Utang negara sudah tembus di angka Rp 4.680,19 triliun. Masyarakat mulai berdebar-debar dengan lilitan utang negara yang semakin hari semakin bertambah. Namun demikian, Pemerintah selalu menyatakan kalau pengelolaan utang dilakukan secara akuntabel. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pernah menegaskan dan bersikap optimis, "meskipun utang pemerintah meningkat tetapi tidak melanggar amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara."
Optimistis pemerintah untuk dapat mengelola utang ternyata tidak sebanding dengan anggapan dan keresahan masyarakat. Masyarakat tengah menilai apabila pemerintah tidak mampu membayar utang negara maka akan terjadi pemotongan dan pengalihan anggaran dana di sektor lainnya. Pemotongan anggaran tersebut tentunya dapat menyebabkan kekurangan dana diberbagai sektor lainnya tersebut.
Seperti halnya di sektor keamanan nasional. Apabila terjadi pengurangan dana anggaran di sektor keamanan nasional tentunya akan menyebabkan kebutuhan masyarakat terhadap keamanan menjadi tidak terpenuhi. Dan dampak terburuk dari hal tersebut yaitu meningkatnya potensi kriminalisasi, kekerasan, kerusuhan dan penjarahan di kalangan masyarakat.
Selain itu, kegagalan membayar utang juga bisa menimbulkan dampak berhentinya program jaminan social masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena negara tidak mendapatkan lagi pinjaman baru dari negara atau lembaga Internasional manapun. Lebih lanjutnya, negara tidak memiliki dana yang cukup untuk memberikan jaminan social dari sektor pendidikan, kesehatan, maupun fasilitas public lainnya.
Ada pula pandangan tentang pengalihan dana APBN. Keresahan masyarakat itu terasa ketika Pemerintah nantinya tidak mampu membayar utang negara dan akhirnya membebani APBN.
Perlu juga diketahui, didalam APBN terdapat penerimaan pajak dari rakyat. Artinya, apabila anggaran APBN yang dipakai untuk melunasi utang, sama saja rakyat disuruh untuk membayar utang negara. Dan hal tersebut sungguh sangat bertentangan dengan hati nurani masyarakat.
Kata "Utang" semakin tidak ramah didengar telinga. Apalagi jika jumlah utang yang begitu besar tidak dapat dilunasi.
Utang seakan-akan menjerumuskan negara pada keadaan default(negara ketidak sanggupan untuk membayar utang) dan jatuh kedalam lubang yang lebih dalam.
"Pengangkangan" jumlah utang juga ikut dipengaruhi kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh negara kaya untuk meminjamkan uangnya.
Pemerintah seharusnya belajar dari negara yang telah terlilit utang. Tidak sedikit negara yang tergiur dengan pinjaman utang dan terpaksa menelan pil pahit default akibat tidak mampu membayar utang.
Negara yang mengalami kegagalan dalam membayar utang diantaranya negara Yunani. Kejadian default yang dialami yunani ditahun 2015 itu sempat menjadi perbincangan di dunia Internasional. Yunani yang dinilai sebagai salah satu negara maju ternyata mengalami lilitan utang yang begitu besar. Sekaligus, negara yunani adalah negara pertama mengalami kegagal dalam membayar utang di daratan eropa.
oleh Da Jon Gunawan
Lilitan utang memang tidak pandang bulu, baik negara yang dianggap sudah mapan dibidang keuangan maupun yang tidak "FAKTANYA" bisa dililit utang. Besaran utang Yunani yaitu sebesar 1,6 miliar euro. Dampak yang terjadi akibat tidak dapat membayar utang, Yunani menutupan semua system perbankkan-nya.
Selain Yunani, Zimbabwe juga mengalami kegagalan dalam membayar utang. Kegagalan itu disebabkan oleh pemimpin mereka Robert Mugabe yang dikabarkan "BERFOYA" di atas penderitaan rakyat. Utang Zimbabwe diperkirakan 7,9 miliar.
Hari ini, saatnya masyarakat mulai berpikir mengunakan rasional kembali. Apakah dengan berutang semua kebutuhan negara ini akan dapat terpenuhi atau malah semakin berat..
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI