Mohon tunggu...
Novran Sulisno
Novran Sulisno Mohon Tunggu... Guru - I'm Teacher

Seorang Manusia yang mencoba untuk berkontribusi memberikan literasi pemikiran yang bersudut pandang ideologi Islam sebagai indentitas

Selanjutnya

Tutup

Politik

Legislasi Demokrasi vs Islam

25 Maret 2014   04:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:31 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahkan anggota parlemen nyatanya tidak berdaulat, tetapi harus nurut pendapat partai. Jadilah, yang menentukan adalah elit partai. Pada akhirnya merekalah yang berdaulat, bukan anggota parlemen apalagi rakyat. Lebih dari itu, dalam demokrasi sarat modal. Para politisi dan parpol butuh dana besar untuk menjalankan proses politik. Dana itu sebagian kecil dari kantong sendiri dan sebagian besarnya dari para pemilik modal. Maka para pemilik modal itulah yang menjadi pihak paling berpengaruh dan paling berdaulat.

Karena kedaulatan milik rakyat, yakni milik manusia, maka UU dan hukum itu akan dibuat mengikuti hawa nafsu manusia. Dalam hal ini seringkali UU dan hukum yang dibuat justru buruk bagi manusia/rakyat sendiri. Allah mengingatkan:

﴿إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي﴾

“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (TQS Yusuf [12]: 53)

UU/hukum itu dibuat di parlemen secara rame-rame oleh semua anggota parlemen. Mufakat bulat sangat jarang. Karena itu, keputusan ditentukan dengan suara terbanyak melalui voting. Sangat boleh jadi, suara terbanyak itu lebih menuruti hawa nafsu yang memerintahkan kepada kejahatan; atau mengantarkan pada kesesatan. Allah SWT pun mengingatkan:

﴿وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (TQS al-An’am [6]: 116)

Hawa nafsu dan akal manusia yang jadi rujukan UU/hukum itu berubah-ubah. Juga sangat dipengaruhi oleh kepentingan, situasi dan kondisi. Akibatnya tidak ada rujukan UU/hukum yang bersifat baku dan tetap. Jika dikatakan ada rujukan baku yaitu konstitusi, faktanya jika parlemen menghendaki konstitusi diubah maka akan berubah. Konstitusi negeri ini, meski namanya tetap, sebenarnya telah diamandemen empat kali. Bahkan saat ini juga ada suara untuk dilakukan amandemen kelima. Perubahan konstitusi itu bahkan bisa mengubah watak dan orientasi konstitusi. Setelah amandeman empat kali, konstitusi negeri ini justru menjadi makin liberal. Secara jangka panjang, kepastian hukum tidak ada. Sebab yang jadi rujukan UU/hukum sendiri tidak tetap. Apa yang dulu terlarang, saat ini dibolehkan bahkan dimandatkan. Apa yang saat ini boleh, nanti bisa terlarang; atau sebaliknya. Akibatnya, nasib umat manusia menjadi obyek pertaruhan.

Proses legislasi dalam demokrasi harus melalui proses panjang sejak rancangan hingga keputusan; dan tak jarang terkatung-katung. Contoh, UU halal. UU pornografi yang sama sekali tak cukup untuk mencegah pornografi dan pornoaksi butuh lebih dari lima tahun hingga disahkan. Akibat lamanya proses legislasi ini tentu penyelesaian problem yang perlu solusi hukum selalu telat.

Proses legislasi dalam demokrasi itu juga perlu biaya besar. Konon satu undang-undang menghabiskan miliaran rupiah. Meski mahal, UU yang dihasilkan banyak yang merugikan rakyat dan lebih menguntungkan kapitalis dan asing, seperti UU Penanaman Modal, UU Migas, UU kelistrikan, UU Minerba, UU SDA, dsb. Bahkan kadang kala pasal-pasal UU pun diperjualbelikan seperti yang konon terjadi pada pasal tembakau.

Diantara akibat paling buruk, konsep kedaulatan rakyat (kedaulatan parlemen) itu jadi pintu mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Lihat saja, riba, khamr, daging babi, dan hal-hal haram lainnya justru dihalalkan.

Lebih dari itu, konsep kedaulatan rakyat itu jelas bertentangan dengan Islam. Jika seseorang menyerahkan hak membuat hukum, menentukan halal dan haram kepada dirinya sendiri atau manusia lain, dalam pandangan Islam sama artinya menjadikan dirinya atau manusia lain itu sebagai rabb selain Allah. Imam at-Tirmidzi, didalam Sunan-nya, telah mengeluarkan hadits dari ’Adi bin Hatim ra., iaberkata: “Saya mendengar Nabi saw. membaca surat Bara’ah:

﴿اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ

”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah …” (TQS. at-Tawbah [9]: 31)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun