Mohon tunggu...
Daisy Herapuspitasari
Daisy Herapuspitasari Mohon Tunggu... -

journalist & amateur photographer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pengabdian dalam Alunan Tembang Macapat

18 Juli 2012   17:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:49 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Saya Lakukan dengan Senang Hati”

Macapat merupakan salah satu kesenian Jawa yang bergerak dalam bidang olah vokal. Jarang sekali orang yang mau mempelajari, apalagi sampai mengabdikan dirinya untuk seni musik Jawa ini. Namun, hal ini tidak berlaku bagi pria yang satu ini. Sebagai pengajar macapat, ia sangat menikmati profesinya.

Ialah KMT Projo Suwasono, 62, seorang Abdi Dalem Kraton Ngayogyakarta yang berprofesi sebagai pengajar Tembang Macapat. Ia baru saja pulang dari tugasnya sebagai abdi dalem ketika kami temui di rumahnya, yang terletak di Jalan Panjaitan, Krapyak Kulon RT 12, Bantul, Yogyakarta. Meski begitu, tak sedikit pun kelelahan nampak di raut wajahnya. Senyum ceria selalu ditunjukkannya ketika ia bercerita.

Sudah Berbakat

Macapat dan Pak Projo, begitu ia disapa, nampaknya sudah menjadi satu hal yang sulit untuk dipisahkan. Bakat seninya sudah terlihat sejak ia kecil, tepatnya sejak kelas 3 SR (Sekolah Rakyat), ia mengaku sudah bisa nembang. Setelah dewasa, ia masuk ke sekolah macapat yang ada di kraton, hingga akhirnya menjadi abdi dalem dan diperintah untuk mengurusi sekolah macapat tersebut.

Berbeda dengan ayahnya yang menggeluti ketoprak, Pak Projo mengaku hanya fokus pada macapat saja. Meski begitu, bukan berarti ia “alergi” terhadap kesenian Jawa lainnya. Ia justru tetap menyukai kesenian di luar macapat.

“Sengaja saya tidak mendalami kesenian lainnya seperti karawitan. Saya malah justru membina karawitan di Kabupaten Bantul, tapi disitu saya tidak menjadi pelaku, karena saya sudah mantep di macapat itu, sehingga benar-benar fokus”, ujarnya.

Banyak Pengalaman

Sudah sekitar 20 tahun Pak Projo menjadi pengajar macapat. Sepuluh tahun pertama ia mengajar di dalam kraton, kemudian sepuluh tahun berikutnya, tepatnya mulai tahun 90’an ia mulai mengajar di luar kraton. Kegiatannya mengajar di luar kraton sesungguhnya merupakan usul dari suatu komunitas macapat. Kemudian setelah mendapat ijin dari pimpinan kraton, akhirnya ia bersama teman-teman pengajar lainnya mulai mengajar di luar kraton, salah satunya di Kridha Mardawa, Rotowijayan, tempat kursus macapat yang kini mulai dikenal luas.

Selama 20 tahun mengajar, tentunya sudah banyak pengalaman yang dirasakan Pak Projo. Salah satunya ketika menghadapi murid yang suaranya fals.

“Saya sedih kalo punya murid yang suaranya blero. Karena suaranya fals itu kalo diolah bagaimana pun tidak bisa. Tetapi mereka pengen sekali. Nah sedih saya.”, tutur bapak berputra tiga ini.

Selain mengajar, Pak Projo ternyata juga hobi membuat tembang sendiri. Tembang-tembang yang ia buat biasanya disesuaikan dengan tema hari raya, atau bahkan sesuai dengan pesanan dari orang-orang yang meminta.

Ya, memang banyak orang yang minta dibuatkan tembang oleh Pak Projo. Umumnya tembang-tembang yang dipesan berupa doa, bisa doa pernikahan bahkan sampai doa kematian. Tembang bertemakan kematian menjadi salah satu Tembang yang paling banyak dipesan oleh orang-orang.

“Banyak sekali jenazah yang mau diberangkatkan yang saya buatkan tembangnya. Bahkan sampe ada orang tua yang bilang besok kalo saya meninggal dibuatkan tembang ya.”, tuturnya.

Pernah suatu kali ia membuat tembang-tembang khusus untuk mendoakan Alm. Soeharto, tepatnya ketika beliau baru saja meninggal. Tembang-tembang tersebut terangkum dalam satu buku dan juga telah direkam dalam satu CD.

“Itu istimewanya, Pak Harto itu kan meninggal Hari Minggu, ngubur-nya besok pagi, malam ini sudah saya tembangkan. Jadi sore-sore seperti ini saya buat tembangnya, malamnya sudah jadi, padahal jenazahnya belum dikubur.”, ungkapnya dengan bangga.

Menurutnya, tidak ada alasan khusus mengapa ia membuat tembang untuk Soeharto. Hanya saja karena kebetulan sedang ada peristiwa meninggalnya Soeharto, ia kemudian berinisiatif untuk membuat tembang tersebut. Pak Projo mengakui bahwa ia memang bukan penggemar fanatik Soeharto. Meski begitu, ia tetap mengagumi sosok pemimpin Orde Baru ini.

“Kenapa saya seneng? Ya karena saya orang Orde Baru...hehehe. Saya gak mengingkari, saya bisa jadi pegawai, bisa makmur ya itu karena Pak Harto.”, ujar pria pensiunan Pemda ini.

Tanpa Pamrih

Menjadi pengajar macapat memanglah pilihan yang tepat bagi Pak Projo. Pasalnya sejak awal ia merasa terpanggil untuk ikut serta melestarikan dan mengembangkan budaya Jawa. Karena alasan itulah, ia tidak pernah mempermasalahkan soal materi. Berapa pun yang ia dapat, selalu ia terima dengan ikhlas.

“Saya ndak pernah minta. Ya, memang saya tidak munafik, fitri ya saya terima. Tapi kalo tidak diberi ya saya tidak minta, bahkan sebelumnya sejak awal saya sudah tombok. Kan kalo saya dateng kesana itu mesti memberikan naskah-naskah itu. Itu kan sudah keluar untuk fotokopi. Nah itu tidak terhitung”, tandas pria berkulit hitam ini.

Pak Projo sendiri mengatakan bahwa kesenian Jawa merupakan kesenian yang memang tidak laku dijual. Menurutnya, hal ini membuat para pelaku seni budaya Jawa sadar bahwa mereka, termasuk Pak Projo sendiri, melakukan hal tersebut semata-mata hanya untuk melestarikan budaya. Tidak ada tuntutan untuk mendapatkan uang atau materi.

“Saya ndak pernah menuntut, saya lakukan dengan senang hati”, tambahnya.

Beruntungnya Pak Projo memiliki keluarga yang selalu mendukungnya. Keluarganya mengerti atas apa yang dilakukan pria bernama asli Suwasono ini. Hal inilah yang membuatnya senang, dan tetap bertahan sebagai pengajar macapat.

Berbicara soal keluarga, ternyata ada satu orang cucu Pak Projo yang mewarisi bakat seni Jawanya. Namun, tidak seperti-nya yang menggeluti macapat, Fitriana Indriyasari–cucu pertamanya, justru malah tertarik pada tari tradisional Jawa.

“Saya melihat kalo anak-anak saya tidak ada yang berbakat, yang ada bakat malah nurun-nya ke cucu saya. Ya ini baru Kelas 3 SMP, tapi sudah malang melintang nari-nya, jam terbangnya sudah banyak.”, ujar kakek bercucu dua ini.

Tidak dapat dipungkiri bahwa macapat menjadi salah satu kesenian yang sudah hampir dilupakan oleh masyarakat Indonesia. Orang-orang seperti Pak Projo, hanyalah salah satu dari sekian banyaknya masyarakat Indonesia yang peduli akan kelestarian Macapat, sebagai salah satu budaya Indonesia. Pak Projo sendiri berharap agar macapat bisa lestari, abadi, dan ngrembaka–berkembang.

“Sebagai guru, keinginan saya pribadi adalah untuk bisa menyumbangkan kebisaan saya untuk berkembang di macapat, terus sampai saya tidak bisa nembang lagi”, tandasnya dengan mantap.

13426320271610348723
13426320271610348723

1342632138350850710
1342632138350850710

13426321951798341519
13426321951798341519

1342632330476289850
1342632330476289850

13426323591055228058
13426323591055228058

daisyhera.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun