dengan survey seberapa banyak orang yang memelototi televisi menontot balap mobil yang melibatkan Rio Haryanto itu. Atau jangan-jangan tak sebanyak yang saya duga karena balap mobil memang tak sepopuler sepak bola, bulu tangkis, atau tinju
Tapi peduli amat soal survey. Walau di sirkuit Australia Rio hanya sampai 18 putaran, karena mobilnya bermasalah, saya masih bangga, kok. Olahraga balap mobil itu olahraga yang Hi Tech, dan Rio salah satu dari 22 orang terpilih di dunia.
Nasionalisme Itu Kalau Perang Saja?
Olahraga memang terbukti ampuh menumbuhkan semangat nasionalisme. Terlebih lagi saat orang, kontingen atau tim Indonesia meraih kemenangan. Rakyat pasti larut dalam kegembiraan dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Ada pendapat, nasionalisme akan menguat saat perang. Keinginan membela tanah air, mempertahankan kedaulatan negara, menjadi pendorong yang kuat. Hanya ada pilihan, kalah, menang, atau damai. Olahraga punya sifat hampir serupa, perjuangan meraih kemenangan, dengan hasil kalah, menang, atau imbang. Ada adu strategi, kepiawaian, dan kekuatan. Dan itu dilakukan sebagai wakil bangsanya. Inilah yang bisa membangkitkan empati, kebanggaan, dan ikatan sebangsa dan setanah air.
Kalau begitu supaya nasionalisme kuat, sering-sering saja menciptakan momen seperti perang. Ya, seperti even-even olahraga di kancah internasional itu. Murah atau mahal harus dibayar. Kalau tidak ada even olahraga, ada juga even lain. Tapi jangan sampai perang fisik “beneran”. Kita ini kan bangsa yang cinta damai, bahkan masuk ke dalam 10 negara yang paling banyak mengirim pasukan penjaga perdamaian dunia.
Sebagai ganti perang “beneran”, lebih baik perang ekonomi saja. Jangan lupa, kegiatan ekonomi di banyak negara juga dijiwai sebagai perang untuk negara. Nah, kenapa tidak digelorakan saja semangat ekonomi nasional itu sebagai gelora perang untuk negeri. Ya seperti kegiatan olahraga.
Memang, dalam pergaulan yang makin mengglobal, dengan arus barang dan manusia yang makin tak dibatasi saat ini, ada yang berpendapat nasionalisme itu sudah tak relevan lagi dibicarakan. Tapi jangan lupa, arus barang dan manusia itu juga mewakili banyak negara, termasuk korporasinya.Tentu saja, mereka juga membawa semangat nasionalisme masing-masing.
Ada juga yang berpendapat, nasionalisme yang masih relevan itu terkait budaya saja. Misalnya, bangga akan keris, batik, tarian, makanan dan sejenisnya yang dianggap adi luhung dan bisa menjadi identitas bangsa. Soal ekonomi, produksi barang dan jasa, kita ikuti kemauan pasar. Zaman sudah berubah. Kalau memang rakyat suka barang bagus, tak usah dipersoalkan buatan mana.