Beberapa hari belakangan terdengar kabar tentang meninggalnya ibu yang berita tentang dirinya  tak makan dua hari. Namanya ibu Yuli. Ibu yang kini telah pergi dan tak akan kembali lagi pada keluarganya. Beliau mangkat dan meninggalkan empat anak yang pasti sangat kehilangan sosoknya.Â
Secara pribadi saya mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya tulus dari lubuk hati untuk keluarga Ibu Yuli. Semoga keluarga diberi ketabahan dan Ibu Yuli ditempatkan di sisi layakNya. Kita sadari juga sebagai makhluk ciptaan Tuhan, kita tahu kita pasti pada akhirnya akan kembali lagi ke pangkuan Sang Pencipta. Kita saat ini cuma menunggu waktu kalau-kalau panggilanNya sampai pada nama kita. Entah hari ini, esok atau lusa yang pasti tak ada satu orangpun yang tahu.
Hanya, dari kasus yang ibu Yuli alami kita bisa menilai dan belajar banyak hal. Pertama, Covid-19 adalah masalah yang sangat pelik tak ubahnya seperti tak lompat dimakan harimau, kalau melompat tenggelam di kedalaman jurang. Itulah kenyataan dari pandemik yang sekarang mewabah di belahan dunia ini.Â
Tak hanya orang mampu yang doyan jalan-jalan keluar negeri. Pulang-pulang bawa oleh-oleh tak kasat mata bernama virus Corona. Parahnya yang disalahkan adalah orang yang sama sekali tak pernah jalan-jalan ke kota-kota di luar negeri. Yap, si tak punya karena tak lah elok menyematkan kata si miskin pada warga negara kita dan tetangga sendiri. Jangankan keluar negeri, ke ibukota si tak punya ini mungkin ongkospun tak akan pernah ada dikantongnya.
Kalau si mampu yang pulang dari luar negeri, kalau  dia merasa sakit atau tak enak badan sepulang dari luar negeri bisalah dia ke rumah sakit elit di negerinya. Toh, uangnya ada.Â
Nah, Si tak punya ini tak bisalah macam itu, bahkan untuk ke Puskemas yang obatnya berlebel generik semua mereka masih pikir  matang-matang lebih dari sekali. Ibaratnya kalau sakit lebih baik uang berobat dialokasikan ke beras atau ikan asin penyambung hidup.Â
Kedua-keduanya memang sama-sama terkena dampak wabah sialan bernama Corona. Kalau si punya mungkin tak terlalu takut kehilangan mata pencaharian dan penghasilan ditengah Corona mewabah. Dia masih punya emas simpanan. Deposito dan aset berharga. Yang penting mau dia kerja atau nggak, uangnya tetap jalan dan dapur masih ngepul.
Lalu, si tak punya ini bagaimana? Tak ada yang tahu pastilah. Namun, kalau ditebak-tebak si tak punya ini pastilah tak punya aset yang dapat dijadikan pegangan kalau sewaktu-waktu pemerintah membuat kebijakan lockdown. Ibaratnya, manalah mungkin si tak punya ada emas antam simpanan yang nilainya terus naik untuk dijual belakangan. Apalagi deposito, wajan dapur aja mengepul itu aja udah syukur. Dari sini kita tahu, kalau dampak lockdown itu berat sebelah (tak adil sejak awal).
Kisah ibu Yuli adalah kisah pilu yang tak boleh kita dilupakan apalagi dipandang sebelah mata. Kalaupun nanti hasil diagnosis dokter tentang kematian si Ibu ini keluar dan kematiannya bukan disebabkan oleh kelaparan karena tak makan selama dua hari atau si ibu meninggal karena sakit tidaklah bijaksana kalau kita tutup mata, lalu parahnya kita tutup juga kasus kepedulian kita pada nasib keluarga yang hampir-hampir mirip dengan nasib Ibu Yuli. Masih ada loh mereka-mereka yang kerjanya mengandalkan penghasilan rendah harian. Yang paling terasa kalau pemerintah tak pakai otak dan paksa warga kalangan tak punya ini di rumah aja kayak jargon-jargon di tivi.
Cuma wanti-wanti kalau-kalau suatu hari nanti kita temui kasus serupa. Amit-amit sebenarnya. Setidaknya kita udah belajar untuk bersimpati aja udah syukur, kalau tak ada beras atau duit yang bisa dibagi dan disedekahkan cukuplah bantu mereka si tak punya untuk diinformasikan tentang keadaan mereka yang membutuhkan pada pihak-pihak terkait. Bahasa kerennya follow up. Entah itu tetangga, saudara, famili atau bahkan orang-orang yang sama sekali  tak ada hubungannya dengan kita. Toh, sebagai satu negara dengan KTP yang sama kita itu penduduk adalah bagian terkecil pembentuknya.Â
Jika kita hidup bertetangga dan punya masalah serupa dengan ibu Yuli. Janganlah kita tutup mulut kita juga untuk meminta uluran tangan orang lain. Selama ini yang tinggal di sekitar lingkungan kita adalah manusia, toh pasti dia punya rasa kemanusiaan juga. Tak ada salahnya meminta dengan rendah hati tanpa harus merendahkan diri, karena pada dasarnya manusia itu hidup saling pengertian dan tolong menolong, bukan asal babat dan colong-mencolong.
Mungkin saya terlalu ngomong gede, tetapi ini realita. Sekedar informasi keluarga saya dulu pernah merasakan kelaparan karena ketakpunyaan itu. Waktu itu saya masih cukup kecil untuk makan sisa kerak nasi hangus dari dalam periuk sebagai pengganjal perut yang seharian sudah tak makan. Maklumlah saat itu ibu dan bapak saya tak bisa dapat pinjaman dari tetangga karena ekonomi mereka juga sulit.Â
Orang tak punya itu selalu mencoba untuk dapat mengerti orang lain. Orang tak punya itu juga tak mau merepotkan orang yang terus-menerus membantunya. Kalau mereka itu pikirannya satu tak mau terus-terusan dibantu, karena mereka bukan pengemis. Orang tak punya juga tahu, mana meminta bantuan dan mana meminta untuk jadi benalu. Itu adalah hal yang dimiliki oleh orang tak punya.Â
Terus posisi si mampu di mana lah?
Si mampu seharusnya mulai belajar untuk mengertilah, seenggaknya untuk membaca kondisi dan situasi orang yang tak cukup beruntung jika dibanding mereka yang punya emas antam, deposito, gaji tetap dan dana cadangan.
Setidaknya kalau beras berlebih untuk sebulan bisalah didonasikan pada yang mereka-mereka yang membutuhkan. Kalaupun tak bisa karena diri juga butuh tolong segera dilaporkan pada aparatur pemerintah terkecil. Minimal kasih tahu pak RT atau pak RW. Biar mereka yang laporkan ke Pak Kades atau Pak Lurah. Saat ini kita kena wabah pandemi jadi kita harus lebih peduli. Sama-sama paham dan ngerti, nggak semua orang bisa diam diri di rumah yang dihuni. Makannya dari mana si tak punya ini nanti kalau diam diri?
Ayo Indonesia lebih peduli! Jangan juga gengsi minta uluran tangan!Â
Terakhir, jangan tinggi hati setelah memberi bantuan!

.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H