Kondisi dunia hingga saat ini masih berada di ambang kekacauan akibat pandemi COVID-19. Organisasi Kesehatan Dunia melakukan survei bab kesehatan mental, dan hasilnya diketahui bahwa terdapat banyak negara yang melaporkan adanya kenaikan akses terhadap layanan kesehatan mental. Dengan kata lain, pandemi ini memberikan dampak yang cukup besar terhadap kesehatan mental. Sayangnya, banyak orang masih menganggap sepele tentang kesehatan mental. Semakin hari, krisis kesehatan mental semakin memuncak. Hal seperti ini perlu dikhawatirkan, bagaimana jika krisis kesehatan global berikutnya adalah wabah yang menyerang kesehatan mental?
Ketidakstabilan yang kita hadapi setiap hari telah membuat banyak orang menjadi kewalahan, cemas, hingga depresi. Perlu diketahui, kecemasan dan depresi telah meningkat 400% sejak pandemi dimulai. Dari sini terlihat bahwa dampak pandemi pada kesehatan mental sangat signifikan. Bahkan sebelum pandemi, banyak orang terbebani dengan masalah kesehatan mental dan belum terselesaikan. Dampak kesehatan mental dari pandemi kemungkinan akan terus tumbuh hingga tahun-tahun yang akan datang.
Selagi dan setelah pandemi, banyak orang meninggal karena virus yang melanda. Tetapi jika kita melihat dari sudut pandang yang lainnya, banyak juga dari mereka yang meninggal karena depresi dan gangguan kecemasan. Berlindung, mengurung diri selama pandemi, ketakutan setiap hari akan kehilangan pekerjaan, ketakutan setiap hari akan kehilangan orang yang dicintai, anak-anak di rumah melakukan kegiatan rutinitas di 'sekolah virtual' yang menyebabkan proses pembelajarannya terhambat, sementara sosialisasi mereka juga terputus dari teman-temannya, dan yang paling berdampak yaitu kecemasan yang menghantui karena tidak mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Semua ini menciptakan cedera kesehatan yang lebih serius daripada virus.
Gangguan yang paling umum terlihat adalah depresi berat, gangguan stres pasca-trauma, dan gangguan kecemasan. Peningkatan alkohol dan penggunaan narkoba juga menyeruak. Menyebut krisis mental yang mewabah ini sebagai bencana bukanlah hiperbola. Ini adalah bencana besar karena dampak COVID-19 pada kesehatan mental. Bisa jadi gejala krisis kesehatan mental akan berdampak lebih besar daripada bencana lainnya.
Salah satu krisis global terbesar dalam beberapa generasi, pandemi COVID-19 memiliki dampak yang parah dan luas bagi sistem kesehatan, ekonomi, dan sosial. Dampak pertama pada kesehatan mental dimulai dari virus yang datang tanpa aba-aba serta secara tiba-tiba. Di beberapa wilayah dampak pandemi ini membuat kota-kota dan pemukiman menjadi sepi, akibatnya membawa ketakutan yang pada akhirnya dapat memicu reaksi stres akut. Virus yang datang ini juga menyebabkan adanya aturan social distancing yang menyebabkan hilangnya kontak sosial antara keluarga hingga komunitas-komunitas.
Dampak kedua pada kesehatan mental adalah perlunya karantina di masa pandemi. Sementara karantina diperlukan untuk memerangi virus di masa pandemi, perubahan mendadak dalam rutinitas dapat menyebabkan perasaan tidak berdaya, kebosanan, kecemasan, kesedihan, dan kemarahan karena kehilangan kebebasan. Reaksi-reaksi ini bisa saja merupakan penyesuaian situasional terhadap realitas baru. Bagaimanapun, depresi dan kecemasan adalah reaksi normal terhadap rasa tidak aman yang ada. Meskipun demikian, efek gangguan  mental dari karantina itu sendiri dapat memengaruhi kualitas hidup.
Dampak ketiga pada kesehatan mental berkaitan dengan banyaknya kematian yang mengkhawatirkan. Rumah sakit, kamar jenazah, dan rumah duka yang dibanjiri oleh jiwa-jiwa yang pergi. Kasus kesedihan rumit dengan depresi semakin menerpa, akibatnya risiko bunuh diri dapat meningkat. Efek COVID-19 lainnya pada kesehatan mental berkaitan dengan persepsi individu dari mereka yang dirawat di unit perawatan intensif, beberapa dari mereka mendapatkan episode depresi berat, gangguan stres pasca-trauma, dan gangguan psikologis lainnya.
Dampak yang keempat, kerugian ekonomi, pengangguran, kerawanan pangan, dan peningkatan ketimpangan sosial. Sebagian masyarakat harus rela kehilangan pekerjaan akibat PHK. Fenomena ini menyebabkan kehidupan ekonomi mereka menjadi goyah. Banyak bisnis jatuh bangkrut, jutaan orang telah jatuh di bawah garis kemiskinan. Semua ini dapat menimbulkan adanya stres akut bagi sebagian besar populasi. Dampak gangguan mental terhadap perekonomian ini tidak dapat diremehkan.
Berbicara tentang pandemi dan kesehatan mental, populasi yang paling terpapar stres selama COVID-19 adalah para profesional kesehatan yang berada di garda terdepan. Mereka tunduk pada tuntutan fisik dan emosional yang signifikan, seringkali memerangi virus dengan bantuan atau peralatan pelindung pribadi untuk menjamin keselamatan yang tidak memadai. Ditambah lagi dengan penderitaan sehari-hari yang disaksikan, dan keputusan etis yang sulit untuk dibuat.Â
Setelah semua ini terjadi, masih banyak juga orang yang menganggap kesehatan mental itu tidak penting. Padahal kesehatan mental seharusnya dijaga dengan baik sama seperti kesehatan fisik. Apalagi di kalangan anak-anak hingga remaja generasi z, terkadang orang tua mereka tidak menanggapi hal ini secara serius, dan hanya membiarkan mereka. Kurangnya kesadaran ini dapat memicu berkembang dan bertambahnya penyakit mental sejak dini. Selain itu, adanya teknologi membuat mereka semakin terisolasi secara sosial dalam kehidupan nyata. Generasi ini juga mengalami berbagai peristiwa dunia signifikan, seperti krisis ekonomi, perubahan iklim, konflik sosial, dan pandemi COVID-19. Faktor-faktor ini dapat memicu kecemasan. Akibatnya, generasi z memiliki mental yang lebih rentan terpengaruh gangguan dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.Â
Kebutuhan akan penyuluhan kesehatan mental terus meningkat, namun naasnya layanan kesehatan mental sangat terbatas terutama bagi mereka yang tidak memiliki asuransi atau dukungan finansial yang cukup. Terlebih lagi masih adanya stigma sosial yang terkait dengan gangguan mental. Dunia mengambil tindakan melawan COVID-19 dengan berlindung diri, menjaga jarak, menggunakan masker, dan memvaksinasi. Tindakan apa yang dapat diambil selanjutnya untuk menyelamatkan dunia dari krisis kesehatan mental yang meningkat sekarang?