Meskipun petani saat itu sudah menjadi anggota koperasi, tetapi dengan melihat keuntungan besar meskipun hanya perbedaan yang sedikit, tidak menutup kemungkinan para petani pun akan menjualnya kepada para tengkulak dan pada saat itu KUD pun akan masuk area kehabisan stock barang, dan meskipun masih tersedia akan dapat dipastikan adalah produk hasil panen yang tidak bagus atau barang sisa.
Hal ini banyak terjadi dilapangan, lihat link Perbedaan Harga Pangan Yang Menyesakkan Dada Petani.https://www.kompasiana.com/dakoram1011/676bd2eb34777c4b9f4eccd3/perbedaan-harga-yang-menyesakan-di-bidang-pangan?utm_source=Whatsapp&utm_medium=Refferal&utm_campaign=Sharing_Mobile, dan salah satu kasus nya adalah ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk membuka kembali keran ekspor baby lobster melalui peraturan kementerian kelautan dan perikanan, yang terjadi adalah kekalahan konyol karena harga yang ditetapkan oleh BLU melalui PO nya kepada koperasi di setiap pantai, selalu dikalahkan oleh para cukong nakal dan tengkulak yang tidak bertanggung jawab.
Dengan dalih alih-alih berlindung pada regulasi kementerian melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.), mereka lantas melakukan pembelian langsung kepada para nelayan melalui tengkulak (pengepul) dengan harga tinggi, karena mereka tidak memiliki beban untuk mengeluarkan biaya PNBP.
Di sini negara banyak dirugikan selain kehilangan ratusan milyar perhari yaitu berupa pendapatan negara dari bukan pajak tetapi negara juga melalui perbankan banyak dirugikan dengan kehilangan modal kerja, karena dengan pelaksana tugas lapangan yang diserahkan kepada koperasi di masing-masing pantai, mereka tidak kebagian barang untuk dibeli dan dijual kepada BLU, sementara BLU karena sudah mengeluarkan PO, tetap harus dipenuhi oleh koperasi sedang kan harga dibawah tidak sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh BLU, karena kalah oleh harga para cukong dan tengkulak.
Para cukong ini akan mengeluarkan harga dengan mengintip harga yang dikeluarkan oleh BLU, setelah BLU mengeluarkan harga nya melalui PO, langsung para cukong melalui tengkulak nya bergerak di atas harga BLU, dan nilai harga beli di bawah naik tidak terkendali sementara cukong dan para tengkulak terus bergerak leluasa menghasilkan keuntungan besar untuk kepentingan nya sendiri, karena mereka memiliki spare marjin yang masih leluasa dengan tidak terkena beban PNBP.
Para nelayan pun sebenarnya hanya memiliki keuntungan yang sedikit berbeda saja karena koperasi tidak bisa mengimbangi harga yang ditetapkan para cukong melalui tengkulak nya, mereka bergegas untuk beralih kepada para tengkulak dari pada menjual kepada kelompok usaha bersama (KUB) sebagai perangkat lapangan yang dimiliki koperasi.
Kasus ini berbanding terbalik dengan yang terjadi pada petani, disalah satu petani mengalami terpedaya karena tidak ada koperasi yang menetapkan harga dan tengkulak dapat dengan leluasa menekan harga beli ke petani, sedangkan di sisi yang berbeda para nelayan mendapatkan harga jual lebih tinggi kepada tengkulak karena koperasi tidak mampu bersaing dengan menggunakan harga BLU.
Kejadian seperti ini akan mungkin terjadi tatkala KUD pun bersikap sama, karena dalam kasus hari ini banyak importir produk pangan langsung masuk ke desa melalui tangan-tangan pengusaha domestik dan dibantu tengkulak sebagai kepanjangan tangan mereka dan yang siap pasang badan untuk bersaing dalam hal harga beli.
Penulis adalah Pegiat Pangan tinggal di Purwakarta Jawa Barat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H