Memahami KonteksK ebijakan pangan yang ideal tidak hanya sekadar memperhatikan serta mempertimbangkan angka-angka dan target, tetapi juga harus menyentuh langsung realitas yang dihadapi oleh para pelaku budidaya dan usaha di sektor pangan.
Kebijakan pangan hari ini banyak menjadi keputusan yang tidak efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang diinginkan, kebijakan pangan selalu ketinggalan dan tidak relevan dengan kondisi dilapangan dan hanya melahirkan jarak simpangan yang jauh melebar untuk mencapai tujuan dan targetnya.
Sebenarnya semua Kelompok masyarakat pangan sangat berharap adanya kebijakan yang membawa pada arah terciptanya keadilan yang berkelanjutan dengan memastikan ketersediaan yang mampu menjaga ketahanan pangan, khususnya kepastian ketersediaan dan kemudahan akses pangan sampai generasi mendatang.Â
Ketersediaan pangan tidak hanya cukup untuk memenuhi syarat minimal global food security index atau (GFSI) yang hanya 120%, tetapi ketersediaan yang dimaksud adalah ketersedian pangan yang berkelanjutan seperti hal nya ketersediaan energi. Semakin baik ketersediaan pangan maka semakin baik index harapan hidupnya, dan ini pun menjangkau usia hidup generasi berikutnya.Â
Salah satu problem yang dihadapi kebijakan pangan adalah tidak memiliki fleksibilitas terhadap perubahan kondisi dalam setiap proses dan putaran waktu yang cepat. Kebijakan pangan selalu dihadapkan pada kekakuan administrasi hirarki dan birokrasi, terlebih disaat membutuhkan kepastian untuk menyesuaikan realitas pergerakan pasar. Harus nya kebijakan pangan itu mampu memberikan solusi nyata bagi permasalahan khusus nya kebijakan pangan yang dihadapi oleh petani, nelayan, dan pelaku usaha pangan lainnya.
Ini memperlihatkan diri bahwa setiap acuan kebijakan pangan itu lahir tidak memiliki rujukan terkini, terlebih bahkan jika rujukan itu tidak berbasis riset terkini, hasil-hasil riset menjadi bahan yang sangat penting, selain memberikan informasi dan gambaran umum terhadap setiap peristiwa yang terjadi dilapangan, juga semakin menjadi tahu proses dan langkah-langkah tradisional yang menjadi habit para pelaku usaha pangan.
Salah satu contoh kasus nya adalah dinamika prilaku dan karakter penentuan harga dilapangan, hal ini tidak serta merta hanya bisa disikapi dengan kebijakan melalui klausal regulasi, lebih dari itu regulasi itu harus mampu memberikan perlindungan pengelola pangan dan dalam penerapan nya memberikan keleluasaan untuk mengambil keputusan yang mampu melakukan penyesuaian terhadap realitas dilapangan, dimana setiap peristiwa yang terjadi di pasar pangan tidak hanya bisa diakses tetapi juga dapat dikelola dengan pengendalian yang terukur sesuai target yang diinginkan oleh para pihak.
Salah satu fenomena yang sering terjadi adalah fenomena akses pasar dan fluktuasi harga serta kebutuhan modal dalam perdagangan pangan, semestinya mampu dikelola dengan tangan-tangan taktis yang mumpuni dan bukan malah terkendali hanya karena aspek formal administrasi yang tidak luwes.
Tangan-tangan taktis dapat mengambil sikap secara tepat terlebih dengan keluwesan klausal dalam regulasi akan memperlancar proses untuk berjalan sesuai dengan target yang ingin dicapai.
Kejadian kelangkaan dan pergeseran pupuk bersubsidi menjadi harga komersial ini adalah salah satu contoh dampak dari kekakuan regulasi, dan kekakuan regulasi seperti kejadian kasus pupuk bersubsidi ini sudah bisa dipastikan berdampak pada kualitas kinerja yang rendah dengan indikasi daya serap anggaran yang melintasi tahun anggaran. Akibat organisasi pelaksana distribusi tidak berani mengambil langkah taktis.
Sementara itu seperti diketahui bersama bahwa pengetahuan petani yang terbatas dan dengan mental yang mulai rapuh dan lemah akibat kompleksitas permasalahan yang ketat, terlebih dihadapkan pada ketidakmenentuan cuaca dan bahkan perubahan ekstrem, semakin menempatkan mereka pada posisi yang tersungkur kedalam situasi yang semakin menghimpit mereka.
Fenomena kompleksitas permasalahan yang dihadapi mulai budidaya sampai pada penjualan yang terjadi di atas sebenarnya masih dalam skala lokal dan domestik lantas bagaimana jika harus menghadapi transaksi eksport import dalam arena global, tentu hanya bisa dihadapi dengan penyaksian dan sikap terbelalak karena hari ini semua fluktuasi harga pangan bergerak dan berubah dengan cepat.Â
Sementara program kemitraan yang digulirkan oleh pemerintah pun tidak tuntas dan hanya mengejar aspek formal terlebih bahkan sebatas seremonial dan akhirnya tidak menyentuh pada ranah pergerakan pasar yang terus dinamis.
Kemitraan pun saat ini hanya terlihat dalam bentuk pendampingan dan bukan kemitraan yang menempatkan petani pada kolaborasi organik menjadi bagian dari para pelaku pasar yang diwakili oleh infrastruktur organisasi pemerintah, baik melalui layanan umum maupun badan usaha milik pemerintah, artinya sangat penting jika petani pun dilibatkan sebagai pemegang saham yang menyertakan modal dan ikut bermain dilapangan usaha pangan.
Namun keterlibatan petani menjadi bagian organisasi pemerintah itu juga harus dilalui secara bottom up melalui peristiwa dan kejadian usaha pangan dan disitu pemerintah menawarkan keterlibatan nya dengan menaungi setiap fenomena usaha pangan.
Semisal Peristiwa transaksi usaha pangan saat ini memberikan keleluasaan kepada para tengkulak untuk menentukan harga beli tetapi dia juga tidak bisa menentukan harga jual, karena di atas para tengkulak masih ada rantai yang juga membutuhkan kelebihan margin yang lebih leluasa, sebut saja rantai di atas tengkulak itu adalah bandar.
Bandar bisa menentukan harga beli dengan semena-mena dan bahkan banyak bandar yang dapat menentukan harga jual meski banyak juga bandar yang tidak mampu menentukan harga jual, karena dia pun terkendali oleh harga pasar yang dipasang oleh para distributor.
Pada sisi ini petani atau para pihak lain yang mengelola sektor pangan seakan berdiri sendiri tanpa bimbingan dan perlindungan langsung dari para pihak yang berkepentingan dan berwenang termasuk dalam hal ini pemerintah, lantas bagaimana pemerintah ikut terlibat dalam kolaborasi dengan petani.
Peran pemerintah tetap bermitra dengan petani tetapi tidak hanya sebatas itu itu, pemerintah harus hadir pada setiap peristiwa budidaya dan usaha panhan, misalkan hal ini dapat dilakukan dengan melakukan aktifasi Koperasi Unit Desa, atau KUD.
Kehadiran pemerintah di KUD itu pertama-tama dengan melibatkan petani untuk secara bersama-sama merencanakan proyek usaha budidaya pangan sampai tingkat penyerapan hasil panen, pemerintah bersama petani merencanakan dan merancang budgeting budidaya beserta proyeksi rugi laba nya, termasuk menyusun sebelas langkah-langkah kerja sebagai standar operasional prosedur atau SOP, semua rencana dan perhitungan itu dengan mengambil asumsi kepemilikan luasan tanah garap yang ideal, dan hasil nya menjadi standar umum dalam menentukan anggaran biaya serta proyeksi rugi laba budidaya dan usaha pangan. Di sini petani menjadi punya pegangan dan pendekatan serta tidak bekerja menurut mimpi kosong yang berharap hasil panen nya melimpah dengan harga yang tinggi.
Dengan rancangan budgeting dan proyeksi rugi laba tersebut, petani pun memiliki sebuah pendekatan untuk mengelola lahan pertaniannya dengan berpatokan pada langkah-langkah menurut SOP, sementara kebutuhan SAPRODI dan SAPROTAN disediakan oleh koperasi dan dijual kepada petani, dan hasil panen nya dibeli oleh koperasi dengan standar harga yang merujuk pada rancangan proyeksi rugi laba yang sudah ditetapkan bersama dalam rapat usaha dan budidaya pangan di kantor KUD.
Sementara itu kepemilikan modal dalam KUD dengan melibatkan pemerintah, petani sebagai anggota KUD dan perbankan dan atau penyertaan modal, terlebih lagi jika setiap KUD itu juga dilengkapi dengan kepemilikan rice Milling Unit (RMU), dengan awalan disediakan oleh program pemerintah, posisi seperti ini mampu menempatkan kesetaraan semua pelaku nya, termasuk petani dengan para pelaku usaha pangan dan petanipun mendapatkan laba tidak hanya dari penjualan hasil panen pangan tetapi juga mendapatkan bagi hasil atau sharing profit dan benefit nya, dan inilah bentuk ekosistem komunitas usaha komoditas pangan.
Dengan model itu KUD pun memiliki dua kewenangan yaitu menentukan harga jual gabah kering giling dan atau harga jual beras. Kepada siapakah beras itu di jual ?, tentu kepada pemerintah dan kepada rakyat setempat, maka target harga jual gabah kering panen oleh petani kepada pemerintah melalui KUD dan harga beli beras dari KUD oleh petani akan menempatkan timbal balik yang terjangkau dan terkendali di setiap desa, dan stock pangan (padi/beras) pun terkendali dan terukur juga di setiap desa.
Bimbingan awal untuk mengelola KUD ini adalah para staf administrasi nya adalah pegawai negeri yang ditempatkan di KUD, kemudian staf akunting nya dari perbankan sedangkan hal lain termasuk manajer koperasi melibatkan keluarga petani, dan perlu di catat kualitas manajer ini memiliki strata keahlian yang layak sesuai dengan kapasitas untuk menjalankan job description nya.
Lantas apakah selamanya pemerintah itu harus hadir dalam wujud staf administrasi ? Pilihan nya bisa iya atau bisa tidak, hal ini disesuaikan menurut target bersama antara pelaku didalamnya dengan memperhatikan kemandirian sumberdaya dan kemandirian pangan di desa setempat.
Sementara itu pengendali umum untuk soliditas ketahanan pangan, bisa dengan mengembalikan fungsi depot logistik (dolog) dan badan usaha logistik (Bulog), melalui BULOG ini kemudian para pedagang pangan besar bisa bertransaksi untuk kebutuhan eksport sedangkan untuk kebutuhan domestik karena ada sebagian wilayah provinsi tidak memiliki cukup lahan pertanian maka fungsi dan peran BULOG sangat dibutuhkan. Dengan demikian setiap dinamika dalam transaksi usaha pangan langsung mendapatkan payung dari pemerintah dan pemerintah memiliki salah satu keuntungan terbesar yaitu menjadikan setiap peristiwa dan kejadian ini sebagai bahan rujukan untuk membuat setiap rancangan kebijakan pangan baik secara langsung maupun melalui riset tata kelola pangan.Â
Dengan peran dan fungsi seperti ini pada akhirnya menghasilkan regulasi yang fleksibel karena pelayan publik terlibat proses usaha dan budidaya pangan, regulasi pun menjadi solid dan kokoh, karena mengambil rujukan tidak hanya sekedar dengar pendapat dengan masyarakat dan pelaku usaha pangan, tetapi memang karena bergelut dan mengalami secara langsung dilapangan.Â
Pengalaman dilapangan ini menjadi bahan mutakhir untuk bahan rujukan setiap rancangan klausal dalam regulasi, dan pemerintah dengan petani serta perbankan secara bersama-sama menjadi pelaku dalam kolaborasi di setiap peristiwa usaha pangan.
Dengan demikian Kebijakan pangan tidak hanya memberikan solusi nyata bagi permasalahan yang dihadapi oleh pelaku usaha dan budidaya pangan. Tetapi juga terlibat bersama dengan rakyat dan secara tidak langsung rakyat terlibat dalam proses pembuatan kebijakan yang memadai serta padat dengan kandungan makna.
Inilah pembangunan dan pengelolaan model ekosistem komunitas usaha komoditas pangan yang menempatkan inter komunitas usaha menjadi setara dan mampu terlepas dari sandra klausal setiap kebijakan ditengah-tengah realitas dunia budidaya dan usaha pangan yang dinamis.
Penulis adalah Pegiat Pangan tinggal di Purwakarta Jawa Barat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI