Mohon tunggu...
Dairi Kardo Buang Manalu
Dairi Kardo Buang Manalu Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat Budaya

Hanya seorang kritikus amatir, penulis diwaktu luang dan sejarawan setengah matang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Pohon Menjadi Carik-carik Ilmu

23 April 2020   15:59 Diperbarui: 23 April 2020   22:19 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanggal 22 April lalu adalah hari Bumi bagi masyarakat dunia. Ditengah gejolak pandemik Covid-19, seolah kita diingatkan lagi tentang kenyataan, kalau alam saat ini telah rusak sehingga alam mencoba menyembuhkan dirinya sendiri.

Dalam setiap peristiwa pasti memiliki hikmah, setidaknya itu orang-orang katakan dan percaya, termasuk saya juga. Saya pikir itu masuk akal. Covid-19 adalah salah satu dari virus yang awal dugaannya berasal dari alam saat diumumkan kali pertama di Wuhan, Republik Rakyat Tiongkok. 

Namun, belakangan merebak isu kalau wabah virus ini adalah ciptaan dan rekayasa yang dibuat oleh kaum intelektual. Yang pasti membuat kita berpikir, apakah degradasi moral kaum intelektual sudah begitu krisisnya?

Jika itu benar, maka itu adalah bukti telah menurunnya rasa kemanusiaan pada manusia itu sendiri. Jika kita sebagai manusia tak memiliki rasa kemanusiaan itu sendiri, lalu dari mana lagi kita akan mendapatkan rasa kemanusiaan itu? Monyet? Yang pasti bukan kan.

Hanya, saya tak mau membahas panjang lebar permasalahan dan konspirasi yang pasti tak berujung ini. Toh, saya juga tak punya kapabilitas dan kredibilitas untuk membuat tulisan yang sama sekali tak berkaitan dengan disiplin ilmu yang saya pelajari selama ini, kesejarahan. Biarkan saja mereka yang tahu yang bicara dan menulis tentang konspirasi panjang dan tanpa ujung ini.

Well, selain hari alam. Dua hari lalu kita juga telah merayakan hari paling penting bagi kaum wanita Indonesia. Yap, hari Kartini. Hari yang akan membuat wanita merasa kalau baju kebaya memang cocok dijadikan tata busana saat shoot manis foto profi dan status terkini pada laman sosial media masing-masing. 

Saya pikir itu adalah wajar mengingat kalau puteri Jawa seperti Kartini memang tampil ayu meski itu tanpa makeup, foundation ataupun skincare yang sekarang harganya melambung setelah terkena dampak Corona.
Cukup bermodalkan dengan kebaya, kamera jahat smartphone dan senyum manis, jempol netizen langsung menggubris dan sanjungan pun mengiris. Hehe, ibaratnya tebar pesonalah siapa tahu pria gebetan tergugah melihat gambaran dari keayuan wanita-wanita Indonesia. 

Nah, sekarang dunia juga memiliki hari yang tak kalah penting dari hari bumi dan Kartini. Hari yang tak dianggap tak terlalu penting. Hari itu adalah hari dimana kita bisa memulai untuk membuka jendela dunia. Maksudnya apa sih kurang paham?

Tunggu dong biar dijelaskan. Jadi, yang saya maksudkan itu adalah tentang hari ini, hari yang bertepatan dengan buku buku dunia.

Ada yang tahu hari buku jatuh hari ini nggak sih?
Beberapa orang sih tahu, beberapa orangnya lagi tidak. Yang paling parah ada juga loh orang yang nggak mau tahu. Emang ada ya? Jawabannya, iya lah.

Ngomongin buku, saya jadi teringat saat saya berumur kurang lebih delapan atau sembilan tahun lah. Agak sedikit lupa memang. 

Dulu itu ibu saya selalu menjadikan buku sebagai benda berharga. Sangking berharganya, beliau tak akan pernah memperbolehkan kami menyentuh koleksi buku-bukunya. Beliau juga seringkali menyembunyikan buku-buku koleksinya yang menjadi koleksi dari masa muda ke dalam sebuah peti kayu besar. Biasanya ibu saya juga akan mengunci rapat-rapat peti itu, karena beliau percaya kalau anak kecil tak pernah tahu harga, manfaat dan nilai dari secarik kertas dan bahkan satu buku. Baik secara material ataupun nilai pengetahuan. Yah, wajar juga sih.

Apa mungkin seorang bocah berusia tujuh tahunan punya pikiran panjang tentang manfaat buku?
Jawabannya ya pasti " no " and "impossible". 

Paling-paling lembar demi lembar buku cuma dijadikan media coret- coretan gambar asimetris. Sehingga, kebanyakan anak usia mampu baca cenderung tak terlalu tertarik untuk mendapatkan akses baca buku. 

Nah, sayangnya hal itu pulalah yang membuat generasi  dewasa ini jadi cenderung malas meluangkan  waktunya untuk sekedar baca satu atau dua lembar buku. Wajar lah karena sejak awal kita orang dewasa telah membatasi akses bagi mereka untuk baca. Sehingga cukup masuk akal kalau minat literasi anak-anak dan remaja kita masih berada di titik bawah negara lain di dunia.

Apa iya?

Kalian mungkin sedikit kurang percaya, tetapi menurut PISA (Program for International Student Assessment ) sebuah organisasi nirlaba yang meneliti tentang literasi anak antara umur lima belas tahun pada 72 negara di dunia menempatkan kita di peringkat  ke- 62 dari 72 negara pada tahun 2015. Itu penelitian empat tahun lalu kalau sekarang? Belum ada sih. 

Penelitian ini cukup layak untuk  membuktikan kalau minat baca usia lima belas tahun hanya terpaut sepuluh peringkat dari terbawah. Sehingga bisa dikatakan itu adalah posisi sangat rendah. Anehkan, negara yang menjadi salah satu jumlah penduduk terbanyak di dunia tak punya minat baca yang besar? Entah itu baik atau buruk, yang pastinya aneh.

Aman nggak sih posisi minat baca rendah ini? Yang pasti nggaklah. Memangnya kalian mau wawasan generasi muda berikutnya kalah sama generasi-generasi lalu. Kalau saya mah yang pasti nggak mau lah.

Apalagi kualitas generasi masa depan negeri kita selanjutnya hanya kualitas ngomong dan nulis tanpa baca. Kebanyakan tak bisa dipertanggungjawabkan. Wajarlah kalau sekarang berita-berita hoax bertebaran di mana-mana.

Coba saja kita bayangkan, jika angka tersebut akan bertambah lagi tahun demi tahu,  maka dapat dipastikan wawasan generasi akan menjadi generasi ambyar.  

Nah, ini akan membuat nilai lebih dan kemampuan untuk berpikir lebih luas akan menjadi terbatas karena kurangnya literasi. Memangnya dari mana lagi sumber bacaan yang kredibel kecuali buku. Meskipun, internet telah merajai informasi sekarang, tetapi buku adalah sumber informasi yang tak tergantikan. 

Dulu itu buku disebut sebagai jendela dunia dan ilmu. Kalau sekarang mungkin peranannya tergantikan oleh internet yang berperan sebagai pintu masuk dunia. Perubahan itu memang ada dan telah kita rasakan, tetapi segala bentuk peninggalan dimasa lalu harus lah tetap tercatat dalam bentuk otentik dalam lembar-lembar pohon kayu yang telah diubah menjadi carik-carik kertas ilmu. Dan itu adalah buku. Oleh karena itu, ayo ajak anak-anak kita, adik-adik dan saudara-saudara kita untuk lebih mencintai buku. Setidaknya buku tak akan menolak kita seperti gebetan.

Selamat hari Buku. Sudahkah kalian mengajak orang lain membaca buku hari ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun